Thursday, September 29, 2011

Lelah Menyembah

"Engkau Bapa yang baik bagiku..."
"Dia selalu punya cara untuk menolongku..."
"MujizatNya pasti disediakan bagiku..."
"Tiada yang mustahil bagiMu dan bagiku..."

Beberapa hari ini saya sengaja mendengarkan salah satu stasiun radio Kristen di Surabaya, yang siarannya sebagian besar berupa lagu-lagu rohani. Setiap hari Selasa-Jumat, saya harus mengantar anak-anak saya ke sekolah, setelah itu barulah saya datang di kantor tempat saya bekerja. Perjalanan tersebut biasanya membutuhkan waktu sekitar 1 jam. Lalu pada sore harinya terkadang saya harus mengulangi rute tersebut: kantor - sekolah - rumah, menghabiskan bahkan lebih dari satu jam, karena harus menghadapi kemacetan sore hari. Selama waktu-waktu itulah, saya menyetel radio saya pada stasiun radio tersebut. "Sekalian bisa tahu perkembangan lagu-lagu rohani terbaru saat ini", begitu pikir saya.

Entah mengapa, makin lama saya mendengar lagu-lagu pujian penyembahan yang diputar di radio tersebut, bukannya disegarkan saya justru merasa makin jemu dan lelah. Jelas bukan radionya yang salah, mereka hanya memutarkan lagu-lagu rohani yang mungkin dianggap enak didengar, banyak terjual, dinyanyikan oleh artis-artis kristen yang sudah populer. Ditinjau dari susunan melodi, rata-rata lagu tersebut cukup enak di dengar, dicipta dan diaransemen dengan baik. Kalaupun saya mencermati liriknya, semestinya tidak ada sesuatu yang salah. Sebagian besar, kalau tidak bisa dibilang semua lagu yang saya dengar memiliki tema tentang kebaikan Tuhan, mujizat Tuhan, hadirat Tuhan, berkat Tuhan, dst. Dan semua itu memang sesuatu yang sudah selayaknya dialami oleh orang Kristen.

Lalu apa yang salah? Mengapa saya bukannya disegarkan tapi justru malah dilelahkan? Terpikir oleh saya, mungkin saya yang lagi nggak beres. Mungkin saja jauh lebih banyak orang yang disegarkan dan dikuatkan oleh lagu-lagu tersebut. Saya harus akui, bahwa mungkin saja memang saya yang salah menilai. Tapi saya tidak mau membohongi diri sendiri: ada sesuatu dalam lagu-lagu tersebut yang membuat saya jenuh, bahkan muak.

Setelah saya merenung-renung, akhirnya saya menemukan beberapa penyebab mengapa saya lelah dengan semua melodi & lirik yang mestinya begitu indah:

1. Semua lagu tersebut berpusat pada apa yang Tuhan lakukan untuk AKU.
Semua lirik peninggian & pujian kepada Tuhan, semuanya terhubung pada apa yang telah kita terima dari Dia. Tuhan dahsyat karena Ia telah berbuat ini dan itu UNTUKKU. Tuhan baik karena Ia telah menyediakan KEBUTUHANKU. Tuhan melakukan mujizatNya BAGIKU. Untukku...bagiku...demi aku... seolah-olah, tanpa keterlibatan tokoh "aku" tidak ada yang perlu dinyanyikan tentang kedahsyatan, kebaikan dan keajaiban Tuhan. Dimanakah lagu-lagu yang murni berkisah tentang keagungan Tuhan tanpa embel-embel "untuk aku" di dalamnya? Kitab amsal menyatakan dengan tajam:  "Si lintah mempunyai dua anak perempuan: "Untukku!" dan "Untukku!"" (Ams 30:15). Rupanya nyanyian si lintah itulah yang saya dengar dibalik lirik-lirik indah tersebut. Saya terkenang dengan lagu-lagu jadul, yang meskipun melodinya tidak seindah lagu jaman sekarang, tapi liriknya bergema dengan pengagungan tentang Allah, tanpa melibatkan "aku" sedikitpun.
   
    Biar seluruh bumi, nyanyikan kebesaran-Mu
    Biar yang bernafas memuji namaMu
    Engkau layak, layak trima pujian
    Kuduslah Kau Tuhan

Atau sebuah lagu jadul lain lagi:

    Terpujilah nama Tuhan, Dia yang layak menerima pujian
    Bersehati kita mengangkat tangan
    Nyanyi pujilah Tuhan, pujilah Tuhan
    Puji dan sembah nama-Nya

       Layak, Engkau layak                           ) 2x
       Kau Raja, Kau Tuhan, Engkau layak  )

Mungkin bagi orang Kristen jaman sekarang, lirik2 lagu di atas, tidak "menyentuh", karena tidak berbicara tentang "untukku". Mungkin album yang berisi lagu-lagu semacam di atas tidak bakal laku, karena tidak berkenaan dengan 'kebutuhanku', 'pergumulanku', 'masalahku', 'perasaanku'. Saya tidak tahu pasti. Itu hanya dugaan saja, mengingat begitu berlimpahnya album2 rohani dari para 'pemuji dan penyembah' dari berbagai latar belakang gereja, namun begitu sedikit lagu yang benar-benar mengagungkan Tuhan tanpa "aku" di dalamnya.

2. Keintiman yang dieksploitasi habis-habisan
Mari kita membayangkan sebuah film, yang 90% isinya menyajikan keintiman antara dua pribadi yang saling mencintai. Tidak ada alur cerita yang jelas atau pesan yang jelas, film tersebut hanya menampilkan keintiman antar dua orang saja. Kalau ada film seperti itu, jika ia tidak masuk kategori film porno, film tersebut pastilah sangat membosankan. Itulah yang terjadi dalam industri musik rohani sekarang, khususnya di Indonesia.

Keintiman dengan Tuhan jelas tidak salah, juga tidak masalah untuk sesekali dituangkan dalam sebuah lagu. Namun keintiman dengan Tuhan seharusnya lebih bersifat pribadi, dan sebenarnya bukan untuk disajikan sebagai konsumsi publik. Yang namanya "keintiman" jelas bukan untuk dieksploitasi, apalagi untuk dijual. Film-film jaman sekarang menggunakan/menyajikan adegan intim sebagai bumbu penyedap, sebagai pemancing respon emosional atau seksual. Hampir sama dengan film, lagu-lagu tentang keintiman, dapat membangkitkan respon emosional pada pendengarnya, menimbulkan keinginan pada pendengar untuk turut merasakan keintiman yang dinyanyikan.

Harap jangan salah sangka, saya tidak sedang berbicara tentang kemesuman. Saya berbicara tentang keintiman yang sah, antar suami istri, dan antar Tuhan dengan umat-Nya. Tapi keintiman yang sah, bagaimanapun juga akan menjadi sebuah hal yang memuakkan jika dieksploitasi secara berlebihan dalam sebuah film ataupun lagu. Itu yang saya rasakan pada saat mendengar lagu2 rohani, yang semuanya bercerita tentang keintiman dengan Tuhan. Kosa kata dan kalimat yang digunakan untuk menggambarkan keintiman selalu itu2 saja, menunjukkan bahwa keintiman tersebut tidaklah benar-benar dialami, tapi memang dibuat-buat agar lagu tersebut laku dijual.

