Wednesday, July 31, 2013

Turning the Tide of Risky Teen Behavior

Sebuah tulisan yang perlu dicermati oleh para pelayan kaum muda, ditulis oleh seorang youth pastor

AL
---------------------
Turning the Tide of Risky Teen Behavior
by Saleem Ghubril

Masyarakat kami di Pittsburgh sebetulnya adalah masyarakat yang tenang, dengan orang-orang baik yang hidup di dalamnya, dan oleh anugerah Tuhan, kami memiliki masa depan yang penuh harapan. Tapi oleh rasisme, kemiskinan, dan tekanan selama bertahun-tahun, kebusukan akhirnya masuk dan mencengkeram seluruh komunitas kami. Hasilnya adalah kekerasan di jalanan, perang antar gang, obat bius, pelacuran dan banyak lagi. Individu-individu dan keluarga-keluarga kehilangan kemampuan untuk mengasihi orang lain. Sebagai hasilnya, banyak anak-anak muda mendidik diri mereka sendiri, mengambil keputusan untuk diri sendiri yang sebenarnya belum waktunya mereka lakukan. Dan seringkali mereka mengambil keputusan yang buruk.

Tapi ada seorang pemuda – saya memanggil dia Kevin – memiliki masa depan yang sangat baik. Saya sangat memperhatikan dia dan menyediakan waktu setiap hari Sabtu untuk bisa memuridkan dia secara pribadi. Dia memiliki potensi kepemimpinan yang besar dan berwajah rupawan, walaupun hidupnya penuh tragedi: ayahnya dibunuh, beberapa pamannya dipenjarakan, dan sepupunya bunuh diri dengan melompat dari loteng karena halusinasi akibat obat bius. Tapi sayangnya, walaupun potensinya begitu besar, Kevin akhirnya terjerumus dalam kegiatan negatif gangnya. Pada suatu hari Sabtu dimana kami tidak bisa bertemu (karena saya melayani di sebuah retreat), Kevin terlibat dalam tawuran antar gang dan kehilangan nyawanya.

Empat hari kemudian, saya memakamkan dia.

Mengapa beberapa anak muda mudah sekali terjerumus dalam perilaku beresiko tinggi, sementara anak-anak lain bisa bertahan dari jebakan itu? Bahkan setelah memutuskan untuk mengikut Yesus, mengapa banyak anak muda masih bisa bermabuk-mabukan, kecanduan obat terlarang, hamil di luar nikah, dan bahkan terbunuh? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan membingungkan yang harus dihadapi oleh setiap pelayan kaum muda.

Meskipun pekerjaan saya membuat saya bisa berjumpa dengan ribuan anak muda yang terlibat dalam pelayanan, dan melihat sendiri ratusan anak yang membuat pengakuan iman, hanya sejumlah kecil dari mereka yang benar-benar diubahkan secara nyata dengan melihat kualitas hubungan, perilaku dan penampilan mereka. Oleh karena itu, bertahun-tahun saya bergumul dalam keprihatinan melihat pilihan-pilihan yang dibuat anak-anak ini dan “tidak nyambung”nya kepercayaan mereka dan gaya hidup mereka. Bertahun-tahun saya berjuang menghadapi kehamilan remaja, penggunaan narkoba, keterlibatan dalam gang, gagal dalam sekolah, dan bertahun-tahun juga saya kalah dalam perjuangan itu.
Anak-anak muda datang pada Yesus dan mau mengikuti pelajaran Alkitab, tapi mereka tetap saja terjebak dalam cengkraman perilaku yang destruktif. Sampai saya akhirnya harus memilih antara dua kesimpulan: Entah Injil telah kehilangan kekuatan untuk mengubahkan kehidupan, atau saya yang kehilangan suatu elemen penting untuk menghubungkan injil dengan kehidupan nyata para kaum muda.

Saya rindu—dan masih tetap rindu—agar mereka bisa bertumbuh seperti Yesus, dalam hikmat, dalam perawakan, dalam kasih Allah dan manusia. Tapi bagaimana?

Pendekatan Holistik
Pola pandang Kristen memanggil kita untuk dapat menerapkan karya penebusan Kristus dalam segala segi kehidupan: keluarga, sekolah, masyarakat, gereja, uang, hobi, dll. Tapi pandangan Kristen tidak mengajarkan kita untuk memisah-misahkan segi kehidupan tsb, dari mana yang paling penting atau kurang penting bagi Kristus. Tapi karena Kristus adalah Tuhan atas seluruh hidup kita, kita harus mencari seluruh sumber yang ada untuk memperlengkapi anak-anak muda untuk menyerahkan seluruh aspek kehidupan mereka kepada keTuhanan Kristus—dan untuk mewujudkan komitmen mereka dalam hidup yang diubahkan.

Modal untuk bertumbuh
Salah satu sumber tersebut adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Search Institute (Minneapolis). Penelitian ini mensurvey 250 ribu remaja Amerika dari berbagai budaya, etnik, tingkat sosial, ekonomi dan latar belakang untuk mempelajari siapa yang terlibat atau tidak terlibat dalam perilaku beresiko—dan untuk meneliti apakah ada perbedaan latar belakang mendasar yang kelihatan dalam kedua jenis kelompok tersebut. Penelitian ini mendefinisikan “perilaku negatif/beresiko” dengan cukup lengkap, termasuk di dalamnya: merokok, minum minuman keras, penggunaan narkoba, aktifitas seksual, kekerasan antar sesama, kekerasan terhadap diri sendiri, dropout dari sekolah dan kebut-kebutan. Penelitian ini juga sedapat mungkin mempelajari dan memasukkan unsur kepribadian, keluarga dan latar belakang sosial setiap anak.


Penelitian tersebut menemukan 40 hal dasar yang ada dalam kehidupan anak muda yang dapat menolak gaya hidup beresiko, dimana ke 40 hal tsb tidak ditemukan dalam kehidupan mereka yang sering terjerumus ke dalam hal-hal beresiko. Hal-hal tersebut disebut sebagai “modal”. Juga ditemukan adanya hubungan langsung antara jumlah modal yang dimiliki dengan kecenderungan para pemuda untuk terlibat dalam perilaku negatif. Kalau modalnya meningkat, perilaku negatif berkurang, dan sebaliknya. Pada umumnya anak-anak yang dapat menahan dirinya memiliki sebagian besar dari 40 modal tersebut.

Beberapa dari modal tersebut adalah:
-     Kasih dan dukungan dari keluarga
-     Komunikasi positif dalam keluarga
-     Batasan-batasan, peraturan-peraturan dan disiplin dalam keluarga
-     Keterlibatan orang tua dalam masalah sekolah
-     Hubungan penuh perhatian dari orang yang lebih dewasa
-     Keteladanan dari seorang dewasa dalam perilaku sosial
-     Keteladanan dari teman-teman yang bertanggungjawab
-     Keterlibatan rutin dalam kegiatan rohani
-     Keterlibatan rutin dalam kegiatan positif
-     Keterlibatan rutin dalam pelayanan masyarakat
-     Keterlibatan rutin dalam seni
-     Sekolah yang mengajarkan disiplin dan batasan perilaku
-     Membuat PR paling tidak satu jam setiap hari
-     Membaca paling sedikit tiga jam dalam seminggu
-     Sangat menghargai tindakan menolong orang lain
-     Sangat menghargai keadilan sosial
-     Memegang kepercayaan dengan teguh
-     Berani berkata benar meskipun ada resikonya
-     Membangun persahabatan lintas budaya
-     Memiliki pandangan positif tentang masa depan

Sebenarnya tidak ada yang luar biasa dari hasil penelitian tersebut di atas. Lembaga tersebut telah mendokumentasikan secara empiris apa yang telah kita ketahui sejak lama: anak-anak membutuhkan orang tua, orang dewasa lain, teman, sekolah, gereja dan lingkungan sekitar untuk dapat bertumbuh menjadi seorang yang utuh, sehat, bertanggung jawab dan berhasil. Tapi walaupun demikian, penemuan ini menyalakan sesuatu dalam pikiran saya. Saya melihat bahwa fokus beban saya untuk anak-anak muda tersebut selama ini mungkin keliru. Saya melihat bahwa fokus saya seharusnya adalah bagaimana membangun secara strategis setiap asset tersebut di atas dalam kehidupan anak-anak muda yang saya bimbing—agar mereka lebih mudah bertahan menghadapi godaan dari gaya hidup yang keliru. Dengan kata lain, saya harus menyerang pokok permasalahannya, bukan gejalanya.

