Thursday, November 08, 2012

Memelihara Cinta


"Kamu tidak tahu apa-apa, Gus, jadi nggak usah ikut campur..."

Kata-kata itu menggelegar, dan setelah itu ruanganpun jadi hening. Sejuknya AC di ruangan tsb jelas tidak mampu mendinginkan suasana hati yang sedang panas saat itu. Saya sedang berhadapan dengan sepasang suami istri, si suami duduk terpekur di sebuah sofa sebelah kiri saya, sementara si istri duduk tepat di hadapan saya, di balik sebuah meja kerja yang cukup besar. Dan semprotan itu datang dari si istri.

Dalam hati sebenarnya saya ngomel2, "...buset dah..., niat mau nolong, malah kena semprot..." Suami istri yang saya temui ini sedang mengalami konflik besar, dan si suami -yang adalah salah seorang teman saya- meminta saya untuk membantunya menyelesaikan masalah di antara mereka. Beberapa waktu sebelum itu, si suami menceritakan masalah yang mereka hadapi, dan meminta saya untuk datang ke kantornya untuk berbicara dengan istrinya. Dan meskipun agak enggan, sayapun menyetujui. Sebagai akibatnya, belum sempat tanya2 dan berbicara banyak, saya udah 'dibungkam' oleh istrinya :-).

Singkatnya, rumahtangga mereka akhirnya benar-benar hancur berantakan. Beberapa hari setelah pertemuan tsb, si istri kabur dengan membawa seluruh surat berharga, sebuah mobil, simpanan emas, dll. Sang suami ditinggalkan dengan dua orang anak. Si istri bahkan tidak merasa perlu untuk mengurus masalah hak asuh anak2 mereka, ia menghilang begitu saja tanpa memberi kabar. Peristiwa ini terjadi beberapa tahun yang lalu, disusul dengan ribuan kehancuran rumah tangga lainnya yang terjadi setelah itu di seluruh dunia.

Itu kisah pertama, sekarang kisah ke dua...

Saya ada dibalik kamera. Saat itu adalah saat pemotretan pasangan suami istri untuk kepentingan sebuah acara, dimana saya menjadi panitia bagian dokumentasi. Setiap pasangan yang hadir diminta untuk berfoto dulu sebelum mengikuti acara. Saya sebagai fotografer kemudian meminta mereka membuat sebuah pose mesra, dan...jepret... Mestinya memang tidak sulit bagi sepasang suami istri untuk dipotret dengan pose mesra.

Tapi kali ini ada sedikit perbedaan. Pasangan dihadapan saya terlihat kesulitan untuk berpose. Mereka berputar-putar satu sama lain, mencari pose yang tepat untuk saling memeluk, dan berakhir pada si suami yang 'menjepit' istrinya dalam sebuah pose berpelukan yang canggung banget. Setelah pemotretan selesai, si istri berlalu di sebelah saya, sambil nyeletuk, "wong gak pernah dipeluk..." Rupanya suami istri ini benar2 tidak tahu bagaimana memeluk satu sama lain. Saya lihat mereka cukup berumur, berarti mungkin sudah puluhan tahun mereka menikah tanpa pernah memeluk satu sama lain. Dan saya menjumpai bahwa tidak hanya pasangan ini yang sudah kehilangan 'sentuhan cinta' mereka.

Saya hanya berpikir, "Apa yang terjadi dengan cinta yang mereka miliki sebelum menikah?" Apakah mereka menikah karena terpaksa? Saya pikir tidak, karena ini bukan jaman orang menikah dengan paksaan orang lain. Alkitab mengatakan "karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api, seperti nyala api TUHAN!"[Kid 8:6], tapi sekuat apapun cinta, ia dapat mati jika tidak dipelihara dengan benar. Anak-anak muda yang saat ini sedang berpacaran, atau para pengantin baru, apakah mereka pernah berpikir kobaran cinta yang seperti "nyala api Tuhan" tersebut dapat menjadi sedingin es dan gairah dapat membeku seperti mayat?