Mungkin saya harus minta maaf pada para pencipta lagu rohani. Tapi saya berani bertaruh, jika seseorang benar-benar mengalami keintiman yang luarbiasa dengan Tuhan, lagu-lagu yang diciptakannya akan kehilangan kata "untukku" di dalamnya. Perjumpaan pribadi dengan Tuhan akan selalu melumatkan diri kita, seperti jerami dalam api. Dalam hadirat Tuhan yang begitu kuat, kita bahkan tidak akan menyadari lagi kebutuhan kita, keinginan kita, pergumulan kita. Semua tentang kita menjadi tidak berarti, menjadi kabur, ditenggelamkan oleh hadirat Tuhan yang begitu mulia. Seperti lirik lagu ini:
   
    Bila kupandang kemuliaan-Mu
    Bila kurenungkan keagungan-Mu
    Bila sekelilingku jadi pudar, karena terang-Mu
       Kusembah Kau, Kusembah Kau        ) 2x
       Tujuan hidupku, untuk sembah Kau  )

Oh betapa saya merindukan adanya lagu-lagu baru yang lahir dari jiwa yang benar-benar terbakar oleh hadirat Tuhan, lagu yang sepenuhnya bercerita tentang kemuliaan dan kedahsyatan Allah, begitu penuh kekaguman, tidak lagi punya tempat "untukku". Lirik-lirik yang benar-benar diilhami oleh Roh Kudus, tidak hanya menyentuh emosi saja, tapi berkuasa untuk mengubah jalan hidup orang. Lagu-lagu semacam itu, tidak akan pernah gagal untuk selalu menyegarkan jiwa pendengarnya.

Semoga Tuhan membangkitkan para pemuji dan penyembah yang sebenarnya.

Tuesday, September 20, 2011

Powerpoint Kotbah: Mematikan Hawa Nafsu

Berikut presentasi powerpoint khotbah tgl 18 Sept 2011 di MDC Putat. Saya buat dalam format PDF. Klik judul di atas utk download.

Saturday, July 02, 2011

‘Innocent Lust’ – Romantika ala film Korea

Sudah cukup lama saya terheran-heran mengapa kok banyak sekali anak muda, khususnya cewek, yang suka banget nonton film korea. Konon film Korea yang berseri bisa mencapai ratusan episode, dan mereka bisa menontonnya secara maraton, menghabiskan waktu berhari-hari. Bahkan ada orang-orang yang menciptakan sebuah nama Korea untuk dirinya, menggunakan sapaan bahasa Korea di facebook, membeli baju, asesoris, dll yang bernuansa Korea. Padahal dilihat dari sudut pandang sinematografi (saya sempat melihat sekilas2 film Korea yang diputar di stasiun TV nasional) gak jauh beda dengan model sinetron Indonesia yang lighting dan anglenya begitu-begitu aja.

Saya kemudian merasa bahwa pasti ada sesuatu yang ‘mengikat’ dalam film-film Korea ini, sesuatu yang membuat penontonnya begitu fanatik. Sekilas saya melihat bahwa hampir semua film Korea yang beredar mengusung drama percintaan sebagai tema sentral. Nampaknya ada sesuatu yang berbeda dalam penyajian drama percintaan ala film Korea, jika dibandingkan dengan film dari negara lain.

Dan akhirnya saya berkesempatan untuk menonton sebuah film Korea dari awal sampai akhir secara tidak sengaja. Ceritanya waktu itu saya pergi ke bioskop, dan secara acak memilih film yang kelihatannya bagus “The Sword with No Name”. Saya suka film silat dengan latar belakang kerajaan jaman kuno. Di awal film, baru tahu kalau itu bukan film silat Hongkong, tapi film Korea. Dengan berjalannya waktu baru tahu juga kalau itu sebenarnya film drama percintaan, bukan film silat… walah… Tapi dari film itu akhirnya saya mengetahui apa yang menjadikan film Korea begitu menarik bagi banyak anak muda. Tidak hanya itu, saya juga berkesempatan melihat sebuah iklan tentang pariwisata Korea di sebuah channel TV satelit, dan iklan itu mengusung tema percintaan ala Korea sebagai latar belakang iklan. Dan baru kemarin, pas saya makan siang di sebuah depot, saya sempat melihat sebuah fragmen sinetron Korea di TV selama sekian puluh menit. Dari tiga “perjumpaan” ini, saya mulai menangkap adanya satu persamaan, yang membuat anak-anak muda tergila-gila.

Ada satu hal yang membuat film romans Korea berbeda: keluguan (innocence) dari para tokohnya. Berbeda dengan tokoh Bella Swan atau Edward Cullen di film Twilight yang masing-masing memiliki sisi gelap, tokoh2 (cewek) dalam kisah romantika ala Korea ditampilkan dengan begitu lugu, tidak berdosa, tidak berpengalaman soal cinta, malu-malu, sekaligus sangat desireable. Tokoh cowok protagonis ditampilkan penuh hasrat, sekaligus penuh pengendalian diri, innocent, berkarakter kuat dan mencintai si cewek dengan segenap hati, jiwa dan kekuatannya. Di iklan ttg pariwisata Korea yang saya lihat, sebelum kedua tokoh utama berciuman, ditampilkan ekspresi ‘malu tapi mau’, dan pada saat ciuman bibir benar-benar terjadi, semuanya disajikan begitu romantis, bersih dan sopan. Di film ‘Sword with no name’, digambarkan si cewek yang matanya ‘kelilipan’, dan si cowok berusaha membantu dengan menjilat mata kekasihnya itu. Setelah itu wajah mereka bertemu begitu dekat, saling bertatapan mengutarakan isi hati masing-masing, dan tidak seperti film barat yang mengumbar adegan ciuman, mereka tidak jadi berciuman karena konteks ceritanya adalah cinta tak sampai antara kedua tokoh utamanya. Cium…nggak…cium…nggak…, keraguan ini menyalakan sesuatu dalam diri setiap penonton remaja. Untuk anak muda yang belum atau sedang berpacaran, percintaan semacam ini sungguh-sungguh membangkitkan sebuah hasrat yang sangat kuat untuk mengalami romantika yang serupa dengan yang disajikan di film-film tersebut.

Meskipun dari luar percintaan yang ditampilkan seolah-olah sangat polos & innocent, saya justru merasa bahwa ada bahaya besar yang mengancam. Saya bukan orang tipe paranoid yang sedikit-sedikit melihat bahaya dimana-mana, tapi saya melihat ada beberapa bahaya yang sangat halus/subtle dalam drama percintaan ala film Korea. Hal-hal negatif yang bersifat subtle biasanya justru lebih berbahaya daripada yang terang-terangan, karena lebih sulit untuk dideteksi. Berikut beberapa hal yang saya cermati:

1. Kenaifan sebagai bahan bakar romantisme
Sesungguhnya keluguan menunjukkan bahwa seseorang samasekali belum siap untuk berpacaran dan menikmati romantisme. Cinta haruslah dialami dengan dikawal oleh kecerdasan emosional dan wawasan yang cukup. Keluguan sama dengan kenaifan, tanda utama ketidakdewasaan. Kenaifan memang bisa membakar romantisme, tapi ujung romantisme selalu adalah dorongan seksual yang sangat kuat. Pada saat gelombang asmara membakar seorang yang belum dewasa, hasilnya adalah hawa nafsu. Itu sebabnya romantisme tidak pernah boleh menjadi fokus dari sebuah hubungan pranikah. Betapa ironis bahwa banyak anak muda yang justru kehilangan keluguan mereka saat jatuh dalam dosa percabulan dengan orang yang mereka cintai. Film Korea tidak pernah menunjukkan realita ini. Sebagai media hiburan, mereka tidak berkewajiban membawa orang pada realita sebenarnya tentang akibat hubungan yang diwarnai kenaifan semacam itu.