Saya berpendapat bahwa kita pelayan kaum muda harus menimbang kembali peran kita dalam kehidupan anak muda yang kita layani. Biasanya kita memandang diri kita sebagai orang dewasa penuh perhatian—yang melalui proses membangun hubungan yang sehat—membuat anak-anak muda bertumbuh dalam pemuridan. Kita menjalankan program, mengadakan acara-acara, membuat bahan pelajaran, dan menunjukkan teladan iman Kristen pada anak-anak kita. Dengan melakukan ini, kita memenuhi Amanat Agung, dan memberikan sebagian modal dasar yang dijabarkan oleh Search Institute. Bentuk pelayanan pemuda semacam ini, yang sudah digunakan selama lebih dari setengah abad, masih tetap sangat penting dan efektif. Tetapi, meskipun demikian, saya mengusulkan perlunya sedikit pergeseran dari fokus kita selama ini.

Cara yang Baru
Sebagian besar peneliti perkembangan anak dan remaja setuju bahwa anak-anak jaman sekarang jauh lebih terekspos oleh informasi dan pengalaman-pengalaman yang dulunya hanya bisa didapatkan oleh orang dewasa—dan pada saat yang sama jauh lebih tidak terlindungi oleh orang tua dan masyarakat sekitar mereka. Dengan kata lain, mereka menghadapi masalah ganda. Banyak hal-hal mendasar yang diperlukan, hilang dalam kehidupan mereka.


Sesungguhnya pola tradisional pelayanan pemuda telah menggantikan beberapa elemen dasar ini, misalnya: adanya seorang kakak rohani yang memperkenalkan Yesus dan bagaimana bertumbuh dalam Dia. Saya tidak akan pernah meremehkan pentingnya hal ini. Tapi karena banyaknya asset yang hilang dalam kehidupan anak jaman sekarang, kita harus lebih strategis dan teliti untuk membantu mereka mendapatkan kembali semua asset yang diperlukan untuk hidup yang bijaksana, menghindari perilaku destruktif, dan membangun gaya hidup yang sehat.

Inilah cara saya sekarang melihat peran dari seorang pelayan pemuda: Seorang konduktor yang memimpin sebuah simponi orkestra yang terdiri dari orang-orang, pelayanan-pelayanan, dan program-program di sekitar kehidupan murid-murid mereka. Saya tidak menuntut bahwa seorang pelayan pemuda harus menjadi pakar orang tua, pendidikan, konseling, seni, motivasi, pembelajaran, komunikasi, manajemen waktu, dsb. Tapi saya berharap bahwa kita bisa menemukan orang-orang yang tepat yang ahli dalam hal-hal tersebut dalam masyarakat kita, dan membangun jembatan antara mereka dengan anak-anak kita. Karena anak-anak kita saat ini lebih terbuka dan rawan, saya percaya bahwa kita bertanggung jawab untuk membangun kembali tembok-tembok perlindungan untuk menjaga mereka, dan pada saat yang sama meruntuhkan tembok-tembok pemisah dan kekerasan di antara mereka.

Saya juga berpendapat bahwa kita harus menanyakan pertanyaan-pertanyaan baru untuk mengevaluasi pelayanan kita. Sebagai contoh, pada waktu anak-anak sedang bersama dengan kita, apakah mereka:
-     mengalami kasih dan dukungan dari orang tua mereka, bersamaan dengan batasan-batasan  yang jelas, disipin, komunikasi positif dan keterlibatan orang tua di sekolah?
-     Memiliki hubungan dengan beberapa orang dewasa lain yang memperhatikan mereka, yang bisa dijadikan teladan dalam perilaku dan mendorong mereka untuk melakukan yang terbaik?
-     Terlibat secara ajeg dalam aktifitas yang sehat dan positif, dalam pelayanan kemasyarakatan, seni, dan aktifitas ekstrakurikuler?
-     Menikmati seluruh proses pendidikan di sekolah mereka, mengerjakan tugas mereka dan memiliki hobi membaca?
-     Memilih teman secara bijak, bergaul dengan teman-teman yang baik, dan memiliki teman-teman yang berbeda budaya/ras?
-     Membangun citra diri dan harapan masa depan yang cerah bagi diri mereka, membuat keputusan-keputusan yang bijak, merasa aman di rumah, sekolah dan masyarakat?
-     Menerapkan iman dalam kehidupan sehari-hari, mengendalikan diri, bertanggung jawab atas perilaku mereka, dan peduli dengan orang lain?

Anak-anak yang melakukan hal-hal tersebut di atas sangat kecil kemungkinannya terlibat dalam perilaku yang negatif.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat membentuk dasar dari sebuah siklus program Pelayanan Pemuda. Saya percaya juga bahwa pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat menjadi sebuah tolok ukur yang membantu kita dalam menetapkan sasaran dalam membantu anak-anak muda membangun modal yang diperlukan dalam kehidupan mereka.


Berasal dari Beirut, Saleem Ghubril bersama keluarganya pindah ke Amerika tahun 1976 karena negaranya mengalami peperangan. Dia telah berada di pelayanan pemuda selama lebih dari tigapuluh tahun, dan telah melayani sejak 1985 sebagai direktur eksekutif Pittsburgh Project – sebuah pelayanan pemberdayaan masyarakat yang berfokus pada pemulihan kota dengan cara memulihkan komunitas lokal, memberdayakan masyarakatnya, mengembangkan pemimpin masa depan, melayani kaum miskin dan membangun Kerajaan Allah.

Saturday, July 13, 2013

Dari Dulu Begitulah Cina...

Sebuah tulisan apik yang membuat saya meneteskan air mata perih...
AL
-------------------