Lepas dari masalah-masalah eksternal yang mungkin terjadi dalam setiap rumah tangga, akar masalah sebenarnya adalah kerapuhan hubungan, akibat cinta sejati yang tak terpelihara. Jika hubungan suami istri dipelihara dengan baik, maka badai apapun tidak akan menenggelamkan bahtera rumah tangga, karena bagaimanapun, Tuhan sendiri berpihak pada kita. Sayangnya, saya mengamati bahwa tidak banyak pasangan suami istri yang tahu bagaimana harus memelihara dan merawat cinta mereka terhadap satu sama lain. Pada waktu pacaran, orang cenderung berpikir bahwa cinta yang mereka rasakan akan bertahan selamanya, "dengan sendirinya". Cinta memang kekal, tapi tidak "dengan sendirinya". Itu sebabnya saya menentang orang yang berpacaran secara 'mengalir' dan membiarkan diri dihanyutkan oleh cinta. Pada saat berkobar, memang cinta itu terasa begitu kuat, indah dan 'selamanya', tapi itu baru permukaannya. Cinta sejati bertumbuh lambat, setahap demi setahap, dan akan mati jika tidak dipelihara dengan penuh tanggungjawab. Menghanyutkan diri dalam cinta, adalah sebuah tindakan tidak bertanggung jawab, yang membuat seseorang justru tidak sadar bahwa ia sebenarnya sedang melalaikan cinta sejatinya.

Memelihara cinta memerlukan usaha, dan usaha yang keras! Gairan seks dan nafsu bisa timbul dan tumbuh cepat seperti jamur dan rumput liar, tapi cinta sejati tidak. Setelah pernikahan, kehidupan akan berlalu dengan berbagai macam urusan, mulai dari karier, tempat tinggal, keuangan, anak, dan seabrek tanggung jawab untuk memenuhi segala jenis kebutuhan. Dan tanpa disadari, cinta sejati tidak mendapat tempat dan perhatian. Suami istri makin menjauh, keintiman hilang, kekecewaan demi kekecewaan mulai masuk dan meracuni cinta yang sebenarnya sudah sekarat. Hubungan seks mungkin masih dilakukan, tapi hanya demi pelampiasan nafsu dan kepuasan salah satu pihak. Hubungan yang awalnya begitu indah, akhirnya berakhir dengan begitu menyakitkan.

Dalam pernikahan saya sendiri, saya belajar terus untuk memelihara cinta dengan prinsip-prinsip yang saya pelajari dari kitab Roma 12:9-12. Meksipun konteks aslinya berbicara tentang kasih terhadap saudara seiman, saya melihat bahwa prinsip dasarnya juga sangat sesuai untuk cinta suami istri:

"Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat. Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan. Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!"

1. Hendaklah kasih itu jangan pura-pura
Cinta sejati tidak boleh mengandung kepalsuan. Kata "jangan pura-pura" yang digunakan memiliki makna "tidak munafik". Cinta sejati tumbuh dalam ke'asli'an masing-masing pribadi suami istri. Tanpa kita sadari, seringkali suami istri saling mencintai dengan 'pura-pura', yaitu hanya mencintai kalau pasangan bersikap baik dan menyenangkan. Begitu konflik demi konflik terjadi, cinta yang 'pura-pura' ini akan segera luntur. Orang yang berpura-pura, tidak akan pernah tahan pada saat ia harus berhadapan dengan kesulitan. Cinta yang abadi akan bertahan dan justru bertambah dewasa melalui konflik & kesakitan.

2. Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik
Betapa prinsip ini telah berulang kali menyelamatkan pernikahan saya. Cinta tidak memberi jalan bagi kita untuk melakukan yang jahat pada pasangan. Pada saat konflik menjadi sangat tajam, saat emosi sudah memuncak, selalu ada keinginan untuk membalas & menyakiti pasangan, baik dengan perkataan maupun dengan tindakan. Inilah tantangan sesungguhnya dari "cinta yang tidak berpura-pura". Saat pasangan menyakiti kita dalam pertengkaran, disitulah kasih yang tidak pura-pura dituntut dari kita, dimana respon kita akan menunjukkan keaslian cinta kita kepadanya. Kasih yang sejati harus mengendalikan seluruh respon emosional kita, hanya mengijinkan kita untuk melakukan apa yang baik dan seharusnya bahkan dalam titik kemarahan yang memuncak.

3. Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara [suami istri] dan saling mendahului dalam memberi hormat [menyatakan cinta].
(Untuk menyesuaikan konteks, saya memberanikan diri untuk 'mengubah' beberapa kata dari ayat di atas.)
Prinsip saling mengasihi yang benar adalah saling mendahului untuk menyatakan cinta. Sering sekali saya mendengar suami istri yang saling menuntut, saling adu kekuatan, agar masing-masing pihak mendapatkan apa yang mereka inginkan terlebih dahulu. Suami menuntut istri untuk menghormati dia, baru si istri layak untuk dicintai. Istri menuntut suami untuk mencintai dia terlebih dahulu, baru layak untuk dihormati. Dengan posisi adu kuat seperti ini, hasil akhirnya adalah kelelahan dan cinta yang mengering dan hambar. Kasih yang tidak pura-pura menuntut kita untuk mendahului dalam menyatakan cinta dan hormat kita pada pasangan. Ada saat dimana pasangan kita sepertinya menjadi pihak yang terlalu menuntut, saat-saat itulah kita perlu belajar untuk 'mendahului' pasangan kita dalam menyatakan cinta kita. Cinta yang proaktif semacam itu selalu akan berhasil mencapai tujuannya.

4. Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan. (sekali lagi saya akan menyesuaikan konteks ayat ini untuk hubungan suami istri)
Mudah sekali kita kehilangan kerajinan/ketekunan dalam mencintai pasangan, khususnya setelah beberapa konflik tajam yang berlarut-larut. Tanpa ketekunan, cinta tidak akan bertahan. Ketekunan dalam cinta adalah sebuah tekad/kemampuan untuk bertahan dalam mencintai pasangan kita, walaupun pada saat-saat tertentu sepertinya cinta itu sudah tak dapat kita rasakan lagi. Tidak hanya itu, ayat di atas menyatakan agar "rohmu menyala-nyala". Ketekunan dapat kita jalankan dengan sikap tanpa harapan, tanpa gairah, hanya demi ketaatan mati terhadap Firman Tuhan. Tapi bukan itu yang dikehendaki Tuhan. Cinta haruslah tetap berkobar. Tanpa nyala api ini, tekun untuk mencintai seseorang akan menjadi tugas yang sangat berat, bahkan kejam. "Layanilah Tuhan" adalah sebuah peringatan bahwa semua yang kita lakukan sebenarnya adalah untuk melayani Tuhan. Setiap perlakuan benar yang kita berikan pada pasangan kita, adalah sebuah bentuk ketaatan terhadap Tuhan yang kita layani.

5. Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!
Pengharapan harus selalu dijaga dalam pernikahan. Tanpa pengharapan, bagaimana cinta dapat bertahan? Saat Tuhan mempersatukan dua orang dalam ikatan pernikahan, Dia selalu mau terlibat untuk membawa pernikahan tersebut dalam tujuan puncaknya, yaitu menyatakan kemuliaan-Nya. Itu sebabnya setiap pernikahan Kristen selalu akan memiliki harapan, dan harapan yang terpelihara akan mendatangkan sukacita. Keputusasaan adalah dosa, karena keputusasaan mengusir Allah dari tempat-Nya dalam hidup kita. Jika kita memiliki Allah yang Maha Kuasa, bagaimana kita bisa bahkan 'berani' untuk menghilangkan harapan kita? Namun dalam pengharapan sebesar apapun, kesesakan selalu akan kita alami sesekali, dan dalam saat-saat sesak tidak ada kekuatan yang lebih besar dari kesabaran. Alkitab memberi kita kisah-kisah dimana kesabaran membawa pada keberhasilan yang luar biasa. Amsal 16:32 mengajarkan: "Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota." Dan nasihat terakhir: bertekun dalam doa, sebuah resep yang tidak pernah gagal untuk mendatangkan hasil yang terbaik dalam kasus apapun. Yesus sendiri mengajar setiap kita agar tidak menyerah dalam doa-doa kita.

Akhirnya, cinta yang dipelihara dengan baik akan mendatangkan hasil yang sangat indah, berkat yang bahkan dapat dinikmati sampai ke anak cucu. Memelihara cinta memerlukan waktu, tapi cinta yang dipelihara akan memberikan hasil melampaui waktu-waktu pemeliharaannya. Selamat memelihara cinta!