2. Cinta yang dinikmati dalam kenaifan nampak begitu indah
Tidak heran pada masa sekarang para remaja tidak tahan lagi untuk tidak berpacaran selekas mungkin. Dalam kenaifan mereka, anak-anak yang masih SMP/SMA sudah dibakar oleh api asmara, sementara mereka-mereka yang jomblo begitu menginginkan pacar dengan segenap hati mereka. Bukannya mengembangkan wawasan, para anak muda ini tanpa sadar ‘mempertahankan’ kenaifan mereka, sambil berharap bahwa satu saat berharap bisa menikmati cinta. Realitanya adalah, cinta yang dinikmati dalam kenaifan sangat berbahaya. Cinta itu seperti api, sangat kuat dan berguna, tapi tidak ditangan orang yang bodoh. Di tangan orang yang naif, cinta bisa menjadi seperti api yang menghancurkan banyak hal. Keindahan cinta dirancang oleh Tuhan untuk dinikmati secara maksimal dalam sebuah latarbelakang kekudusan dan kedewasaan yang bertanggung jawab, diikat oleh komitmen seumur hidup di hadapan Tuhan dan manusia.

Sebenarnya mengapa innocence/keluguan ini begitu menimbulkan hasrat? Saya yakin ini berkaitan dengan kerinduan setiap kita untuk kekudusan yang sejati. Kita tidaklah dirancang untuk bergelimang dalam dosa. Cintapun sebenarnya dirancang untuk dinikmati dalam kekudusan. Namun kerinduan kita menjadi salah arah. Bukannya mendekat pada Tuhan untuk mencari cinta yang kudus, kita dibuat merindukan cinta duniawi yang mengobarkan hawa nafsu dalam kenaifan. Khusus bagi para cewek, anda memang diciptakan untuk ‘diingini’. Tuhan menciptakan Hawa dengan cara “mengambil” sesuatu dari Adam, sehingga seorang wanita akan selalu merindukan untuk “ditarik kembali” oleh seorang pria. Tapi waspadalah jika ada pria yang mengingini anda karena kenaifan anda. Pada dasarnya seorang pria yang berkualitas tidaklah tertarik pada kenaifan. Kenaifan hanya menarik bagi pria-pria tidak dewasa yang tidak tahu apa yang sebenarnya mereka butuhkan.

Bagi anda-anda yang sudah kadung nonton film Korea banyak-banyak, anda harus bekerja keras untuk meredefinisi pemikiran anda tentang romantisme yang benar. Sekali lagi, keluguan adalah berbahaya untuk orang yang jatuh cinta. Cinta yang benar haruslah dewasa dan cerdas, mampu melihat dengan obyektif dan mengambil keputusan yang benar. Semoga memberkati!

Wednesday, June 08, 2011

Reputasi Yang Dipertaruhkan

Maka bertanyalah mereka yang berkumpul di situ: "Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?" Jawab-Nya: "Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya. Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi."(Kis 1:6-8)


Jika kita membayangkan suasana pertemuan pada hari itu, dimana untuk kesekian kalinya Yesus menjumpai para murid sejak kebangkitanNya, kita mungkin bisa merasakan kegairahan yang tinggi dari para murid. Drama penderitaan Kristus telah mencapai klimaks, dan kini saatnya untuk meminta sang Mesias melakukan apa yang selama ini mereka impikan: pemulihan kerajaan Israel. Tidak ada waktu yang lebih tepat dari saat itu, sang Raja bahkan telah mengalahkan maut. Dengan kuasa sebesar itu, sudah pasti kejayaan Israel sebagai sebuah kerajaan akan dapat dipulihkan dalam waktu singkat. Negara adikuasa semacam Roma pun bukanlah tandingan bagi seorang Raja yang telah mengalahkan kematian.

Jawaban Yesus diluar dugaan. Dia tidak mengiyakan atau menolak permintaan para murid, tapi menjawab bahwa masa pemulihan Israel bukanlah urusan mereka atau dengan kata lain: belum waktunya. Ada sebuah rencana lain. Mesias yang bangkit akan segera pergi dan drama masih belum selesai, lampu sorot akan beralih dari Yesus pada para murid. Kebangkitan Yesus bukanlah episode akhir, tapi justru menjadi sebuah episode pembuka dari sebuah sejarah yang panjang, sejarah pembangunan Kerajaan Allah di bumi yang disebut dengan “gereja”. “Kamu akan menerima kuasa…” demikian kata Yesus. Kali ini aktor utama bukan lagi Yesus, tapi beralih pada para murid. Roh Kudus yang sama yang mengurapi Kristus, kemudian dicurahkan beberapa hari setelah pertemuan terakhir itu.

Yesus telah memperoleh reputasi dan kemenangan terbesar, dan reputasi itu kemudian dipercayakan kepada para muridNya. Sungguh sebuah pertaruhan yang sangat berani. Saat ini kita bisa melihat bagaimana sejarah mengisahkan reputasi sang Mesias dihormati dan sekaligus dicela akibat perbuatan umatNya sepanjang dua milenium terakhir. Dalam hikmatNya yang tak terhingga, Allah memutuskan untuk menampilkan umatNya sebagai pemeran utama sekaligus mempertaruhkan reputasiNya yang tak bercacat pada pundak mereka. Dan sebagai awal, Roh Kudus kemudian dicurahkan secara tak terbatas kepada semua orang yang mau percaya dan menerima Dia.

Roh Kudus adalah “modal awal” yang lebih dari cukup untuk menegakkan Kerajaan Allah. Dengan “modal” ini, sekarang masa depan Kerajaan Allah ada di tangan para murid. Roh Kudus dicurahkan agar para murid memiliki kuasa untuk menjadi saksi Kerajaan Allah, selain sebagai Roh yang akan menghibur dan menguatkan mereka dalam perjuangan itu. Seluruh kitab Kisah para Rasul menggambarkan bagaimana hanya dengan bermodalkan Roh Kudus, para murid menggoncang seluruh dunia alkitab. Generasi demi generasi berlalu, dan Roh Kudus dengan setia terus memenuhi janjiNya untuk menolong setiap orang dalam melakukan Amanat Agung.

Saat ini, di masa sekarang, adalah giliran kita semua untuk menerima tanggungjawab. Walaupun terus berkembang, Kerajaan Allah masih belum tegak sempurna di seluruh dunia. Alkitab menubuatkan bahwa seluruh bumi akan “penuh dengan pengenalan akan TUHAN, seperti air laut yang menutupi dasarnya.” (Yes 11:9b)  Adalah tugas kita semua agar nubuatan ini terus berlangsung menuju penggenapannya untuk menyambut kembalinya sang Raja. Kepenuhan Roh Kudus bukan hanya menjamin hidup berkemenangan, tapi juga memampukan kita untuk meninggikan reputasi Yesus Kristus dan Kerajaan Allah melalui hidup kita. Alkitab berkata bahwa “prajurit yang sedang berjuang tidak memusingkan dirinya dengan soal-soal penghidupannya” (2Tim 2:4) dan juga agar kita “menanggalkan beban dan dosa yang begitu merintangi kita”(Ibr 12:1). Itulah dua hal yang harus kita terapkan agar Kerajaan Allah dibangun melalui kehidupan kita pribadi.

