Thursday, March 24, 2011

Tuntutan KeTuhanan Kristus

Seorang anak menghormati bapanya dan seorang hamba menghormati tuannya. Jika Aku ini bapa, di manakah hormat yang kepada-Ku itu? Jika Aku ini tuan, di manakah takut yang kepada-Ku itu?…" Maleakhi 1:6

Ada satu hal yang unik yang akhir-akhir ini saya amati, yaitu istilah yang digunakan seseorang untuk memanggil rekannya. Untuk menyapa, panggilan “bro” sekarang menjadi sangat umum. Pertama kali saya mendengar orang saling menyapa dengan istilah itu waktu saya sedang di Jakarta sekian tahun yang lalu. Tapi kini sepertinya panggilan tersebut sudah cukup umum terdengar di mana-mana. Tidak hanya “bro”, panggilan “boss” juga sering saya dengar, khususnya dalam urusan tawar menawar di dunia bisnis.

Satu hal yang kita tahu bersama, panggilan “bro” atau “boss” tidaklah dimaksudkan untuk memiliki arti sesungguhnya. Saat seseorang memanggil rekannya dengan sebutan “bro” atau “boss”, ia tidak sedang bersungguh-sungguh menganggap rekannya sebagai saudara atau majikan dalam arti sebenarnya. Panggilan itu hanya sekedar sebagai pengganti nama dari yang dipanggil, sebuah sebutan yang nyaman digunakan untuk berbagai macam orang dari berbagai status sosial.

Tidak demikian halnya jika kita memanggil Yesus dengan sebutan “Tuhan”. Kita tidak bisa memanggil “Tuhan” sebagaimana kita memanggil seseorang dengan panggilan “boss”. Jika kita bisa menyapa atau memanggil siapapun dengan sebutan “bro” atau “boss” tanpa beban apa-apa, tidak demikian halnya dengan sapaan “Tuhan” kepada Yesus. Pada saat seseorang memanggil Yesus dengan sebutan “Tuhan”, dia sebenarnya sedang (dan harus) menempatkan diri sebagai hamba. Dan memang itulah yang benar, Yesus adalah Tuhan (Tuan) dan kita adalah hambaNya. Memanggil Yesus “Tuhan” tanpa benar-benar bermaksud menempatkan diri sebagai hambaNya dapat membuat kita melalaikan begitu banyak hal dalam kehidupan, yang berujung pada hukuman kekal. Tuhan Yesus pernah berfirman: “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat 7:21).

Dengah rendah hati harus kita akui, kita sering tidak sepenuhnya bersikap hamba pada saat kita memanggil Yesus dengan sebutan “Tuhan”. Bagi kita sebutan “Tuhan” lebih merujuk pada apa yang Dia bisa (dan semoga) lakukan dalam hidup kita, bukan apa yang harus kita lakukan dalam ketaatan pada kehendakNya. Panggilan “Tuhan” terasa lebih cocok untuk gambaran seorang penolong maha baik, yang selalu ingin menyenangkan & menjawab kebutuhan kita, rela mati demi kita, dan tidak memiliki tuntutan apa-apa kecuali sedikit lagu pujian di hari Minggu dan komunikasi sekian menit perhari dalam doa. Atau seperti yang dikatakan dalam kutipan kitab Maleakhi di awal tulisan ini, panggilan “Tuhan” tidak lagi berkorelasi dengan tuntutan rasa takut dan hormat yang mendalam dari pihak kita. Kita bisa merasakan unsur kasih dalam panggilan “Tuhan”, tapi kehilangan makna “tuntutan”nya.

Ijinkan saya untuk memunculkan kembali unsur tuntutan dalam sapaan “Tuhan” ini. Kita perlu memeriksa kembali hidup kita, berapa persen dari waktu & kerja keras yang kita kerjakan, yang kita lakukan untuk Yesus sebagai ‘boss’ atau majikan kita. Memanggil Yesus sebagai Tuhan adalah sama dengan memanggil diri kita untuk melayani Dia. Ada tuntutan yang sangat besar bagi pihak kita, setiap kali kita memanggilNya “Tuhan”. Setiap kita yang pernah/sedang bekerja di bawah otoritas seorang majikan pasti tahu bahwa ada tuntutan yang jauh lebih besar daripada sekedar menyediakan waktu 2 jam seminggu, plus beberapa menit di pagi hari untuk sekedar mencari tahu kehendak sang majikan, dan setelah itu melanjutkan hari itu sesuai kehendak dan kesibukan kita sendiri.