Dari Dahulu Begitulah Cina, Deritanya Tiada henti

Kurnia Harta Winata

Ahok begini, Ahok begitu…
Sudah Cina, Kristen pula…
Sudah Kristen, Cina pula…
Sebenarnya isu paling ramai adalah kekristenan Ahok, tapi yang diangkat cukup sederhana. Muslim, sebagai mayoritas dilarang memilih pemimpin di luar agamanya.
Jadi untuk masyarakat kristiani yang hanya ingin hidup santai damai sebagai warga Indonesia, isu ini tidak terlalu menohok (walau saya tidak menampik isu ini bisa berkembang lebih besar dan mengancam ketentraman nantinya).
Nah, untuk isu Cina ini yang lebih mengerikan.
“Dosa-dosa” keturunan Cina di Indonesia diungkit-ungkit, dibedah, seolah-olah berkulit kuning dan bermata sipit adalah tanda seorang penjahat. Dengan pengobaran sentimen semacam ini, seolah bangsa Indonesia diingatkan bahwa keturunan Cina bukanlah bagian dari mereka.
Kebencian disulut kembali. Prasangka, kecemburuan semu, dan dendam olahan disebarkan dalam masyarakat. Isu ini tidak hanya mengakibatkan Ahok saja yang ditatap dalam tuduhan, tapi seluruh keturunan Cina di Indonesia. Atau tepatnya, semua yang tampak dan mirip keturunan Cina.  Itulah sebabnya saya selalu tak suka bila ada keturunan Cina maju ke pentas politik. Kampanye negatif yang (pasti) digencarkan musuh politiknya bukan hanya mengincar ia sebagai pribadi, tapi juga semua keturunan Cina di Indonesia.
Apa daya, kesipitan mata dan kekuningan kulit tidak selalu dapat disembunyikan oleh logat medok saya.
Tapi tentu saja Ahok berhak maju dalam pentas politik.
Ketika saya berpandangan bahwa semua warga negara Indonesia adalah sama haknya di depan hukum, maka saya akan mengkhianati diri saya sendiri jika melarang Ahok maju sebagai calon wakil gubernur. Ahok, atau Basuki Purnama adalah pendamping Joko Widodo (Jokowi) dalam perebutan kursi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang diajukan PDIP dan Gerindra.
Pasangan ini menantang calon kuat yang telah menjadi Gubernur periode sebelumnya, Foke. Dalam pemahaman masyarakat, Foke memiliki citra pemimpin yang arogan dan haus kekuasaan. Ia dekat dan tampak memelihara dua ormas yang sering membuat kekacauan, FPI (Front Pembela Islam) dan FBR (Forum Betawi Rempug). Jadi yang terlihat adalah, Foke memelihara kekuasaannya bukan dengan prestasi yang ia toreh, melainkan dengan memiliki pasukan non formal yang siap mengacak-acak pihak-pihak yang berseberangan dengannya.
Bolehlah ia disebut pihak status quo.
Sebaliknya, Jokowi dan Ahok maju berdasar pencapaian yang telah mereka toreh selama memimpin daerahnya masing-masing. Pasangan ini digambarkan sebagai harapan rakyat kecil yang mendamba perubahan dan muak dengan kepemimpinan selama ini.
Lalu apa sih sebenarnya dosa-dosa yang dituduhkan pada warga keturunan Cina? Apa sih yang ditakutkan oleh para sinophobia, orang-orang yang ketakutan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Cina ?
Ekonomi! Keturunan Cina menguasai perekonomian Indonesia! Mereka menghisap kekayaan pribumi sampai habis, lalu melarikannya ke luar negeri.
Nasionalisme! Mereka tidak peduli terhadap bangsa Indonesia, hanya loyal terhadap tanah leluhur di daratan Cina sana. Sebagai bukti kita bisa lihat kewarganegaraan mereka, banyak yang tidak berwarganegara Indonesia. Masih saja mengagung-agungkan bangsa leluhur di daratan Cina sana.
Selama penjajahan, mereka juga memihak pada Kompeni sehingga diberi kasta di atas pribumi.
Eksklusif, tidak mau berbaur. Mereka sendiri yang tidak merasa jadi bagian dari Indonesia. Yang dipikiran mereka hanya uang.  Coba tengok, mana ada orang Cina di desa-desa. Memacul tanah dan bergelut dengan tahi kerbau.
Mereka hanya berkumpul di kota-kota besar dan bergaul dengan sesamanya saja.
Kalau tidak, kenapa sampai ada pecinan segala?!
Indonesia tidak butuh penduduk seperti mereka!
Selamatkan pribumi dengan mengusir mereka!
Makmurkan bangsa asli dengan membantai mereka!
Bagaimana keturunan Cina bisa menjadi hantu yang begitu mengerikan bagi pribumi ?
Pernahkah Anda menanyakan hal ini sebelumnya ?
Untuk mengetahuinya mari kita mundur ke masa lalu. Bukan dengan mesin waktu Doraemon, tapi dengan sedikit ingatan, beberapa buku, fasilitas pencarian google, dan semangat untuk memahami ruwetnya sejarah.
Mari kita tarik tuas mesin waktu kita menuju pembantaian etnis Cina terdekat!
Wuuut…!
***
Tanggal 13-14 Mei 1998, kota Jakarta membara saat presiden yang berkuasa, Soeharto, sedang melawat ke Mesir. Toko-toko dijarah dan dibakar.
Esoknya kerusuhan ini sudah menjalar ke Surakarta. Di kota itu dan kota-kota lain, beberapa menempelkan tulisan “Pribumi Muslim” di pintu tokonya yang tertutup rapat.
Kerusuhan ini memang mengincar warga keturunan Tionghoa. Toko-toko dan rumah mereka dijarah. Bukan hanya uang atau barang mewah saja yang diambil, beberapa kesaksian menyatakan bahkan sendok dan pakaian pun ludes tak bersisa. Itu termasuk beruntung, karena beberapa toko tidak hanya dijarah tapi juga dibakar.
Perempuan-perempuan keturunan Cina, atau yang tampak seperti Cina ditarik ke jalanan lalu diperkosa secara massal.
Saat itu, tidak tampak gerakan dari aparat keamanan untuk menghentikan kerusuhan yang terjadi. Saat itu memang terjadi huru-hara di mana-mana. Masyarakat resah. Krisis moneter memukul mereka. Inflasi merajalela, harga-harga membumbung tinggi.
Tuntutan penggulingan presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama lebih dari 30 tahun digerakkan oleh mahasiswa. Kelangsungan rezim terancam. Demo yang semula kecil jadi membesar tak terkendali. Boneka dan foto Soeharto dibakar. Tokoh yang selama ini begitu ditakuti, namanya diteriakkan di jalan-jalan. "Gantung anjing Soeharto" jadi frasa yang dipekikkan penuh kebanggaan.
Etnis Cina dituduh sebagai pihak yang mengakibatkan krisis moneter karena konon merekalah yang menguasai perekonomian Indonesia. Memang saat itu beberapa pengusaha keturunan Cina menjadi raksasa konglomerasi. Mereka mendapat banyak fasilitas dan hak monopoli yang diberikan oleh rezim Soeharto. Sebagai gantinya, Soeharto meminta balas budi mereka saat merasa membutuhkan. Terutama melalui jaringan keluarganya, atau yang sering disebut keluarga Cendana.
Tanggal 21 Mei, Soeharto mengundurkan diri. Orde baru berganti menjadi orde reformasi.
Dua tahun setelah itu, Gus Dur selaku presiden berlaku yang terpilih mengeluarkan Keppres no: 6/2000. Kepres ini berisi pencabutan terhadap Inpres no:14/1967 yang berisi pelarangan tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina. Sejak itu berbagai aturan yang bersikap diskriminatif dicabut. Masyarakat keturunan Cina diperbolehkan kembali untuk merayakan upacara dan adat istiadat secara terbuka.
Tapi darimana sumber segala pelarangan terhadap budaya Cina ini ? Karena Cina yang jadi lintah bagi perekonomian bangsa, Cina yang eksklusif dan tidak mau berbaur?
Mari kita tarik tuas mesin waktu kita kembali. Karena kisah kita barusan adalah kisah pembantaian etnis Cina sekaligus kisah pergantian rezim, maka Anda boleh pilih pergi ke masa kerusuhan anti-Cina atau ke masa perebutan kekuasaan sebelumnya.
Wuuut…!