Dan jika waktu dan masanya tiba, Yesus akan kembali untuk menyempurnakan segala sesuatu, memproklamasikan berdirinya sebuah Kerajaan yang Tak Berkesudahan. Pada saat itulah, kita dengan semua orang kudus akan bersukacita dalam sebuah perayaan kekal. Segala jerih lelah dalam perjuangan akan menjadi sebuah kenangan saja saat kita melihat bagaimana seluruh bumi dipenuhi kemuliaan Tuhan. Semoga kita bertemu lagi pada saat itu. Amin.

Saturday, May 14, 2011

Sulit Percaya

Lalu perempuan itu pergi memberitahukannya kepada mereka yang selalu mengiringi Yesus,... Tetapi ketika mereka mendengar, bahwa Yesus hidup dan telah dilihat olehnya, mereka tidak percaya. Sesudah itu Ia menampakkan diri dalam rupa yang lain kepada dua orang dari mereka, ketika keduanya dalam perjalanan ke luar kota. Lalu kembalilah mereka dan memberitahukannya kepada teman-teman yang lain, tetapi kepada merekapun teman-teman itu tidak percaya. (Markus 16:10-13)


Dan kesebelas murid itu berangkat ke Galilea, ke bukit yang telah ditunjukkan Yesus kepada mereka. Ketika melihat Dia mereka menyembah-Nya, tetapi beberapa orang ragu-ragu. (Matius 28:16-17)


Salah satu yang mengherankan saya berkenaan dengan kebangkitan Kristus adalah betapa sulitnya para murid pada waktu itu untuk mempercayai bahwa Kristus telah bangkit. Setelah kebangkitan dan sebelum kenaikan-Nya ke sorga, Yesus berkali-kali menampakkan diri kepada beberapa murid-Nya, dan reaksi mereka beragam. Namun pada umumnya bagi mereka yang tidak sempat bertemu sendiri dengan Yesus, mereka sulit percaya bahwa Yesus telah bangkit. Tomas bahkan begitu skeptis sehingga dia mengatakan bahwa ia tidak akan percaya sebelum mencucukkan jarinya pada bekas lubang paku di tangan Yesus (Yoh 20:25).

Mengapa begitu sulit untuk mempercayai bahwa Yesus telah bangkit? Kebangkitan orang mati bukan hal yang asing bagi para murid. Berkali-kali mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Yesus membangkitkan orang mati, bahwa Yesus berkuasa atas maut dan kematian. Yesus sendiri berkali-kali mengatakan bahwa Ia akan mati dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga (Mat 16:21, 17:23, 20:19), tapi pada saat hal itu terjadi, para murid sulit sekali untuk percaya. Sepertinya ada sesuatu yang menutup mata mereka, sehingga bahkan ada dua orang murid yang tidak sadar bahwa mereka telah berjalan ke Emaus dan bercakap-cakap begitu lama dengan Yesus sendiri (Luk 24:13-16).

Saya melihat bahwa hal yang menghalangi para murid untuk mempercayai kebangkitan Kristus adalah karena mereka memiliki pengharapan pribadi yang tidak sesuai dengan rencana Allah. Sebagai orang Yahudi abad pertama yang telah dijajah selama sekian abad oleh bangsa-bangsa asing, para murid merindukan seorang sosok pembebas yang akan melepaskan Israel dari cengkeraman penjajah tak berTuhan, seorang keturunan Daud, yang telah dinubuatkan beratus-ratus tahun sebelumnya. Dan mereka menemukan sosok pembebas tersebut dalam diri Yesus, yang bahkan dengan terang-terangan mengaku bahwa Ia lah sang Mesias, yang diurapi, sang Raja. Pengharapan ini begitu kuat tertanam dalam diri mereka, seorang Mesias yang akan menggulingkan penjajah, memulihkan kembali kejayaan Israel sebagai sebuah kerajaan adikuasa, sama seperti jaman Daud dulu. Seorang Mesias yang mati dan kemudian bangkit, samasekali tidak cocok dengan gambaran yang mereka punyai.

Sama seperti para murid itu, seringkali kita memiliki gambaran masing-masing tentang ‘bagaimana seharusnya’ Tuhan itu. Gambaran ini terbentuk dari harapan dan kebutuhan kita yang terdalam, yang biasanya sangat sah dan realistis. Harapan untuk menjadi bangsa merdeka adalah harapan yang sangat sah bagi setiap orang Yahudi yang dijajah begitu lama. Namun Tuhan memiliki rencana yang sama sekali lain bagi mereka. Demikian pula dalam kehidupan kita, betapa sering kita akan menjumpai bahwa kehendak Tuhan bukanlah kehendak kita, jalan Tuhan bukanlah jalan kita, dan sebagai hasilnya, kita menjadi sulit percaya.

Mari kita ambil contoh: Saat kita dalam kesulitan keuangan yang parah dalam jangka waktu yang sangat lama, harapan terbesar kita adalah keluar dari kesulitan tersebut selekas mungkin. Dengan harapan yang terarah pada satu titik seperti ini, mendengar kesaksian dari orang lain bahwa Tuhan adalah Tuhan yang memberikan kasih dan damai sejahtera bisa membuat kita ragu, dan bahkan mungkin marah. Kita membutuhkan Tuhan yang menyelesaikan masalah keuangan kita, bukan Tuhan yang hanya memberikan kita damai di hati. Saat Tuhan tidak kunjung melepaskan kita dari kesulitan keuangan tersebut, kita akan mulai sulit mempercayai kuasa Tuhan, walaupun kita dikelilingi oleh orang-orang yang mengalami kuasa Tuhan.

Kita perlu belajar mempercayai bahwa ketika Tuhan tidak memenuhi pengharapan kita, Dia sedang melakukan sesuatu yang jauh lebih baik, sesuai dengan hikmat-Nya yang maha sempurna itu. Yesus mungkin tidak menjadi raja Israel secara jasmani di abad pertama, tapi kini Ia menjadi Raja segala raja dari seluruh alam semesta. Demikian juga pada saat Yesus tidak menjawab pengharapan manusiawi kita yang terdalam, Dia sedang melakukan sesuatu yang jauh lebih indah, dengan dampak yang jauh lebih luas, yang tidak mampu kita pahami saat ini. Berikan pada Yesus tahta kehidupan kita, bahwa Ia lah sang Tuhan dan Raja yang mengetahui dengan persis apa yang Ia lakukan, bahwa Ia mengasihi kita dan akan menggunakan hidup kita sepenuhnya untuk kemuliaan-Nya. Tuhan memberkati!

Tuesday, April 26, 2011

Jangan 'bergantung' pada Yesus

Kata Yesus kepadanya: "Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa, tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu." – Yoh 20:17


Bagi para murid, hari-hari sejak kebangkitan Kristus adalah hari-hari yang membingungkan. Betapa tidak, beberapa dari mereka menyaksikan sendiri kubur Yesus telah kosong, kemudian beberapa dari mereka mengatakan bahwa mereka telah bertemu dengan Yesus yang bangkit. Sebagian besar murid malah tidak percaya bahwa Yesus telah bangkit. Kita bisa melihat kisah dua orang murid yang berjalan ke Emaus (Luk 24:13-24), dimana mereka berdiskusi begitu seru tentang semua hal yang terjadi, sampai tidak menyadari bahwa orang ketiga yang bergabung dalam percakapan mereka adalah Yesus sendiri.