Saya ingin mendorong bagi setiap saudara yang saat ini sudah memanggil Yesus sebagai “Tuhan” agar menyediakan waktu untuk melayani. Untuk bisa melayani, cara paling mudah adalah dengan mencari kesempatan untuk melayani di gereja, meskipun pelayanan tidak melulu harus di dalam bangunan gereja. Apapun bentuk pelayanan yang anda pilih, anda akan mengalami sukacita dan berkat yang berlimpah pada saat sungguh-sungguh melayani Tuhan. Tuhan Yesus bukan ‘boss’ yang pelit dan kejam, Dia sangat murah hati. Saat anda menghamba dengan menyediakan hati, waktu dan kerja keras, Yesus akan memberkati anda dengan sangat berlimpah dalam segala segi kehidupan. Bahkan kita semua akan mengalami bahwa tuntutan keTuhanan Kristus sebenarnya sangat ringan jika dibandingkan dengan berkat-berkat yang disediakan sebagai upah atas ketaatan pada keTuhananNya, seperti kata Yesus, “Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan." (Mat 11:30).

Jadi, sementara kita boleh memanggil satu sama lain dengan sebutan “bro” atau “boss”, mari kita memanggil Yesus sebagai “Tuhan” dengan menyadari bahwa kita sepenuhnya adalah hamba yang hidup untuk melakukan perintahNya. Kalau ada perusahaan bisa memberikan upah dan kepuasan kerja yang tinggi pada karyawannya yang setia dan cakap, saya percaya bahwa Tuhan Yesus sanggup memberikan upah dan kepuasan yang jauh lebih tinggi bagi setiap pekerjaNya. Amin!

Tuesday, March 22, 2011

Berkat keTuhanan Kristus

“Dan supaya Ia menjadikan mata hatimu terang, agar kamu mengerti pengharapan apakah yang terkandung dalam panggilan-Nya: betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus, dan betapa hebat kuasa-Nya bagi kita yang percaya, sesuai dengan kekuatan kuasa-Nya, yang dikerjakan-Nya di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati dan mendudukkan Dia di sebelah kanan-Nya di sorga” (Ef 1:18-20)

Salah satu berkat terbesar, yang jarang dinikmati secara penuh oleh orang percaya adalah berkat dari kehidupan yang sepenuhnya dikuasai oleh keTuhanan Kristus. Memang percaya dan menerima Yesus sebagai Tuhan adalah langkah awal kehidupan Kristen setiap orang. Tapi dalam perjalanan hidup setelah mengenal Kristus, keTuhanan Kristus mulai kehilangan pengaruhnya, dan orang Kristen kemudian melanjutkan hidupnya sebagai orang yang percaya Yesus adalah Tuhan, tapi tidak menerima seluruh berkat yang disediakan dari kepercayaan itu.

Di tengah semua kemajuan dan kemudahan yang diberikan oleh teknologi, umat Kristen, khususnya yang tinggal di kota besar cenderung memiliki pandangan bahwa hidup yang diberkati Tuhan adalah hidup yang diwarnai oleh kemudahan dan kenyamanan. Tanpa sadar, umat Allah kemudian menempatkan Tuhan dalam posisi sebagai pihak yang akan menjaga dan menjamin bahwa hidup akan senantiasa nyaman dan mudah, bahwa kehidupan nyaman dan mudah adalah sebuah keniscayaan & tanda berkat Allah. Disadari atau tidak, Yesus saat ini lebih dikenal sebagai juru penolong, kekasih, sahabat yang baik, pemelihara, penyembuh, pemecah masalah, jawaban berbagai persoalan, penghibur, dan banyak lagi. Lagu-lagu favorit umat Kristen biasanya berkisah tentang semua atribut di atas. Tentu saja semua atribut tadi tidaklah salah, tapi memiliki satu kelemahan: fokusnya bukan pada keTuhanan Yesus Kristus.

Akibat dari semua itu adalah, orang Kristen gagal untuk menerima berkat yang jauh lebih besar daripada sekedar hidup yang mudah dan nyaman. Terlalu berfokus pada kenyamanan, mereka menjadi lebih sulit mengucap syukur, terlalu sensitif pada penderitaan & lebih mudah mengeluh. Mereka tidak lagi berharap lebih dan memiliki pengharapan yang sama dengan pengharapan orang yang tidak mengenal Allah, yaitu berharap pada hal-hal yang kelihatan dan bersifat sementara: uang, kesejahteraan, kesehatan, kepopuleran, dst. Walaupun semua berkat tersebut memang disediakan Allah, tapi sangat remeh jika dibandingkan dengan berkat sesungguhnya yang disediakan Allah melalui kehidupan yang berTuhankan Kristus.