***
Apapun pilihan Anda, ternyata kita kembali ke masa yang sama. Sekitar tahun 1973 -1974. Mirip kejadian tahun 1998, saat itu mahasiswa bergejolak. Muncul ketidakpuasan terhadap kebijakan perekonomian pemerintah. Pelaksanaan pembangunan dinilai terlalu memihak pemodal asing, terutama pemodal dari Jepang. Pengusaha-pengusaha kecil lokal menjadi hancur. Negara terlalu menggantungkan diri pada IMF dan bank Dunia. Ditambah lagi isu-isu KKN yang dilakukan lingkaran Soeharto.
Tiba-tiba tanggal 5 Agustus terjadi penjarahan dan perusakan terhadap toko dan rumah etnis Cina di Bandung. Aparat keamanan saat itu juga terkesan melakukan pembiaran, bahkan dikabarkan bahwa ada prajurit terlibat dalam aksi tersebut.
Oktober 1973, para mahasiswa mengeluarkan “Petisi 24 Oktober”. Petisi itu menuntut pemerintah untuk meninjau kembali strategi pembangunan, juga memprotes adanya perkosaan hukum, penyelewengan kekuasaan, korupsi, kenaikan harga, dan sempitnya lapangan pekerjaan.
Beredar juga desas-desus bahwa ada seorang jenderal yang akan menjatuhkan Presiden Soeharto. Jenderal yang dimaksud adalah Jenderal Soemitro. Tanggal 14 Januari, terjadi demonstrasi di kantor Ali Moertopo yang dianggap bersalah terhadap kekacauan ekonomi yang sedang berlangsung. Aksi mahasiswa ini tidak menemui rintangan dari Jenderal Soemitro yang mengkoordinasi aparat keamanan saat itu.
Tanggal 15 Januari, demonstrasi besar-besaran dilakukan terhadap Perdana Menteri Jepang Tanaka yang melakukan kunjungan ke Indonesia. Mereka meneriakkan anti terhadap barang Jepang yang saat itu membanjir tanpa henti ke Indonesia. Namun aksi ini berubah menjadi aksi liar yang konon direkayasa oleh kelompok Opsus, bikinan Ali Moertopo. Massa mulai menjarah dan membakar kendaraan buatan Jepang. Kerusuhan ini mulai merambat ke daerah Glodok dan Senen. Mereka menjarah dan membakar toko-toko milik warga keturunan Cina. Lagi-lagi terjadi pembiaran oleh aparat keamanan.
Akibat dianggap gagal menjaga keamanan dan ketertiban Jakarta, Sumitro dipecat dari jabatannya. Ia diberi tawaran untuk menjadi duta besar di Amerika Serikat. Ia menolak tawaran itu dan meminta pensiunnya dipercepat. Setelahnya terjadi beberapa mutasi dalam tubuh militer dan pemerintah bertindak lebih represif. Aksi-aksi menentang kebijakan pemerintah pun akhirnya padam.
Tapi tunggu, kita masih belum tahu asal muasal pelarangan budaya Cina di Indonesia. Bukankah tadi kita menarik tuas mesin waktu untuk mencari tahu hal tersebut.
Oke, langsung saja kita pergi ke jaman saat peraturan tersebut dikeluarkan.
Wuuutt….!
***
Dan di sinilah kita.
Masa-masa pergantian dari orde lama ke orde baru yang ditandai dengan peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Dan coba tebak, di masa ini pun kita menemui aksi anti-Cina. Lebih besar dan lebih mengerikan dari yang sudah kita bahas di atas.
Selepas peristiwa G30S/PKI, ribuan orang Cina dibantai, dianiaya, dan diusir di berbagai tempat di Indonesia. Toko-toko dan rumah-rumah dijarah, dirusak, dan dibakar. Menurut majalah Life, korban tewas mencapai ratusan ribu. Tapi jumlah ini simpang siur. Ada juga yang menyatakan “hanya” beratus-ratus, atau tidak sampai melewati angka dua ribu.
Pada Agustus 1966, diambil sebuah keputusan dalam Seminar Angkatan Darat II untuk mengganti sebutan Tiong Hoa dan Tiong Kok menjadi Cina. “…untuk menghilangkan perasaan inferior pada orang kita dan di lain pihak menghapus perasaan superior pada golongan yang bersangkutan dalam negeri kita, maka adalah tepat untuk melapor bahwa seminar memutuskan untuk menggunakan lagi sebutan untuk Republik Rakyat Tiongkok dan warganya “Republik Rakyat Cina” dan “warga negara Cina”."
Istilah Cina memang berkonotasi penghinaan. Dahulunya sering digunakan oleh Jepang saat menginvasi daratan Cina.
Loh, lha terus dari tadi saya kok pakai kata Cina? Ya sudah, mulai saat ini saya akan menggunakan kata Tiong Hoa.
Dari mana kebencian ini berkobar, sampai-sampai perlu mengganti sebutan? Semenakutkan apakah keturunan Tiong Hoa ini sampai-sampai mereka harus dihancurkan ?
Kita perlu mundur beberapa langkah untuk melihat keadaan secara lebih luas. Pergantian orde lama menjadi orde baru bukan sekedar pergantian kekuasaan dalam negeri. Kita harus sadar bahwa Soekarno sebagai penguasa orde lama adalah penguasa yang dekat dengan Tiongkok dan Uni Soviet, si raksasa sosialis komunis. Sedang penguasa orde baru, Soeharto, adalah penguasa yang dekat dengan Amerika Serikat dan Inggris, si raksasa kapitalis. Pada saat itu, antara dua kubu ini terjadi perang dingin. Mereka berebut pengaruh di antara negara-negara lain. Termasuk Indonesia.
Untuk menumbangkan pengaruh sosialis komunis, agen-agen kapitalis ini selain melakukan propaganda komunisphobia, juga melakukan propaganda sinophobia. Tiong Hoa begini, Tiong Kok begitu, pokoknya yang jelek-jelek dan mengerikan.
Dan saat kekuasaan Soekarno dibungkam, maka pengaruh Amerika Serikat dan Inggris membanjir masuk ke Indonesia. Akhirnya seperti yang telah diketahui, terjadi pemutusan hubungan diplomatik antara pemerintah Indonesia dan Republik Rakyat Tiongkok yang diawali dengan penyerbuan massa terhadap Kedutaan besar RRT di Jakarta.
Sentimen anti Tiong Hoa ini juga disambut masyarakat dengan cara menuntut diberlakukannya kembali PP no. 10 tahun 1959. Pengusaha pribumi ingin merebut perekonomian yang selama ini dikembangkan oleh pengusaha keturunan Tiong Hoa.
Di Makassar, walikota mengeluarkan larangan bagi orang Tiong Hoa WNA (Warga Negara Asing) untuk berdagang sembako di kota tersebut.
Di Jawa Timur, orang Tiong Hoa WNA dilarang melakukan perdagangan besar di kota selain Surabaya. Mereka diharuskan membayar pajak per-jiwa, juga dilarang menggunakan huruf dan bahasa Tiong Hoa di muka umum, di pembukuan, perdagangan, surat menyurat, bahkan percakapan telepon. Di saat yang sama, mereka dilarang berpindah domisili keluar dari Jawa Timur. Selain itu juga diperintahkan penutupan semua kelenteng di Jawa Timur dan Madura.
Di Jawa Tengah dan DIY, seluruh orang Tiong Hoa WNA diharuskan memasang papan tanda kebangsaan agar aparat dapat dengan mudah melakukan pengawasan.
Walaupun peraturan ini berlaku terhadap keturunan Tiong Hoa yang WNA, tapi harus diketahui bahwa saat itu status kebanyakan warga keturunan Tiong Hoa masih mengambang gara-gara UU no. 52 tahun 1958 yang mengurusi soal penyelesain kewarganegaraan ganda antara Indonesia dan RRT.
Aduh apa lagi PP-10 tahun 1959 dan UU no 52 tahun 1958 ini ?.
Mari kita tarik lagi tuas mesin waktu kita. Wuuut…!
***
Ternyata kita harus keluar sebentar ke negeri Tiongkok sana.
Untuk menggalang kekuatan dari orang-orang Tiong Hoa yang hidup di perantauan, Mao Zedong mengumumkan bahwa RRT menganut asas ius sanguinis, yaitu siapa saja di mana saja yang lahir membawa marga Tiong Hoa maka ia otomatis menjadi warga negara Tiongkok.  Ini menjadi permasalahan di Indonesia yang tidak mengenal kewarganegaraan ganda.
Bersamaan dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955, ditandatangilah perjanjian Dwi Kewarganegaraan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah RRT. Isinya adalah mengharuskan orang Tiong Hoa di Indonesia untuk memilih menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) atau menjadi warga negara RRT. Aturan ini menggantikan aturan tahun 1946 yang menyatakan bahwa siapa saja yang lahir di Indonesia adalah warga negara Indonesia.