Salah satu keanehan yang terjadi adalah, Yesus tidak lagi bersedia menyertai murid-murid-Nya seperti sediakala. Yesus memang menemui beberapa murid-Nya, tapi Ia tidak pernah tinggal lebih lama dengan mereka. Dia selalu menghilang setelah melakukan perjumpaan dan menyampaikan pesan. Dalam pertemuan-Nya dengan Maria Magdalena Yesus bahkan menolak untuk disentuh. Dalam bahasa Yunani kata jangan “memegang” yang dikatakan Yesus kepada Maria memiliki arti jangan “melekat/bergantung”. Bukan berarti bahwa Yesus tidak boleh dipegang, karena dalam banyak kesempatan lain Ia mengijinkan murid-murid-Nya untuk memegang Dia. Tapi sejak kebangkitan-Nya, Yesus sepertinya menghendaki sebuah relasi yang samasekali baru dengan para murid, sebuah relasi yang berbeda, karena Ia tahu bahwa Ia akan segera meninggalkan mereka dan kembali ke Sorga.

Jika kita cermati, setiap kali Yesus berjumpa dengan murid-murid-Nya, Ia tidak lagi menempatkan diri sebagai Pribadi yang senantiasa mencukupi dan menjawab kebutuhan para pengikut-Nya. Di setiap perjumpaan, selalu terdengar perintah “pergilah… dan katakan…”, atau “gembalakanlah…” Yesus yang bangkit bukan lagi datang untuk melayani, tapi setiap kali Ia datang, Ia memberikan perintah. Yesus yang bangkit adalah Yesus dalam keadaan-Nya yang semula, Tuhan segala Tuhan dan Raja segala Raja. Yesus menolak saat Maria ingin menyentuh-Nya dengan sikap bergantung seperti sebelumnya, sebaliknya Ia memerintahkan: “pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka…”. Yesus sepertinya ingin menyatakan, “Jangan lagi bergantung padaKu seperti dahulu, Aku akan segera meninggalkan kamu, tapi kerjakanlah bagianmu seperti Aku melakukan bagian-Ku”

Dalam perintah di atas ada satu keunikan, Yesus menyebut para murid-Nya sebagai “saudara”, dan kemudian Ia menyebut Allah Bapa sebagai “Bapa-Ku dan Bapamu”. Kali ini Yesus berbicara sebagai sang Anak Sulung, yang bangkit dari antara orang mati, berbicara bukan kepada para pengikut yang bergantung, tapi kepada saudara-saudara-Nya. Sebagaimana Yesus telah melakukan seluruh kehendak Bapa, ini waktunya bagi “saudara-saudara-Nya” untuk melakukan hal yang sama. Setelah kebangkitan Kristus, para murid tidak lagi dipandang sebagai orang-orang tak berdaya, tapi menjadi saudara se-Bapa, dipanggil, dilengkapi dengan kuasa dan diperintahkan untuk melakukan hal yang sama dengan yang Yesus lakukan. Yesus telah menyelesaikan tugas-Nya dengan sempurna dan sebentar lagi Dia harus meninggalkan semua murid-Nya. Para murid harus sadar, bahwa mereka tidak bisa lagi bergantung pada Yesus seperti sebelumnya. Mereka akan diantar menuju satu jenis relasi kebergantungan yang baru, dimana bukan Yesus lagi yang bersama dengan mereka secara badani, tapi Roh Kudus yang akan tinggal dan bekerja di dalam mereka. Sebelum kematian-Nya Yesus pernah berkata: “Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu.” (Yoh 16:7). Ada waktunya bahwa lebih baik murid-murid dipisahkan dari Yesus, supaya mereka belajar bergantung dan sekaligus bekerja sama dengan Roh Kudus yang akan memberi mereka kuasa untuk melakukan kehendak Allah.

Sebagai pengikut Kristus yang bangkit, kita perlu menyadari bahwa sekarang bukan waktunya untuk memandang diri sebagai pengikut tanpa daya dari seorang ‘manusia super’. Bukan lagi waktunya untuk ‘bergantung’ kepada Yesus sebagaimana para murid dulu bergantung pada-Nya. Lewat kematian dan kebangkitan Kristus, kita diangkat menjadi “saudara”, dengan kuasa dan otoritas yang serupa dengan sang Kakak Sulung. Saat ini kitalah yang harus menjadi terang dunia, melayani, menjadi berkat, mendoakan orang sakit, memulihkan hati yang terluka, hidup dalam kekudusan, dst. Hidup kita harus mencerminkan kemenangan Kristus atas maut. Kristus memang tidak lagi bersama kita secara badani, tapi Roh Kudus yang sama, yang memberi kuasa pada Yesus untuk menyelesaikan segenap rencana Allah, saat ini berdiam juga dalam hidup kita. Ini bukan lagi waktunya untuk ‘bergantung’, tapi waktunya untuk bekerja, seperti kata rasul Paulus, “Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah…” (Fil 1:22). Tetap kerjakan keselamatan kita dengan takut dan gentar, maka Kristus akan hadir lagi di dunia, bukan lagi dalam bentuk manusia, tapi melalui tubuh-Nya yang am yaitu Gereja. Amin.

Thursday, April 07, 2011

Mengerjakan Keselamatan

Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.  Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," Flp 2:5-11