KeTuhanan Kristus memiliki sebuah pesan utama: Yesus berdaulat penuh atas hidup umatNya. Dia adalah Tuhan, kita adalah hamba. Hidup kita bukan milik kita lagi. Kita ini “…telah dibeli dan harganya telah lunas dibayar” (1Kor 6:20) Kehidupan Kristen adalah sebuah mandat untuk menghasilkan buah demi Kerajaan Allah dan melakukan segala perintah sang Tuan tanpa berbantah-bantah. Sebagai hamba, kemudahan dan kenyamanan hidup bukan menjadi yang utama, tapi menyerahkan segala kehendak pribadi di bawah kedaulatan sang Majikan.

Ironisnya, pada jaman sekarang kedaulatan Yesus barulah diakui dan diingat pada saat orang Kristen mengalami kejadian buruk atau malapetaka yang tidak bisa dihindarinya lagi. Saat kematian menjemput orang yang kita cintai, saat usaha yang dirintis ambruk dan tidak tertolong, saat seperti itulah orang kemudian –mau tidak mau – belajar untuk melihat Yesus sebagai Tuhan yang berdaulat yang mengendalikan segala sesuatu. Melihat bencana tsunami di Jepang baru-baru ini, kedaulatan Allah langsung muncul di pikiran. Dalam dunia hukum/asuransi bahkan ada istilah ‘act of God’ yang merujuk pada bencana alam yang tidak bisa dihindarkan, dan itu dikatakan sebagai ‘perbuatan Allah’. Sungguh menyedihkan jika kita dipaksa mengakui keTuhanan Kristus pada saat mimpi-mimpi kita hancur berantakan.

Mengapa tidak kita mengakui kedaulatan Kristus pada saat hidup kita berlangsung lancar dan segala rencana kita berjalan dengan baik? Bagaimana jika pada saat Tuhan memberkati segala usaha, pelayanan dan keluarga kita, kita menyerahkan kembali segala berkat tersebut dalam penundukan diri pada keTuhanan Kristus? Di tengah segala kelimpahan kita bisa tetap berlaku seperti hamba, taat dan tunduk penuh pada kehendak Tuhan, menyadari bahwa jika Tuhan memberikan berkat, Dia merencanakan agar kita menggunakan berkat tersebut sesuai dengan kehendakNya. Bagaimana jika di tengah semua kesibukan yang menumpuk akibat order yang membanjir, kita tetap menyediakan waktu yang terbaik untuk melayani, mendoakan orang, terlibat aktif dalam KESAN? Bukannya menggunakan seluruh berkat jasmani tersebut untuk membangun kehidupan yang mudah dan nyaman bagi diri sendiri, kita justru berlutut di kaki Tuhan, menyadari besarnya tanggung jawab yang telah dipercayakan kepada kita dan mencari tahu apa kehendak Tuhan dengan semua kelimpahan ini.

Itulah kehidupan yang benar-benar berTuhankan Kristus. Untuk orang yang seperti ini, berkat Tuhan akan melampaui apa yang dapat dilihat mata. Tuhan akan mengadakan ikat janji dengan orang semacam ini, memberkati dan menjamin kehidupan anak cucunya. Tidak hanya di lingkup keluarga, Tuhan akan memakai orang semacam ini untuk memberkati generasi demi generasi. Orangnya mungkin akan meninggal dunia, tapi inspirasi hidup yang ditinggalkannya bisa menjangkau puluhan generasi sesudahnya. Mereka akan “…mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” (Yoh 10:10).

Saat orang yang berTuhankan Kristus mengalami masalah, ia justru akan terbang makin tinggi, karena masalah tersebut akan mendewasakan imannya. Bukannya jatuh dalam keluhan, dia akan makin diperkuat dalam imannya, menyadari bahwa “…penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya,…” (2Kor 4:17) Ucapan syukur akan selalu mengalir dari bibirnya, kemenangan menjadi sebuah kepastian. Alkitab mendorong kita untuk mengerti “…betapa kayanya kemuliaan bagian yang ditentukan-Nya bagi orang-orang kudus, dan betapa hebat kuasa-Nya bagi kita yang percaya” (Ef 1:18-19). Mari kita berdoa agar kita bisa mengalami berkat dan kuasa di dalam kehidupan seorang yang sungguh-sungguh menjadikan Yesus sebagai Tuhan!