Disadari atau tidak, aturan ini akan menyebabkan banyak orang keturunan Tiong Hoa di Indonesia akan menjadi WNA, kalau bukan malah tidak berkewarganegaraan. Bukan karena keturunan Tiong Hoa di Indonesia memilih menjadi warga negara Tiongkok, melainkan karena ketidakmampuan mereka untuk memenuhi syarat-syarat pengajuan kewarganegaraan Indonesia.
Untuk menjadi WNI, mereka harus menyatakan melepas kewarganegaraan RRT-nya dengan pergi ke pengadilan negeri. Untuk mendaftar di sana dibutuhkan banyak dokumen, misal akta kelahiran, akta kelahiran orang tua, surat kawin, dan KTP. Padahal kantor catatan sipil bagi keturunan Tiong Hoa di Indonesia baru ada di Jawa tahun 1919. Sedang yang di luar Jawa baru pada tahun 1926.
Dan bagaimana mengerikannya status tidak berkewarganegaraan itu bisa kita tanyakan pada kaum muslim Rohingnya yang sedang ramai dibicarakan belakangan.
Implikasi dari aturan ini benar-benar terasa pada tahun 1959. Muncul Peraturan Pemerintah no. 10 yang ditandatangani Soekarno pada 16 November 1959. Peraturan ini memaksa semua pedagang eceran Tiong Hoa di wilayah pedalaman, yaitu di luar ibukota daerah tingkat I dan tingkat II untuk menutup usaha mereka sebelum 1 Januari 1960. Ini sama saja mengusir keturunan Tiong Hoa dari desa-desa dan kota kecil ke kota-kota besar. Bila tidak, bagaimana mereka mencari nafkah. Mengingat sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai pedagang.
Nah, sekarang kita sudah memahami kenapa keturunan Tiong Hoa seakan angkuh tidak mau jadi WNI dan tetap memegang kewarganegaraan Tiongkok. Kita juga tahu kenapa keturunan Tiong Hoa seakan angkuh, tidak mau tinggal di desa-desa. Selain itu dengan empati, kita juga mengerti kenapa banyak dari mereka tidak banyak berbaur dengan masyarakat luas.
Tentu saja karena rasa takut.
Bagaimana bisa dengan enteng kita berbaur dengan orang yang sekonyong-konyong bisa menghina, menjarah, membunuh, dan memperkosa dirimu? Sejarah telah menggores trauma pada mereka.
Tapi tentu kita belum puas, masih banyak dosa keturunan Tiong Hoa yang belum kita gali. Bukankah keturunan Tiong Hoa ini juga merupakan antek Belanda, bersama-sama dengan mereka menindas bangsa Indonesia ? Kenapa seolah mereka hanya mau hidup dari perdagangan saja ? Bagaimana cap rentenir dan lintah darat melekat pada mereka?  Bukankah eksklusifitas mereka juga ditandai dengan adanya pecinan di berbagai kota besar di Indonesia?
Mari kita kembali menggunakan mesin waktu.
Sekali lagi Anda boleh memilih. Menarik tuas ke masa perebutan kekuasaan di nusantara atau ke masa pembantaian etnis Tiong Hoa sebelum G30S/PKI. Saya rasa kedua pilihan tersebut akan membawa kita ke masa yang sama.
Wuuuutttt….!
***
Apa lagi kalau bukan proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Selepas proklamasi, muncullah sebuah masa yang tampaknya tak pernah muncul dalam buku sejarah kita. Namanya masa bersiap!
Masa ini ditandai dengan seringnya seruan, “Bersiap!”
Sebuah periode kacau balau yang diakibatkan oleh kekosongan kekuasaan. Jepang sudah runtuh. Belanda belum datang. Sementara Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan belum memiliki pemerintahan. Keadaan tidak terkontrol.
Korbannya tidak lain adalah orang-orang yang dianggap musuh saat itu, dan tidak memiliki kemampuan untuk melawan. Orang-orang sipil Belanda, Indo, dan etnis Tiong Hoa. Massa pemuda menjarah, memperkosa, dan membunuh dengan seenaknya.
Pekikan, “Siap !” menjadi tanda yang menakutkan bagi mereka.
Kejadian ini tidak lepas dari sikap para tokoh perjuangan sendiri. Dalam pidato-pidatonya, Bung Tomo bersikap rasis dan menggelorakan sikap anti Tiong Hoa. Bahkan Bung Hatta memberi pernyataan, “Karena kenyataannya para pedagang Tiong Hoa menjadi kepanjangan tangan dari kapitalis asing di masyarakat Indonesia, mereka telah menimbulkan kesan tidak disenangi. Juga selama pendudukan Jepang, diamati bahwa orang-orang Tiong Hoa berusaha agar mereka selamanya berada dalam posisi yang menyenangkan...  Memang benar orang-orang Tiong Hoa tersebut sebagai instrumen membuat banyak kekacauan kepada pengusaha Jepang, tetapi setidaknya mereka berusaha agar posisi ekonominya tetap berada di atas.”
Sikap anti Tiong Hoa pada masa awal kemerdekaan yang paling terkenal adalah pembantaian Tangerang. Awal Juni 1946, ratusan orang Tiong Hoa dibantai, hartanya dijarah, dan rumahnya dibakar. Alasan pembantaian ini adalah bahwa orang Tiong Hoa dituduh dibalik pelaporan penyergapan laskar Republik oleh tentara NICA. Orang Tiong Hoa dituduh sebagai mata-mata. Kerusuhan ini menyebar dengan cepat. Banyak dilaporkan adanya orang Tiong Hoa yang dibakar hidup-hidup. Ada pula para lelaki Tiong Hoa yang disunat secara paksa, sedang remaja putrinya diperkosa. Kerusuhan ini baru berakhir pada tanggal 8 Juni.
Tidak lama setelah itu, Belanda berhasil memperluas daerah kekuasaannya ke pinggiran Jakarta. Memang sebelumnya Belanda sudah berniat menduduki Tangerang pada tanggal pada tanggal 13 Juni. Dan pembantaian ini memberi alasan moral bagi Belanda untuk melakukannya.
Sejak itu, orang-orang Tiong Hoa mulai mengungsi ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Belanda. Mereka takut perbuatan yang dilakukan oleh laskar Republik ini terulang pada mereka.
Melanggar isi Perjanjian Linggarjati, pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda mulai menyerang kedaulatan Indonesia. Peristiwa ini dikenal sebagai agresi militer Belanda. Tujuan utama agresi ini adalah merebut daerah-daerah yang penting dan kaya. Daerah-daerah pelabuhan, perkebunan, dan pertambangan. Menyadari bahwa sulit melawan Belanda secara langsung, maka pemerintah Republik Indonesia (RI) memilih mundur secara teratur sembari menjalankan perang gerilya dan taktik bumi hangus.
Taktik bumi hangus adalah taktik untuk membakar habis bangunan-bangunan penting yang mungkin dapat digunakan oleh Belanda, terutama pabrik-pabrik. Namun dalam keadaan kacau seperti itu, terjadi hal-hal yang tak diharapkan. Selain membumi hanguskan bangunan-bangunan yang penting, ternyata aksi itu juga dilakukan sembari menjarah harta benda, rumah-rumah, dan tempat usaha etnis Tiong Hoa. Tak luput juga pembunuhan dan perkosaan.
Mendapat serangan seperti itu, etnis Tiong Hoa merasa frustasi dan mengharap pertolongan dari tentara NICA. Bahkan beberapa akhirnya memihak Belanda dengan menjadi mata-mata mereka. Hal ini memperparah keadaan, karena dengan demikian terjadi pembunuhan serampangan dengan tuduhan sebagai mata-mata.
Apakah memang sedemikian jahatnya pasukan Republik ini?
Mungkin.
Tapi perlu diingat bahwa pada masa itu, selain pasukan formal (terikat pada induk kesatuan) dari pemerintah ada juga pasukan informal yang juga mengatasnamakan Republik. Pasukan-pasukan ini dikenal sebagai laskar atau gerombolan liar.
Salah satu contoh yang terkenal adalah saat tahanan dari penjara Kalisosok Surabaya dilepaskan. Mereka dipersenjatai dan diminta membantu Republik untuk membantu taktik bumi hangus yang didahului dengan cara mengosongkan kota. Kekacauan ini terus berlangsung hingga akhir tahun 1949.
Belanda sendiri juga tidak dapat dilepaskan dari dosa ini. Karena tiap kali mereka hendak memasuki kota, mereka berhenti dan memberi kesempatan agar taktik bumi hangus dapat dilaksanakan. Bahkan di Sukabumi tercatat, bahwa Belanda menyebarkan pamflet terlebih dahulu. Artinya juga, memberi kesempatan terhadap penjarahan dan pembantaian terhadap etnis Cina.
Selain mendapat keuntungan dengan hancurnya reputasi Republik yang tampak masih barbar, Belanda juga mendapat keuntungan dengan perpecahan antara pribumi dan etnis Cina.
Hasil adu domba ini tampak jelas dengan terbentuknya Pao An Tui.  
Ketika pemerintah Republik Indonesia secara resmi mengambil sikap bahwa penjarahan dan pembakaran yang ditanggung oleh etnis Cina adalah harga yang harus ditanggung demi revolusi, maka etnis Cina berpaling kepada Belanda. Belanda yang merasa tak mampu melindungi mereka, akhirnya memberi ijin pembentukan Pao An Tui, badan yang bertugas menjaga keamanan etnis Cina.
Dalam prakteknya, Pao An Tui ternyata ada juga yang dapat diajak bekerja sama dan dipersenjatai oleh Belanda. Keberadaan Pao An Tui masih jadi kontroversi selama ini. Apakah ia musuh Republik, ataukah sekedar badan guna melindungi etnis mereka sendiri.
Karena nyatanya Pao An Tui pusat di Jakarta masih bersikap anti-Belanda dan banyak juga kalangan dari etnis Tiong Hoa yang bersikap menentang keberadaan Pao An Tui. Yang jelas Pao An Tui menghasilkan kesalahapahaman di masyarakat, seolah-olah mereka adalah barisan pemuda keturunan Tiong Hoa yang melawan pemuda Indonesia.
Dan perlawanan ini tampak nyata karena Pao An Tui memang dibentuk untuk menghalau penjarahan yang dilakukan oleh laskar liar yang berisi pemuda pribumi.
Ketika kita melihat sikap antipati masyarakat terhadap etnis Tiong Hoa yang dimanfaatkan Belanda bisa sedemikian besar, tentunya kita curiga. Kebencian pribumi terhadap etnis Tiong Hoa tentunya sudah berakar dari sebelum proklamasi kemerdekaan.
Mari kita tarik tuas mesin waktu kita kembali.
Ke masa perebutan kekuasaan sebelum proklamasi.
Wuuut….
***
Pearl Harbour diserbu Jepang pada 8 Desember 1941. Setelah itu, gantian Hindia Belanda yang jadi sasaran. Jepang sangat membutuhkan kilang-kilang minyak untuk mendukung perangnya. Pertempuran berlangsung sangat cepat, 8 Maret 1942 angkatan perang Belanda sudah menyerah pada Jepang di pulau Jawa. Seluruh Hindia Belanda telah jatuh ke tangan Jepang.
Para pemimpin pergerakan Indonesia terpecah menjadi dua, sebagian menentang sebagian lagi pro-Jepang. Masyarakat Tiong Hoa di Hindia Belanda kembali berada dalam posisi sulit. Karena pada saat yang sama, berkibar perang antara Jepang dan daratan Tiongkok.
Seluruh pemimpin dan tokoh Tiong Hoa ditangkap. Partai politik, ormas, dan penerbitan diberangus. Mereka yang ditahan, dijadikan satu dengan tahanan Belanda dalam kamp interniran. Orang-orang Tiong Hoa yang tidak tertawan mengorganisasi gerakan-gerakan bawah tanah menentang Jepang.
Selain penjarahan dan perampokan terhadap toko dan rumah Tiong Hoa saat pendaratan pasukan Jepang, eksekusi dan penyiksaan terhadap tokoh-tokoh Tiong Hoa yang menentang Jepang, tidak ada pembantaian massal terhadap etnis Tiong Hoa di bumi nusantara.
Tapi masih perlu kita catat juga bahwa ada pembantaian massal terhadap etnis Cina pada masa ini di Singapura. Singapura merupakan markas besar tentara ketujuh Angkatan Darat Jepang, yang juga membawahi wilayah Sumatra.
Jadi di masa ini, tidak ada cukup keterangan yang dapat kita ambil.
Bagaimana kalau kita ke masa perebutan kekuasaan yang lebih lalu lagi, adakah pembantaian etnis Tiong Hoa di sana?
Wuuuttt…
***
Sekarang kita berada pada masa perang Jawa, 1825-1830, atau yang sering disebut juga perang Diponegoro.
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwono III. Namun ternyata ia tidak diangkat menjadi putra mahkota. Penguasa Hindia Belanda lebih tertarik memberikan takhta pada adiknya. Dengan ditandai pematokan di atas tanah Pangeran Diponegoro, maka pecahlah perang.
Pematokan ini dilakukan oleh kraton atas permintaan Residen Yogyakarta (semacam kepala daerah dalam pemerintahan Hindia Belanda), tentu saja tanpa seijin Pangeran Diponegoro.
Banyak bangsawan yang turut memihak Pangeran Diponegoro. Dukungan ini terutama disebabkan oleh keputusan menghentikan hak sewa lahan perdesaan oleh Gubernur Hindia Belanda yang dinilai mematikan sumber penghasilan para bangsawan. Tidak hanya para bangsawan yang membantu perjuangan Diponegoro, tetapi banyak juga orang Tiong Hoa yang urut serta.
Selain bantuan secara pasif dalam bentuk uang, senjata, dan candu, bantuan ini juga bersikap aktif. Turut serta mengangkat senjata melawan Belanda. Namun bantuan ini tidak berjalan langgeng, di pertengahan perang orang-orang Tiong Hoa menarik dukungan terhadap Diponegoro.
Berkhianatkah mereka ?
Pada masa awal perang, Raden Ayu Yudakusuma puteri dari Sultan Hamengbuwono I bersama pasukannya menyerbu Ngawi. Saat itu Ngawi merupakan pos perdagangan yang penting. Di sana, terjadi pembantaian etnis Tiong Hoa oleh pasukan tersebut.
Ternyata pembantaian ini tidak hanya terjadi di Ngawi. Di berbagai tempat di Jawa Tengah dan sepanjang Bengawan Solo, pembantaian ini terjadi terus menerus. Kabar mengenai pembantaian ini akhirnya diketahui oleh para Tiong Hoa yang membantu Diponegoro.
Rasa kecewa dan prasangka muncul. Namun sikap ini bersifat timbal balik. Orang-orang Jawa juga curiga dan berhati-hati pada Tiong Hoa. Pangeran Diponegoro sendiri memerintahkan para komandannya menjaga hubungan agar tidak terlalu akrab dengan orang Tiong Hoa.
Bahkan dalam Babad Dipanagara, Diponegoro menyalahkan kekalahannya di Gowok akibat ia terjebak kecantikan seorang gadis Tiong Hoa yang ia tangkap dan ia jadikan tukang pijatnya.
Kekalahan Sasradilego, ipar Diponegoro, dalam pertempuran di pesisir utara pun dilimpahkan kepada pundak orang Tiong Hoa. Yaitu Sasradilego melanggar perintah Diponegoro untuk tidak menggauli seorang perempuan Tiong Hoa di Lasem. Padahal kemenangan yang sedemikian cepat diraih Sasradilego dalam awal pertempuran bisa dibilang didapat dari bantuan para Tiong Hoa yang mampu menyelundupkan senjata api. Sedang kekalahannya disebabkan oleh pihak Belanda yang sudah berhasil mendatangkan bala bantuan.
Sebenarnya saat itu memang sudah muncul gesekan antara orang Jawa dan orang Tiong Hoa. Penyerbuan Raden Ayu Yudakusuma yang sebelumnya mempunyai hubungan baik dengan orang Tiong Hoa pun bukan tanpa alasan.
Orang-orang Tiong Hoa saat itu banyak yang berprofesi sebagai rentenir maupun pemungut pajak dan sewa. Oleh karena semakin lama pajak dan uang sewa ini semakin mencekik, maka wajar jika muncul kebencian terhadap orang-orang Tiong Hoa yang datang menagih. Tapi kebencian ini sebenarnya tidak terjadi pada kaum bangsawan.
Setelah Daendels dan Raffles selaku Gubernur Hindia Belanda waktu itu mengurangi wilayah kekuasaan para raja, maka semakin sedikit pula sumber penghasilan para raja. Untuk itu mereka harus mendapatkan keuntungan lebih dari wilayah yang mereka miliki.
Keuntungan ini mereka dapatkan dari menyewakan sawah dan pekerja kepada para wiraswasta. Sedangkan para wiraswastawan pada waktu itu adalah orang-orang yang sudah memiliki kemampuan berhitung, orang-orang yang terbiasa berdagang. Tentu saja kalau bukan orang Eropa, ya orang Tiong Hoa.
Dan karena kepemilikan mereka akan uang, banyak dari mereka yang juga memberikan pinjaman, alias jadi rentenir. Termasuk Raden Ayu Yudakusuma, yang juga sering meminjam uang pada orang-orang Tiong Hoa ini.
Pemerintah Hindia Belanda yang melihat keefektifan kerja orang Tiong Hoa dalam menarik sewa, akhirnya melakukan hal yang sama. Mereka mempekerjakan orang-orang Tiong Hoa untuk melakukan penarikan pajak di wilayah mereka.
Dalam prakteknya, pasti kegiatan-kegiatan penarikan pajak dan rentenir ini akan menjerumus pada tindakan-tindakan pemerasan. Tapi para bangsawan dan pemerintah Hindia Belanda tidak peduli, karena mereka mendapatkan uang dengan lancar.
Kebencian rakyat terhadap mahalnya pajak pun tidak terarah pada mereka. Melainkan pada golongan Tiong Hoa yang langsung turun ke lapangan. Lalu apakah sebenarnya orang Tiong Hoa ini memang anak emas pemerintah Hindia Belanda ? Mengingat kegiatan orang Tiong Hoa dalam menarik pajak dilindungi oleh mereka ?.
Dari segi pajak, orang Tiong Hoa menghadapi pajak yang jauh lebih tinggi. Dalam perdagangan, pajak orang Tiong Hoa bisa sampai tiga kali lipat lebih besar dari orang Jawa. Orang Tiong Hoa juga dikenai pajak konde atau pajak per-kepala. Selain itu ada berbagai peraturan dari pemerintah Hindia Belanda yang mengekang orang-orang Tiong Hoa.
Peraturan-peraturan itu antara lain:
Wijkenstelsel, orang-orang Tiong Hoa dikumpulkan pada satu tempat. Mereka diharuskan bermukim hanya pada tempat-tempat yang ditentukan. Tempat-tempat ini lah yang kemudian berkembang dan disebut dengan pecinan. Aturan ini dibuat agar orang-orang Cina mudah diawasi.
Passenstelsel, aturan yang menyebutkan tiap orang Tiong Hoa harus memiliki pas (surat ijin) jika bepergian. Tiap kali mereka perlu keluar dari wilayah yang ditentukan oleh wijkenstelsel, mereka harus mendapat ijin dari penguasa Belanda. Selain sebagai pengawasan, aturan ini juga menjadi lahan basah para opsir Belanda untuk memeras orang Tiong Hoa.
Undang-undang Agraria 1870, secara resmi UU ini bertujuan melindungi hak petani pribumi dari pemodal asing. Caranya dengan melarang orang asing untuk memiliki tanah di Hindia Belanda.
Akibat langsungnya adalah, orang-orang Tiong Hoa kehilangan lahan pertaniannya yang mungkin saja sudah mereka garap sendiri secara turun-temurun. Ketiga peraturan ini secara tidak langsung memperlihatkan usaha pemerintah Hindia Belanda untuk memisahkan pribumi dengan orang-orang Tiong Hoa. Juga ketakutan mereka atas orang-orang Tiong Hoa sehingga mereka harus selalu diawasi dengan seksama.
Apa yang menyebabkan ketakutan ini?
Seperti yang sudah-sudah, kita coba menjawab pertanyaan kita dengan mesin waktu yang kita miliki.
Kemana kali ini kita akan pergi? Bagaimana kalau ke pembantaian etnis Tiong Hoa terdekat sebelum perang Jawa dimulai.
Tarik tuasnya !
Wuuuttt…!
***
Sekarang kita berada di Batavia, pada masa-masa mulainya kehancuran VOC.
Tahun 1732, terjadi wabah penyakit di Batavia. Penegakan hukum yang dilakukan oleh VOC pun membuat banyak orang bangkrut karena kehilangan mata pencaharian. Praktek-praktek kotor dan curang memang sudah jadi praktek sehari-hari di masa itu.
Pengangguran merajalela. Namun orang-orang Tiong Hoa yang sebelumnya didatangkan oleh VOC untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak mau dilakukan oleh pribumi dan Eropa terus saja berdatangan. Penumpukan pendatang ini menciptakan problem baru, terutama kebanyakan dari mereka menjadi pengangguran akibat lapangan kerja yang semakin menciut. Kriminalitas mulai terjadi di daerah-daerah pinggiran.
Keadaan ini berlanjut terus sampai tahun 1740. Untuk itu VOC mengeluarkan peraturan yang berguna membatasi orang Tiong Hoa di Batavia.
Setelah gagal membendung imigran, VOC membuat aturan yang lebih keras. Tiap orang Tiong Hoa yang menganggur akan dideportasi.ke Ceylon dan Afrika Selatan. Ketika aturan ini mulai diberlakukan, terdengar kabar bahwa ini hanyalah akal-akalan pemerintah. Orang-orang Tiong Hoa yang tertangkap dan dinaikkan kapal tidak pernah sampai di Ceylon atau Afrika Selatan, melainkan dibuang ke laut!
Orang-orang Tiong Hoa mulai takut akan adanya kabar burung ini. Mereka mulai nekat. Beberapa pemberontakan muncul di luar tembok kota. Sebenarnya tidak ada bukti bahwa orang-orang Tiong Hoa yang ada di dalam tembok kota ikut terlibat, tapi rasa was was penduduk sudah sedemikian hebat.
VOC memberlakukan jam malam bagi warga Tiong Hoa, bahkan tidak diperkenankan membuat api sekalipun. Pemerintah VOC takut apabila itu digunakan sebagai tanda aba-aba bagi orang-orang Tiong Hoa di luar benteng untuk menyerang kota. Karena memang ada desas desus penyerbuan itu akan ditandai dengan api di dalam kota.
Penduduk non Tiong Hoa berkumpul di jalan-jalan sambil membicarakan rumor tentang penyerangan. Mereka bertambah curiga dengan tiadanya orang-orang Tiong Hoa di antara mereka, yang sebenarnya memang dilarang keluar oleh pemerintah. Para majikan Belanda yang merasa terancam mempersenjatai bawahannya yang terdiri dari berbagai ras dan suku bangsa.
Tidak lama terjadi kebakaran di beberapa warung Tiong Hoa. Kemungkinan kebakaran ini terjadi karena penggeledahan senjata oleh aparat. Tapi bagi orang-orang Belanda, kebakaran ini diartikan sebagai dimulainya pemberontakan oleh orang Tiong Hoa.
Kerusuhan tidak terelakkan. Penjarahan dan pembakaran rumah-rumah Tiong Hoa terjadi dengan kejam. Semua orang Tiong Hoa, laki perempuan, besar kecil, tua muda, semua dibantai.
Banjir darah terjadi. Sungai menjadi merah dalam arti sebenarnya. Dari sinilah nama Angke yang berarti kali merah berasal.
Meriam-meriam ditembakkan ke rumah-rumah orang Tiong Hoa. Sekejap begitu banyak korban terpanggang hidup-hidup. Banyak di antara mereka yang memilih bunuh diri dari pada jatuh ke dalam tangan orang-orang Belanda, pribumi, dan orang-orang kulit hitam yang memburu mereka.
Sebuah kesaksian menyatakan, pada saat pembakaran berhenti tidak tampak seorang Tiong Hoa pun di kota. Semua jalan dan lorong penuh mayat, kali-kali ditimbuni mayat sehingga orang dapat menyebrang di atas mayat-mayat tanpa kakinya menjadi basah.
Kabar mengenai kejadian ini segera menyebar ke luar Batavia. Orang-orang Tiong Hoa yang marah mulai melancarkan pemberontakan terhadap VOC. VOC meminta penguasa Jawa saat itu yaitu Sunan Paku Buwono II untuk membantunya, tetapi Sunan bersikap hati-hati. Tidak pernah sebelumnya orang Jawa menangkapi orang Tiong Hoa. Lagipula ia tidak mau membuat kesalahan dengan menangkap orang yang tidak bersalah.
Sunan berusaha bersikap netral. Namun lama kelamaan, pemberontakan ini mulai didukung oleh orang Jawa. Selain benci dengan VOC, orang-orang jawa juga merasa bersimpati terhadap orang Tiong Hoa yang sudah hidup harmonis dengan mereka selama beberapa generasi.
Sedang Sunan yang terus ditekan kekuasaan VOC berada di kebimbangan, para bangsawan kraton terpecah menjadi dua, antara yang ingin membantu VOC dan yang ingin turut serta membantu orang Tiong Hoa.
Pemberontakan terus meluas. Pasukan Tiong Hoa mulai merebut kemenangan di mana-mana.
Sunan sendiri akhirnya memilih membantu orang Tiong Hoa secara rahasia. Secara resmi ia masih mengulur waktu, tapi di bawah tangan ia memerintahkan penguasa-penguasa bawahannya untuk menyerang VOC.
VOC menyadari tidak mungkin bertahan dengan kemampuan yang ada. Ia berusaha mendapatkan bantuan.  Akhirnya VOC mendapat bantuan pasukan Cakraningrat IV dari Madura yang memang mengulurkan tangan.
Cakraningrat IV meminta janji dari VOC bahwa ia akan mendapat kemerdekaan dari penguasaan Kartasura.
Bala bantuan ini menjungkirbalikkan perimbangan. Pasukan pemberontak ditumpas.
Di Madura, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, terjadi pembantaian terhadap orang Tiong Hoa oleh pasukan Madura.
Mengetahui Cakraningrat IV yang merupakan musuh politiknya membantu VOC, Sunan akhirnya memihak pemberontak secara terbuka.
Namun ketika ternyata pasukan Belanda dan Madura lebih kuat, terutama saat kegagalan merebut Semarang, Sunan menyatakan untuk menghentikan permusuhan lebih lanjut. VOC menyambut gembira pernyataan ini.
Pemberontak Tiong Hoa dan sebagian besar anak buah Sunan marah mengetahuinya. Mereka ganti menyerang kraton Kartasura. Namun tidak lama kemudian, pemberontakan ini pun berhasil ditumpas. Sunan Paku Buwono II dipulihkan kedudukannya sebagai penguasa Mataram.
Sejak saat itu pemerintah kolonial VOC selalu memberi pengawasan ekstra terhadap orang Tiong Hoa.
Kebijakan ini diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda, dan dilanjutkan lagi oleh pemerintah Indonesia.
Ternyata pembantaian orang Tiong Hoa di Batavia ini adalah pembantaian etnis Tiong Hoa pertama di Nusantara. Bahkan yang pertama pula di luar daratan Tiongkok.
Sebelum ini hubungan antara pribumi dan Tiong Hoa tampak harmonis. Hubungan ini bisa dilihat dari banyaknya orang Tiong Hoa yang diberi jabatan oleh penguasa.
Juga catatan-catatan yang memperlihatkan baiknya hubungan bilateral antara kerajaan nusantara dan kerajaan Tiongkok.  Misalnya pengangkatan Cik Go Ing, atau Tumenggung Mertaguna menjadi bupati Lasem oleh Sultan Agung atas jasanya dalam perang Mataram (1620-1625).
Satu-satunya konflik antara Tiong Hoa dan pribumi yang tercatat di nusantara sebelum ini hanyalah ekspedisi Kubilai Khan pada tahun 1292. Namun perlu kita catat, selain sebenarnya Kubilai Khan adalah penguasa Mongol yang menjajah Tiongkok, ekspedisi itu bersifat konflik antar kerajaan. Tidak membawa-bawa etnis tertentu.
Dan kita catat lagi, ekspedisi ini membawa dampak besar pada nusantara. Prajurit-prajurit Kubilai Khan yang akhirnya menetap di nusantara tersebut melakukan transfer teknologi. Terutama teknologi perkapalan dan senjata api. Dengan teknologi baru ini dengan sangat singkat akhirnya Gajah Mada berhasil mempersatukan nusantara di bawah panji-panji Majapahit.
***
Nah, sekarang pertanyaan-pertanyaan mengenai dosa keturunan Tiong Hoa dapat kita ganti menjadi:
Kecuali pembantaian yang pertama, mengapa pembantaian dan penjarahan terhadap etnis Tiong Hoa besar-besaran selalu berbarengan dengan perebutan kekuasaan yang besar-besaran pula?
Kita lihat tidak ada perlunya lagi kita menggunakan mesin waktu untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kita.
Pembantaian pertama dilakukan penguasa atas ketakutannya akan etnis Tiong Hoa.
Lalu mereka melihat besarnya kekuatan yang tercipta dari bersatunya etnis Tiong Hoa dan pribumi.
Ini lebih berbahaya lagi bagi mereka.
Untuk itu penguasa berusaha memisahkan keduanya dengan cara menciptakan jarak dalam kehidupan mereka.
Lebih lanjut dari itu, penguasa juga menjadikan etnis Tiong Hoa sebagai alat pemeras rakyat jelata.
Keberhasilan dari adu domba ini meledak pertama kali saat perang Jawa. Sentimen anti Tiong Hoa yang sudah tercipta terus menerus digunakan penguasa-penguasa sesudahnya.
Untuk apa menciptakan sasaran baru, kalau sasaran yang ada sudah tersedia.
Kita bisa mengamati bahwa wijkenstelselyang dilakukan oleh kolonial dihidupkan kembali dalam masa kemerdekaan dalam bentuk PP-10 dan UU no. 52 tahun 1958. Pemerasan dalam bentuk penarikan pajak yang dilakukan kolonial dengan menggunakan etnis Tiong Hoa diulangi kembali dalam bentuk pemberian hak-hak monopoli terhadap etnis Tiong Hoa yang dijadikan sapi perahan penguasa Indonesia.
Imbasnya etnis Tiong Hoa yang ketakutan dan memiliki cukup banyak harta, memilih menyimpan hartanya di luar negeri mengingat harta mereka di dalam negeri bisa dijarah sewaktu-waktu. Selalu ada pemikiran, bahwa ada kemungkinan mereka harus kabur ke luar negeri.
Yang tidak memiliki cukup banyak harta…yah, di mana-mana orang miskin memang tak punya pilihan.
Dalam tiap perebutan kekuasaan selalu ada penguasa yang dipertanyakan.
Dalam tiap perebutan kekuasaan selalu ada rakyat yang mendendam.
Tiap penguasa ini butuh pihak untuk disalahkan, dan rakyat butuh pihak tempat untuk melampiaskan amarah. Dan yang terjepit ditengah selalu yang jadi korban. Di nusantara, kebetulan pelanduk di antara gajah ini adalah etnis Tiong Hoa.
Mau bagaimana lagi sekarang? Semua sudah telanjur terjadi. Apalagi sudah dimulai beratus tahun silam.
Masa reformasi memang sudah mengembalikan hal-hak keturunan Tiong Hoa yang diberangus penguasa-penguasa sebelumnya. Namun kita tak boleh lengah, kerusuhan-kerusuhan dapat saja terjadi sekonyong-konyong seperti waktu-waktu lalu.
Bahkan penguasa masih saja menyisakan peraturan-peraturan diskriminatif itu.
Coba lihat Surat Keputusan Walikota Pontianak no 127/2008 yang melarang atraksi naga dan barongsai di jalan umum.
Atau di Yogyakarta, yang selama ini disebut sebagai model terbaik dari pluralisme Indonesia. Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 yang melarang WNI non Pribumi untuk memiliki sertifikat hak milik atas tanah masih berlaku hingga saat ini.
Tapi yah…
Dari dulu begitulah Cina, deritanya tiada henti.
Namun derita ini bukan milik keturunan Tiong Hoa saja! Derita ini adalah derita segenap bangsa Indonesia!
Bagaimana tidak, tiap kali kerusuhan anti Tiong Hoa terjadi pastilah ekonomi kita tersendat.
Pelarangan bagi WNI keturunan Tiong Hoa untuk berdagang berkali-kali nyatanya tidak membuat kekosongan ini dapat diisi oleh pribumi begitu saja. Kita terganjal dari gerak maju.
Mengaca pada sejarah, coba bayangkan seberapa kuatnya bangsa ini jika kebencian-kebencian ini tidak memisahkan keturunan Tiong Hoa dari pribumi. Kita bahu membahu menjadi bangsa yang kuat. Bersatu padu membangun sebuah budaya yang disegani kawan dan lawan.
Berapa besar potensi yang hilang karena kita saling curiga dan penuh prasangka?
Betapa menyedihkan dari jaman VOC sampai sekarang kita dikadali dengan kadal yang sama.
Tapi yah…
Dari dulu begitulah kita, deritanya tiada henti.
Namun derita ini bukan untuk diratapi. Derita ini juga bukan alasan agar kita dikasihani. Apalagi diungkit-ungkit demi ganti rugi.
Derita ini untuk kita pelajari, kita mengerti, dan kita sadari.
Hingga kita akhirnya paham, bahwa tiap kali kita dilanda kebencian dan prasangka karena sentimen anti Tiong Hoa atau sentimen apapun, dan berada di pihak manapun, kita harus ingat untuk bertanya;
“Siapakah sebenarnya yang diuntungkan oleh kebencian kita ini?
Siapakah sebenarnya yang dirugikan?
Apa saja keuntungan yang didapat?
Apa saja kerugian yang harus ditanggung?”
Karena jangan-jangan yang rugi sebenarnya hanya kita-kita saja, dan yang untung hanya penguasa-penguasa juga.
Karena jangan-jangan yang menanggung kita-kita juga, dan penguasa tinggal ongkang-ongkang saja.
Karena bangsa yang hanya mampu meluapkan amarah memang tak pantas maju.
Karena penguasa yang hanya mampu melempar salah memang tak perlu diaku.
Yogyakarta, 26-29 Agustus 2012
nb: sebenarnya saya tak suka istilah pribumi karena banyak keturunan Tiong Hoa yang sudah ratusan tahun hidup di nusantara, tapi saya tetap memakainya untuk memudahkan penyebutan