Jika kita mencoba mencermati keTuhanan Kristus, kita bisa melihat ada dua sisi yang berjalan bersamaan. Pertama, Yesus sendiri adalah Tuhan sejak mulanya, Dia memiliki rupa Allah dan setara dengan Allah. Tanpa perlu turun ke bumi dalam rupa manusia, Yesus tetap adalah Tuhan. Sisi yang kedua, seperti kutipan kitab Filipi di atas, Yesus “dijadikan” Tuhan melalui peninggian dari Allah sebagai upah atas ketaatan-Nya untuk merendahkan diri sampai mati di atas salib. Sehingga boleh kita simpulkan bahwa gelar keTuhanan Kristus adalah sebuah status yang telah dimiliki-Nya sejak kekal, tapi juga sebuah status yang diperoleh-Nya melalui perjuangan sampai titik darah penghabisan.
Kita juga perlu melihat bahwa sebelumnya rasul Paulus sempat meminta pembaca untuk “…menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah…”(ay 5), dan setelah menjelaskan bagaimana Yesus dalam rupa Allah telah merendahkan diri, ia melanjutkan dalam ayat 12, “…karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar,…”. Dengan membaca seluruh bagian ini, nampak bahwa sebagaimana keTuhanan Kristus memiliki dua sisi, begitupun keselamatan kita.
Dalam minggu mendatang kita akan memperingati lagi karya Kristus di kayu salib. Oleh persembahan Tubuh dan Darah Kristus, hari ini kita beroleh kepastian keselamatan. Memandang salib Kristus, kembali kita disadarkan bahwa, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah,…” (Ef 2:8). Itulah sisi pertama dari keselamatan kita, bahwa kita saat ini telah memiliki status sebagai anak Allah, pewaris sorga. Status ini langsung kita miliki pada saat kita percaya kepada Yesus sebagai Tuhan. Tidak hanya itu, status keselamatan kita begitu kuat karena dimeteraikan dengan darah Perjanjian Baru, yaitu darah Kristus sendiri. Namun keselamatan kita juga memiliki sisi yang kedua, yaitu keselamatan yang perlu dikerjakan dan diperjuangkan dengan “takut dan gentar”. Sebagaimana Yesus melakukan bagian-Nya sehingga Allah kemudian sangat meninggikan Dia, demikian pula setiap kita harus melakukan bagian kita, mengerjakan keselamatan kita dengan segenap hati dan tenaga.
Dengan melihat apa yang dilakukan oleh Yesus, kita bisa mendapat gambaran tentang bagaimana mengerjakan keselamatan itu. Diawali dengan kemuliaan yang ditanggalkan, Yesus kemudian mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba. Sebagai hamba, Kristus bekerja dan berkorban begitu rupa, sampai Ia layak menerima kemuliaan-Nya kembali sebagai upah, bukan sebagai sesuatu yang telah dimiliki-Nya sejak semula. Mengerjakan keselamatan juga diawali dengan cara yang sama, kita sepertinya perlu menanggalkan status kita sebagai pewaris sorga, dan mulai merendahkan diri dan bekerja keras seolah-olah keselamatan kita ditentukan oleh perbuatan dan diberikan sebagai upah. Hidup kita harus benar-benar dijaga dan diarahkan agar kita layak untuk masuk sorga kelak. Sebagaimana Yesus pernah bersabda, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.”(Mat 5:20), begitulah tanggung jawab dari seorang Kristen yang sedang mengerjakan keselamatannya.
Langkah selanjutnya adalah ketaatan mutlak dalam kerendahan hati. Sebagaimana Yesus merendahkan diri dan taat sampai mati dan kemudian ditinggikan, demikian pula kita perlu rendah hati dan taat, sampai pada waktunya kita ditinggikan dan layak masuk sorga. Mungkin ada beberapa orang yang ditentukan untuk taat sampai mengorbankan nyawa. Tapi saya rasa untuk sebagian besar kita, kematian yang dituntut adalah kematian terhadap kepentingan diri sendiri, dan hidup sepenuhnya bagi Kristus. “Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda,…” (Fil 2:14), lanjut Paulus dalam suratnya, mendorong ketaatan setiap umat Allah untuk mengerjakan keselamatan mereka masing-masing dalam ketaatan dan kerendahan hati.
Pada hari penghakiman terakhir, dilukiskan bahwa orang akan dihakimi menurut perbuatan mereka (Wah 20:12), bukan menurut pengakuan mulut mereka saja. Mari kita mengerjakan keselamatan kita dengan takut dan gentar, tapi sekaligus dengan sukacita, karena Allah adalah hakim yang sangat adil, yang akan meninggikan orang-orang yang rendah hati dan taat. Segala jerih lelah kita untuk Kristus tidak akan pernah sia-sia, upah yang sangat besar menanti orang-orang yang dengan tekun mengerjakan keselamatan mereka sampai akhir. Tuhan memberkati! 

Wednesday, April 06, 2011

Memberhalakan Kristus

Mereka membangkitkan cemburu-Ku dengan yang bukan Allah, mereka menimbulkan sakit hati-Ku dengan berhala mereka…Ul 32:21


Jika membaca Perjanjian Lama, kita akan melihat bagaimana bangsa Israel berulang kali menyakiti Allah dengan menyembah berhala. Sejak pembebasan dari perbudakan Mesir di bawah pimpinan Musa, generasi demi generasi bangsa Israel terus mengalami jatuh bangun antara setia kepada Allah dan penyembahan berhala. Penyembahan berhala berlaku seperti sebuah ‘penyakit turunan’, yang terus saja menimbulkan cemburu dan sakit hati Allah yang begitu hebat. Satu generasi berlalu, dan penyakit ini sepertinya punah, tapi pada generasi selanjutnya kambuh lagi, begitu terus berulang-ulang. Sampai pada satu titik Allah sepertinya berkata, “Cukup!” dan Ia bersabda “…Aku akan melemparkan kamu dari negeri ini ke negeri yang tidak dikenal oleh kamu ataupun oleh nenek moyangmu. Di sana kamu akan beribadah kepada allah lain siang malam, sebab Aku tidak akan menaruh kasihan lagi kepadamu.” (Yer 16:13)  Dalam murka-Nya, Allah memutuskan untuk membuang umat pilihan-Nya sendiri kembali ke dalam perbudakan, dan sejak itu Israel terus menerus menjadi bangsa jajahan selama berabad-abad. Sejarah panjang bangsa Israel tersebut menunjuk pada satu hal, bahwa penyembahan berhala berakar pada hati manusia yang tercemar oleh dosa, bukan oleh pengaruh luar. Penyembahan berhala sebenarnya bukan soal ritual belaka, tapi bersumber dari hati manusia yang cenderung memberontak. Dan kalau memang sumbernya dari hati, pastilah terjadi sampai saat ini.

Saat ini orang kristen abad 21 sudah tidak mungkin lagi dibujuk untuk sujud menyembah patung berhala sebagaimana umat Allah 2500 tahun yang lalu. Tetapi saya mencermati bahwa penyembahan berhala masih sangat mungkin terjadi di dalam hati orang percaya dalam bentuknya yang paling halus: memberhalakan Yesus. Beberapa tahun silam saya malah sempat melihat beberapa orang mengenakan kaus bertuliskan “Jesus – My Idol”. Lepas dari pemikiran dangkal si perancang kaus, ungkapan “Yesus Berhalaku” saya kira dianut oleh jauh lebih banyak orang Kristen, lebih dari yang kita duga.

Esensi dari penyembahan berhala adalah sebuah hubungan yang bersifat transaksional. Mari kita lihat sebuah contoh berhala yang terkenal: Baal. Berhala yang berulang kali disembah oleh bangsa Israel ini dipercaya memberikan kesuburan bagi tanah para petani. Agar tanahnya subur, para petani memberikan sesaji dan melakukan ritual-ritual tertentu. Sebagai gantinya, Baal akan membalas semua bakti tersebut dengan memberikan apa yang paling diinginkan yaitu kesuburan tanah dan hasil bumi yang berlimpah. Hubungan umat & Baal hanya sesederhana itu: umat memberi persembahan plus ritual, Baal memberkati. Beres, singkat, sederhana. Untuk urusan di luar kesuburan, umat kemudian menyembah dewa lain, yang ‘spesialis’ menangani urusan yang diperlukan. Berhala tidak menuntut banyak, asal semua syarat dan ritual terpenuhi, umat boleh melanjutkan dan mengatur hidup mereka sendiri sesukanya. Dengan semua kemudahan ini, tidak heran penyembahan sejati terhadap Allah Yahwe terlihat begitu rumit dan menuntut terlalu banyak, sehingga membuat Israel terus menerus berpaling kepada berhala-berhala lain.

Berbeda dengan penyembahan berhala, hubungan Allah dan umat-Nya tidaklah transaksional. Relasi dengan Allah bersifat mengikat, bahkan dilambangkan secara langsung dengan relasi antar suami istri. Menyembah Allah menuntut penyerahan diri secara total, dimana tidak ada bagian sekecil apapun dari kehidupan kita yang boleh kita miliki di luar kehendak-Nya. Sementara sebuah berhala membolehkan umatnya untuk menyembah berhala lain selain dirinya, Allah berlaku seperti seorang suami yang pencemburu, sedikitpun tidak mengijinkan ‘istri’ Nya mengabdi kepada allah lain.

Dalam pemahaman ini, saya melihat bahwa ada banyak orang kristen yang memberhalakan Kristus, bukan menempatkan Dia sebagai Tuhan. Mereka menjaga jarak dengan Kristus, membatasi hubungan dalam tataran transaksional saja. Berusaha sedapatnya untuk tidak menyakiti hati Kristus, orang kristen memberi persembahan dan melakukan ritual tertentu untuk menyenangkan hati-Nya, sembari tetap mempertahankan beberapa bagian hidup yang boleh mereka atur sendiri. Karena kebaikan dan kesetiaan-Nya, Yesus tetap memberkati setiap orang Kristen, betapapun hati-Nya sebenarnya merindukan hubungan yang jauh lebih intim. Yesus tidak ingin dijadikan sebagai berhala, Ia telah memberikan seluruh hidup-Nya agar dapat memperoleh seluruh hidup kita.

Mari kita menyerahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan Yesus, sebagaimana seorang istri mengikat janji setia sehidup semati dengan seorang suami. Tidak ada bagian sekecil apapun dari waktu, fokus, perhatian, cinta kita yang boleh kita alihkan dari pengabdian kepada keTuhanan Kristus. Sebagaimana sukacita dalam pernikahan yang harmonis, terlebih besar sukacita pada saat kita benar-benar menempatkan Yesus sebagai Tuhan dalam hidup kita.

Thursday, March 24, 2011

Tuntutan KeTuhanan Kristus

Seorang anak menghormati bapanya dan seorang hamba menghormati tuannya. Jika Aku ini bapa, di manakah hormat yang kepada-Ku itu? Jika Aku ini tuan, di manakah takut yang kepada-Ku itu?…" Maleakhi 1:6

Ada satu hal yang unik yang akhir-akhir ini saya amati, yaitu istilah yang digunakan seseorang untuk memanggil rekannya. Untuk menyapa, panggilan “bro” sekarang menjadi sangat umum. Pertama kali saya mendengar orang saling menyapa dengan istilah itu waktu saya sedang di Jakarta sekian tahun yang lalu. Tapi kini sepertinya panggilan tersebut sudah cukup umum terdengar di mana-mana. Tidak hanya “bro”, panggilan “boss” juga sering saya dengar, khususnya dalam urusan tawar menawar di dunia bisnis.

Satu hal yang kita tahu bersama, panggilan “bro” atau “boss” tidaklah dimaksudkan untuk memiliki arti sesungguhnya. Saat seseorang memanggil rekannya dengan sebutan “bro” atau “boss”, ia tidak sedang bersungguh-sungguh menganggap rekannya sebagai saudara atau majikan dalam arti sebenarnya. Panggilan itu hanya sekedar sebagai pengganti nama dari yang dipanggil, sebuah sebutan yang nyaman digunakan untuk berbagai macam orang dari berbagai status sosial.

Tidak demikian halnya jika kita memanggil Yesus dengan sebutan “Tuhan”. Kita tidak bisa memanggil “Tuhan” sebagaimana kita memanggil seseorang dengan panggilan “boss”. Jika kita bisa menyapa atau memanggil siapapun dengan sebutan “bro” atau “boss” tanpa beban apa-apa, tidak demikian halnya dengan sapaan “Tuhan” kepada Yesus. Pada saat seseorang memanggil Yesus dengan sebutan “Tuhan”, dia sebenarnya sedang (dan harus) menempatkan diri sebagai hamba. Dan memang itulah yang benar, Yesus adalah Tuhan (Tuan) dan kita adalah hambaNya. Memanggil Yesus “Tuhan” tanpa benar-benar bermaksud menempatkan diri sebagai hambaNya dapat membuat kita melalaikan begitu banyak hal dalam kehidupan, yang berujung pada hukuman kekal. Tuhan Yesus pernah berfirman: “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat 7:21).

Dengah rendah hati harus kita akui, kita sering tidak sepenuhnya bersikap hamba pada saat kita memanggil Yesus dengan sebutan “Tuhan”. Bagi kita sebutan “Tuhan” lebih merujuk pada apa yang Dia bisa (dan semoga) lakukan dalam hidup kita, bukan apa yang harus kita lakukan dalam ketaatan pada kehendakNya. Panggilan “Tuhan” terasa lebih cocok untuk gambaran seorang penolong maha baik, yang selalu ingin menyenangkan & menjawab kebutuhan kita, rela mati demi kita, dan tidak memiliki tuntutan apa-apa kecuali sedikit lagu pujian di hari Minggu dan komunikasi sekian menit perhari dalam doa. Atau seperti yang dikatakan dalam kutipan kitab Maleakhi di awal tulisan ini, panggilan “Tuhan” tidak lagi berkorelasi dengan tuntutan rasa takut dan hormat yang mendalam dari pihak kita. Kita bisa merasakan unsur kasih dalam panggilan “Tuhan”, tapi kehilangan makna “tuntutan”nya.

Ijinkan saya untuk memunculkan kembali unsur tuntutan dalam sapaan “Tuhan” ini. Kita perlu memeriksa kembali hidup kita, berapa persen dari waktu & kerja keras yang kita kerjakan, yang kita lakukan untuk Yesus sebagai ‘boss’ atau majikan kita. Memanggil Yesus sebagai Tuhan adalah sama dengan memanggil diri kita untuk melayani Dia. Ada tuntutan yang sangat besar bagi pihak kita, setiap kali kita memanggilNya “Tuhan”. Setiap kita yang pernah/sedang bekerja di bawah otoritas seorang majikan pasti tahu bahwa ada tuntutan yang jauh lebih besar daripada sekedar menyediakan waktu 2 jam seminggu, plus beberapa menit di pagi hari untuk sekedar mencari tahu kehendak sang majikan, dan setelah itu melanjutkan hari itu sesuai kehendak dan kesibukan kita sendiri.

Saya ingin mendorong bagi setiap saudara yang saat ini sudah memanggil Yesus sebagai “Tuhan” agar menyediakan waktu untuk melayani. Untuk bisa melayani, cara paling mudah adalah dengan mencari kesempatan untuk melayani di gereja, meskipun pelayanan tidak melulu harus di dalam bangunan gereja. Apapun bentuk pelayanan yang anda pilih, anda akan mengalami sukacita dan berkat yang berlimpah pada saat sungguh-sungguh melayani Tuhan. Tuhan Yesus bukan ‘boss’ yang pelit dan kejam, Dia sangat murah hati. Saat anda menghamba dengan menyediakan hati, waktu dan kerja keras, Yesus akan memberkati anda dengan sangat berlimpah dalam segala segi kehidupan. Bahkan kita semua akan mengalami bahwa tuntutan keTuhanan Kristus sebenarnya sangat ringan jika dibandingkan dengan berkat-berkat yang disediakan sebagai upah atas ketaatan pada keTuhananNya, seperti kata Yesus, “Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan." (Mat 11:30).

Jadi, sementara kita boleh memanggil satu sama lain dengan sebutan “bro” atau “boss”, mari kita memanggil Yesus sebagai “Tuhan” dengan menyadari bahwa kita sepenuhnya adalah hamba yang hidup untuk melakukan perintahNya. Kalau ada perusahaan bisa memberikan upah dan kepuasan kerja yang tinggi pada karyawannya yang setia dan cakap, saya percaya bahwa Tuhan Yesus sanggup memberikan upah dan kepuasan yang jauh lebih tinggi bagi setiap pekerjaNya. Amin!

Tuesday, March 22, 2011

Berkat keTuhanan Kristus

“Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus, dan betapa hebat kuasa-Nya bagi kita yang percaya, sesuai dengan kekuatan kuasa-Nya, yang dikerjakan-Nya di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati dan mendudukkan Dia di sebelah kanan-Nya di sorga” (Ef 1:18-20)

Salah satu berkat terbesar, yang jarang dinikmati secara penuh oleh orang percaya adalah berkat dari kehidupan yang sepenuhnya dikuasai oleh keTuhanan Kristus. Memang percaya dan menerima Yesus sebagai Tuhan adalah langkah awal kehidupan Kristen setiap orang. Tapi dalam perjalanan hidup setelah mengenal Kristus, keTuhanan Kristus mulai kehilangan pengaruhnya, dan orang Kristen kemudian melanjutkan hidupnya sebagai orang yang percaya Yesus adalah Tuhan, tapi tidak menerima seluruh berkat yang disediakan dari kepercayaan itu.

Di tengah semua kemajuan dan kemudahan yang diberikan oleh teknologi, umat Kristen, khususnya yang tinggal di kota besar cenderung memiliki pandangan bahwa hidup yang diberkati Tuhan adalah hidup yang diwarnai oleh kemudahan dan kenyamanan. Tanpa sadar, umat Allah kemudian menempatkan Tuhan dalam posisi sebagai pihak yang akan menjaga dan menjamin bahwa hidup akan senantiasa nyaman dan mudah, bahwa kehidupan nyaman dan mudah adalah sebuah keniscayaan & tanda berkat Allah. Disadari atau tidak, Yesus saat ini lebih dikenal sebagai juru penolong, kekasih, sahabat yang baik, pemelihara, penyembuh, pemecah masalah, jawaban berbagai persoalan, penghibur, dan banyak lagi. Lagu-lagu favorit umat Kristen biasanya berkisah tentang semua atribut di atas. Tentu saja semua atribut tadi tidaklah salah, tapi memiliki satu kelemahan: fokusnya bukan pada keTuhanan Yesus Kristus.

Akibat dari semua itu adalah, orang Kristen gagal untuk menerima berkat yang jauh lebih besar daripada sekedar hidup yang mudah dan nyaman. Terlalu berfokus pada kenyamanan, mereka menjadi lebih sulit mengucap syukur, terlalu sensitif pada penderitaan & lebih mudah mengeluh. Mereka tidak lagi berharap lebih dan memiliki pengharapan yang sama dengan pengharapan orang yang tidak mengenal Allah, yaitu berharap pada hal-hal yang kelihatan dan bersifat sementara: uang, kesejahteraan, kesehatan, kepopuleran, dst. Walaupun semua berkat tersebut memang disediakan Allah, tapi sangat remeh jika dibandingkan dengan berkat sesungguhnya yang disediakan Allah melalui kehidupan yang berTuhankan Kristus.

KeTuhanan Kristus memiliki sebuah pesan utama: Yesus berdaulat penuh atas hidup umatNya. Dia adalah Tuhan, kita adalah hamba. Hidup kita bukan milik kita lagi. Kita ini “…telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar” (1Kor 6:20) Kehidupan Kristen adalah sebuah mandat untuk menghasilkan buah demi Kerajaan Allah dan melakukan segala perintah sang Tuan tanpa berbantah-bantah. Sebagai hamba, kemudahan dan kenyamanan hidup bukan menjadi yang utama, tapi menyerahkan segala kehendak pribadi di bawah kedaulatan sang Majikan.

Ironisnya, pada jaman sekarang kedaulatan Yesus barulah diakui dan diingat pada saat orang Kristen mengalami kejadian buruk atau malapetaka yang tidak bisa dihindarinya lagi. Saat kematian menjemput orang yang kita cintai, saat usaha yang dirintis ambruk dan tidak tertolong, saat seperti itulah orang kemudian –mau tidak mau – belajar untuk melihat Yesus sebagai Tuhan yang berdaulat yang mengendalikan segala sesuatu. Melihat bencana tsunami di Jepang baru-baru ini, kedaulatan Allah langsung muncul di pikiran. Dalam dunia hukum/asuransi bahkan ada istilah ‘act of God’ yang merujuk pada bencana alam yang tidak bisa dihindarkan, dan itu dikatakan sebagai ‘perbuatan Allah’. Sungguh menyedihkan jika kita dipaksa mengakui keTuhanan Kristus pada saat mimpi-mimpi kita hancur berantakan.

Mengapa tidak kita mengakui kedaulatan Kristus pada saat hidup kita berlangsung lancar dan segala rencana kita berjalan dengan baik? Bagaimana jika pada saat Tuhan memberkati segala usaha, pelayanan dan keluarga kita, kita menyerahkan kembali segala berkat tersebut dalam penundukan diri pada keTuhanan Kristus? Di tengah segala kelimpahan kita bisa tetap berlaku seperti hamba, taat dan tunduk penuh pada kehendak Tuhan, menyadari bahwa jika Tuhan memberikan berkat, Dia merencanakan agar kita menggunakan berkat tersebut sesuai dengan kehendakNya. Bagaimana jika di tengah semua kesibukan yang menumpuk akibat order yang membanjir, kita tetap menyediakan waktu yang terbaik untuk melayani, mendoakan orang, terlibat aktif dalam KESAN? Bukannya menggunakan seluruh berkat jasmani tersebut untuk membangun kehidupan yang mudah dan nyaman bagi diri sendiri, kita justru berlutut di kaki Tuhan, menyadari besarnya tanggung jawab yang telah dipercayakan kepada kita dan mencari tahu apa kehendak Tuhan dengan semua kelimpahan ini.

Itulah kehidupan yang benar-benar berTuhankan Kristus. Untuk orang yang seperti ini, berkat Tuhan akan melampaui apa yang dapat dilihat mata. Tuhan akan mengadakan ikat janji dengan orang semacam ini, memberkati dan menjamin kehidupan anak cucunya. Tidak hanya di lingkup keluarga, Tuhan akan memakai orang semacam ini untuk memberkati generasi demi generasi. Orangnya mungkin akan meninggal dunia, tapi inspirasi hidup yang ditinggalkannya bisa menjangkau puluhan generasi sesudahnya. Mereka akan “…mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yoh 10:10).

Saat orang yang berTuhankan Kristus mengalami masalah, ia justru akan terbang makin tinggi, karena masalah tersebut akan mendewasakan imannya. Bukannya jatuh dalam keluhan, dia akan makin diperkuat dalam imannya, menyadari bahwa “…penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya,…” (2Kor 4:17) Ucapan syukur akan selalu mengalir dari bibirnya, kemenangan menjadi sebuah kepastian. Alkitab mendorong kita untuk mengerti “…betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus, dan betapa hebat kuasa-Nya bagi kita yang percaya” (Ef 1:18-19). Mari kita berdoa agar kita bisa mengalami berkat dan kuasa di dalam kehidupan seorang yang sungguh-sungguh menjadikan Yesus sebagai Tuhan!