Wednesday, May 24, 2006

Hilangnya Theos dalam teologi kita-Sebuah Refleksi

Adalah mengherankan bagi saya bahwa begitu banyak percakapan teologis yang terjadi di antara orang-orang yang mengakunya sedang berteologi, tidak mengandung atau hanya sedikit sekali mengandung Allah itu sendiri. Betapa asiknya kita berbicara hal-hal yang teologis, membedah segala sesuatu dengan logika dan akal budi kita, tanpa pernah menyadari 'hilangnya' Allah dari segala percakapan kita.

Teologi menjadi begitu menarik, lebih dari Allah sendiri. Orang-orang dan gereja-gereja berlomba untuk menjadi yang paling akurat dalam teologi, yang satu mengkritik yang lain, yang lain membuktikan kelemahan yang lain lagi, dst. Pengertian dan pemahaman intelektual tentang Allah dijabarkan dan diperdebatkan dengan begitu akurat, tanpa ada lagi 'sentakan' rasa gentar dan takut terhadap Pribadi yang begitu mulia. Suatu Pribadi agung yang bisa dikenal, dicintai dan begitu menyenangkan kini telah dijepit dalam kaca preparat laboratorium teologis kita, dimana kita bisa membedahNya, memotongnya dengan laser, mencampurnya dengan zat-zat lain sambil meneliti bagian-bagianNya dengan mikroskop intelektual kita. Kita bertanya-tanya tentang banyak hal dan kita berusaha mencari jawabannya dengan membedah dengan lebih akurat lagi, dengan mikroskop intelektual yang lebih tajam lagi.

Gereja-gereja kehilangan pengikutnya dan ada yang berkata: "itu karena gereja meninggalkan fundamentalisme teologi", yang lain bilang: "itu karena gereja terlalu fundamentalis dalam berteologi". Kedua pendapat tersebut memiliki kebenarannya sendiri-sendiri. Tapi Allah lah yang memberi kehidupan dan tanpa Allah kehidupan akan layu. Gereja kehilangan pengikutnya karena gereja kehilangan Allah! Teologi dan doktrin, fundamentalis atau bukan, bisa tetap berdiri tegak oleh kekuatan intelektual belaka. Tapi jiwa manusia tidak dibuat dari bahan-bahan intelektualisme saja. Ada sebuah lubang yang tak terduga dalamnya - yang pengertian dan pemahaman sebesar dan sehebat apapun tidak akan dapat mengisinya - dalam jiwa manusia yang hanya bisa diisi oleh Allah sendiri.

Betapa pentingnya pengertian dan pemahaman yang benar tentang Alkitab, tentang doktrin atau apapun juga, namun Allah lah yang harus menjadi subyeknya. Rasa takut dan gentar kepada Dia yang menjadikan langit dan bumi harus membayangi setiap proses pembelajaran teologis kita, atau semuanya akan menjadi sekadar wacana kosong belaka, sekedar bahan perdebatan yang tidak ada akhirnya.

Mengapa gereja kehilangan perannya? Karena gereja terlalu asik berteologi dan melupakan Allah. Teologi yang baik dan benar mendatangkan rasabenar-diri. Rasa benar-diri membuat percaya diri meningkat. Percaya diri yang baik ditambah pengetahuan yang memadai menjadikan orang-orang yang berkualitas. Orang-orang yang berkualitas akhirnya berhasil dalam apapun yang mereka kerjakan. Keberhasilan menambah keyakinan mereka akan kebenaran dan keakuratan teologi mereka, dan siklus ini berulang lagi. Jadilah gereja berasik-ria dengan keberhasilannya sendiri.

Jika Allah yang menjadi subyek, yang ada adalah rasa rendah diri, dilanjutkan dengan permohonan belas kasihan. Dalam ketidak berdayaan itu timbul pengharapan akan kebaikan Allah. Timbul pengakuan tulus bahwa tanpa Allah kita tidak bisa melakukan apapun yang baik. Dari situ kita belajar untuk bergantung kepada Dia saja. Kebergantungan kepada Allah akan membawa kita dalam rencanaNya, baik melalui puncak kesuksesan, maupun lembah kekelaman. Jalan manapun yang kita lalui, kita akan mengetahui bahwa Allah tidaklah membutuhkan apapun dari kita. Dia tidak butuh uang kita, tidak butuh pertimbangan, nasehat atau penghiburan dari kita. Yang membutuhkan semua itu adalah orang-orang di sekitar kita. Kita harus menjadi alat bagiNya untuk menjawab kebutuhan itu. Apakah mereka menjadi Kristen atau tidak, itu urusanNya. Kasih Allah harus dinyatakan dalam perbuatan tangan kita. Iman harus ditunjukkan lewat perbuatan dan pengharapan harus nyata bagi semua orang.

Saat ini gereja memiliki sumber-sumber teologis yang luar biasa berlimpahnya, tetapi seperti kata pepatah 'tikus mati dalam lumbung padi', begitulah gereja megap-megap kekeringan rohani ditengah-tengah semua kekayaan teologis yang dimilikinya. Ah, alangkah baiknya jika setiap gereja mau mencari Allah dengan sungguh-sungguh dan tidak menggantikanNya atau berpuas diri dengan sekedar pemahaman teologis tentang Dia. (Medio November 2001)

No comments: