Thursday, September 18, 2014

Perang Abadi



Akhir-akhir ini kita melihat dan mendengar bahwa terjadi perang kembali antara Israel dan Palestina (Hamas). Konflik memanas diawali dengan tewasnya tiga pemuda Israel setelah diculik oleh pihak Palestina, dan kemudian berbuntut pembalasan tewasnya seorang pemuda Palestina. Ratusan rudal kembali beterbangan di antara dua wilayah. Jumlah korban jelas tidak seimbang, karena Israel menggunakan senjatanya untuk melindungi rakyat sipil, sedangkan Hamas menggunakan rakyat sipil untuk melindungi senjatanya. Akibatnya dunia kembali mengutuk Israel seperti biasa. Beberapa pengamat mengatakan bahwa konflik Israel vs. Palestina selalu akan bergolak, menjadi sebuah perang abadi.

Secara akal sehat seharusnya orang akan lelah dengan perang berkepanjangan tanpa jalan keluar seperti ini. Perdamaian sudah diusahakan, gencatan senjata sudah dilakukan, tetapi selalu ada alasan baru untuk mengobarkan perang kembali. Biasanya konflik selalu memiliki alasan-alasan yang jelas, tapi dalam kasus Hamas vs. Israel alasan yang jelas tidak lagi diperlukan. Bagi Hamas, membunuh sebanyak mungkin orang Israel sudah menjadi 'panggilan hidup', dimana setiap orang sejak anak-anak sudah dididik untuk memiliki prasangka kebencian yang mendalam terhadap Israel. Bagi warga Israel di wilayah perbatasan, mendengar raungan sirene tanda kedatangan rudal dan kemudian berlari secepatnya ke bunker perlindungan sudah menjadi rutinitas sehari-hari, menciptakan trauma berkepanjangan khususnya bagi anak-anak. Saya tidak bisa membayangkan betapa prasangka negatif juga bertumbuh subur dalam diri anak-anak ini terhadap warga Palestina. 

Melihat perang yang terus berkecamuk sampai sekarang, kita bisa menyimpulkan bahwa mereka yang bertikai (khususnya Hamas) lebih memilih kehilangan korban nyawa terus menerus daripada menghilangkan kebencian dan prasangka satu sama lain. Dalam pandangan saya, terkadang orang lebih memilih untuk terus berprasangka dan memelihara kebencian daripada memelihara kehidupan mereka. Dan ironisnya, tidak diperlukan banyak orang untuk menumbuhkan prasangka yang akan menjalar ke seluruh bangsa. Saya percaya bahwa dalam urusan berprasangka, mayoritas selalu mengekor minoritas.

Prasangka, yang biasanya melahirkan kebencian, adalah sebuah penyakit rohani yang menjangkiti begitu banyak orang. Mereka yang hidup dalam prasangka akan kehilangan banyak hal, selalu “berperang”, selalu memiliki musuh. Prasangka membuat dunia sekitar dan pikiran jadi begitu sempit, merampok kehidupan dari kekayaan yang sebenarnya. Prasangka membuat mata selalu berfokus pada kelemahan dan hal-hal yang negatif dari segala sesuatu, betapapun kecilnya hal itu, dan kemudian mempercayainya sebagai sebuah gambaran keseluruhan. Dan seperti halnya iman, prasangka akan memberikan apa yang dipercayai. Jika kita berprasangka buruk tentang seseorang, kita akan selalu menjumpai & bahkan mengalami keburukan dari orang tersebut. Sebagai akibatnya prasangka akan menjadi kebencian, dan kita menambah satu lagi musuh abadi. Siklus ini berlaku baik dalam tingkat pribadi maupun sampai ke tingkat bangsa.

Saya menyamakan prasangka dengan tindakan menghakimi orang lain. Alkitab dalam berbagai kesempatan melarang kita untuk menghakimi orang lain. Bahkan Yesus dengan tegas mengatakan agar kita jangan menghakimi (Mat 7:1-2), dan juga jangan mengatakan hal-hal negatif tentang orang lain (Mat 5:22). Tidak ada seorang manusiapun yang mampu menghakimi dengan adil, karena manusia tidak mungkin mengenal secara utuh kondisi hati manusia lainnya. Hanya Allah yang memiliki pandangan yang menyeluruh tentang hati seseorang, sehingga Ia dapat menjadi Hakim yang sangat adil. Makin tebal prasangka kita tentang karakter seseorang, biasanya makin jauh keyakinan kita tersebut dari kenyataan yang sebenarnya. Sebab itu kita perlu memohon belas kasihan Allah agar virus prasangka tidak menguasai hidup kita.

Tuhan Yesus memberikan obat yang ampuh bagi prasangka, yaitu prinsip “giving extra mile”. Nilai-nilai ini tercantum dalam Injil Matius 5:38-48 dan telah menimbulkan banyak perdebatan tentang kemungkinan pelaksanaannya dalam dunia nyata. Memberikan pipi kiri setelah ditampar pipi kanan, berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat, dst sebenarnya adalah sebuah obat yang sangat manjur bagi penyakit prasangka. Dibalik setiap prasangka terdapat ketakutan dan sikap melindungi diri sendiri. Membalas kejahatan dengan kebaikan akan melenyapkan ketakutan ini, dan menempatkan segala sesuatu ke dalam kedaulatan Tuhan dimana terdapat perlindungan dan keadilan sejati.

Saat kita mendengar tentang perang abadi Israel vs. Palestina, biarlah kita juga melihat bahwa dalam diri kita sendiri juga ada benih yang sama, yaitu penyakit berprasangka yang membuat kita tidak mampu hidup dalam damai dengan semua orang. Jika saat ini kita memiliki musuh atau orang yang kita benci, marilah kita berusaha untuk berdamai dengan ybs. Maka janji Tuhan dalam Mat 5:9, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” akan terwujud dalam hidup kita semua. Tuhan memberkati.

Wednesday, September 17, 2014

Perang Selfie

Tulisan menjelang pemilu kemaren...

-------------------------------------------

Ada dua fenomena menarik yang saya amati menjelang Pemilu 2014 ini. Yang pertama adalah tentang sebuah perang yang sedang berlangsung, sebuah jenis perang paling modern yang mungkin hanya terjadi di Indonesia, yaitu perang selfie. Para caleg berlomba memajang ratusan bahkan ribuan selfie mereka beserta satu atau dua kalimat pilihan, berharap agar dengan bermodal wajah dan beberapa kalimat tersebut, masyarakat dapat memberikan kepercayaan pada orang-orang ini untuk mewakili mereka di pemerintahan. Beberapa orang berusaha sekreatif mungkin berunjuk wajah, dan sejujurnya ada yang benar-benar berhasil memancing tawa saya, khususnya yang ini:


 
Meski menurut saya tidak bakal efektif mendulang suara, selfie tersebut paling tidak adalah yang ‘paling jujur’ menggambarkan kondisi moral mayoritas aparat pemerintah kita. Melihat perang selfie yang begitu riuh, sejujurnya saya merasa bahwa masyarakat kita sedang dibodohi. Memilih wakil rakyat murni berdasarkan wajah adalah jauh lebih bodoh daripada membeli kucing dalam karung. Begitu banyak wajah, begitu sedikit unjuk kerja.

Fenomena kedua, adalah munculnya beberapa aparat pemerintah yang benar-benar berprestasi, jujur dan bersih, yang hari-hari ini berhasil memenangkan hati rakyat dengan hasil kerja keras mereka. Pribadi-pribadi ini bersinar begitu terang, sangat kontras dengan gambaran muram yang sudah melekat selama berpuluh tahun di wajah pemerintah. Untuk orang-orang seperti ini, mereka tidak perlu lagi ikut berlomba memasang selfie di jalan-jalan. Reputasi dan kapasitas mereka berbicara lebih lantang dan menjangkau lebih jauh dari wajah mereka. Melihat tokoh-tokoh ini, hati saya bersyukur sekaligus miris. Saya bersyukur karena akhirnya muncul juga pribadi-pribadi pejabat yang bisa diharapkan untuk masa depan Indonesia, miris karena begitu sedikitnya orang-orang yang seperti ini.

Uniknya, sebenarnya pribadi-pribadi ini tidaklah istimewa. Mereka hanya sekedar melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang pejabat negara dengan kejujuran dan etika yang juga seharusnya mereka miliki sesuai sumpah jabatan. Saya teringat dengan sebuah wawancara dimana salah satu tokoh ini berkata bahwa ia sama sekali tidak merasa kesulitan memimpin daerahnya, karena semua solusi sudah tersedia oleh pemikiran para ahli. Dia hanya sekedar melakukan bagian dan tanggungjawabnya sesuai sumpah jabatan tanpa kompromi, dan berjuang sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Sebuah hal yang sebenarnya normatif, tapi terasa begitu mencerahkan karena dilakukan di tengah kegelapan moral pejabat pemerintah yang lain.

Melihat betapa meluasnya kecintaan masyarakat terhadap tokoh-tokoh ini, saya berpikir bahwa mestinya kesempatan untuk benar-benar dicintai dan dipercaya oleh masyarakat masih sangat luas. Memang kapasitas intelektual disertai kerja keras mutlak diperlukan disertai keberanian untuk bertindak jujur tanpa kompromi. Jika mereka tekun dalam hal itu maka akan tiba waktunya dimana ‘terang’ mereka akan ditemukan. Di tengah apatisme dan rasa muak menahun, masyarakat kita sebenarnya sangat merindukan munculnya pemimpin yang benar-benar bisa diandalkan dan dibanggakan. Kerinduan ini begitu kuat, seperti kehausan seorang musafir di padang gurun. Melihat betapa gelapnya situasi, saya percaya bahwa terang sekecil apapun pastilah satu saat akan terlihat. Dan jika ditemukan oleh kekuatan media sosial, terang ini akan berlipat ganda dengan kecepatan yang luar biasa.


Saat ini, saya sedang berdoa agar saya bisa menemukan setitik terang, yang kepadanya saya akan memberikan suara. Saya tidak akan mencari di tengah belantara perang selfie yang sedang berkecamuk, tapi saya membuka mata dan telinga untuk menelusuri berbagai kabar dan berita yang beredar, berharap menemukan butiran emas di tengah lumpur. Mari kita terus berharap untuk Indonesia yang lebih baik, saya percaya Tuhan akan membangkitkan lebih banyak lagi pribadi-pribadi pemimpin bangsa yang benar-benar pantas menerima amanat dari rakyatnya. 

See No Evil


Akhir-akhir ini saya kerap menerima berita, baik via jejaring sosial, email atau blackberry tentang kekejaman sebuah kelompok militan di Timur Tengah yang tidak kenal ampun menyiksa dan membunuh orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Dalam berita itu sering diberikan juga tautan (link) yang membawa kita pada rekaman video kebiadaban yang dilakukan kelompok ini, dengan embel-embel “jangan dilihat bagi yang tidak kuat”. Meskipun saya yakin dengan kekuatan saya, tidak pernah sekalipun saya membuka tautan tersebut. Rasa ingin tahu memang ada, tapi tidak sebanding dengan kerugian yang terjadi jika saya melihat kejahatan semacam itu.

Kita mungkin tidak bisa memahami bagaimana manusia bisa melakukan kekejaman yang begitu rupa. Tapi kita seharusnya lebih heran lagi saat ada saja orang yang kemudian merekam adegan itu dan kemudian menyebarkannya di dunia maya dan kemudian menjadi bahan tontonan oleh berbagai kalangan. Sebagai orang-orang yang telah ditebus oleh darah Kristus, saya mendorong setiap anda untuk tidak lagi melihat video-video atau gambar-gambar semacam itu. Apa yang dipertontonkan dalam gambar dan video itu adalah kondisi terburuk manusia yang sudah sepenuhnya dikuasai oleh iblis dan kegelapan dosa. Lebih seram lagi, iblis yang menguasai hati mereka merindukan adanya ‘saksi’ (witness) yang akan melihat dan kemudian menceritakan pekerjaannya, sejajar dengan apa yang dirindukan oleh Tuhan.

Janganlah ada lagi orang Kristen yang menjadi begitu naif dan tertipu sehingga menjadi ‘saksi’ bagi pekerjaan iblis. Kita menerima kesaksian dari seseorang tentang kekejaman yang luar biasa, kemudian kita menyaksikannya langsung lewat tautan video yang diberikan dan tanpa berpikir panjang kita mulai membagikan informasi tersebut, mengirimkan informasi tersebut kepada teman-teman kita. Tanpa sadar kita menjadi saksi yang sangat efektif bagi pekerjaan iblis daripada saksi untuk pekerjaan Tuhan. Memang pada saat kita melihat kekejaman itu kita akan mengutuknya. Kita melihat sesuatu karena rasa ingin tahu dan kemudian mengutuk apa yang kita lihat, lalu apa gunanya? Apalagi kalau setelah mengutuk kita membantu menyebarluaskan kekejian itu. Alkitab meminta kita untuk memusatkan perhatian kita pada hal-hal yang benar, mulia, adil, suci, bajik dan terpuji (Fil 4:8). Setiap detik yang kita gunakan untuk menonton kejahatan orang lain hanya akan mencemari hati nurani kita.

Tidak hanya mencemari hati nurani, menonton hal-hal yang jahat akan membuat seseorang mati rasa terhadap kejahatan di sekitarnya. Suatu kali saya mengajak anak saya menonton bioskop, dan di sebuah bagian ada adegan dimana tokoh penjahatnya terbunuh dengan cara yang mengerikan. Saat adegan itu berlangsung saya mendengar anak saya TERTAWA. Ya, ia tertawa terbahak-bahak melihat adegan itu. Saat itu timbul penyesalan dalam hati saya, mungkin saya terlalu sering membiarkan ia melihat adegan film yang penuh kekerasan sehingga ia menjadi mati rasa, menikmati kekerasan dan kekejaman sebagai sebuah hiburan. Itulah yang terjadi di dunia saat ini, kekejaman dipertontonkan dan dijual sebagai salah satu bentuk hiburan. Tidak heran ada banyak orang yang begitu ingin tahu bagaimana kekejaman yang asli dilakukan lewat video-video kelompok radikal semacam itu.


Seorang anak Allah seharusnya memiliki hati yang sangat lembut dan mudah berbelaskasihan. Tanpa hati yang lembut ini kita tidak akan mampu memahami kasih Tuhan kepada orang-orang yang terhilang. Oleh karena itu saya mendorong setiap anda, setiap kali anda menerima berita atau tautan tentang kekejaman atau kejahatan apapun, segeralah buang informasi itu ke tong sampah. Mata dan hati kita terlalu berharga untuk dicemari oleh pekerjaan iblis yang merajalela di akhir jaman ini. Biarlah kita menjadi saksi untuk pekerjaan Allah dan bukan pekerjaan iblis. Tuhan memberkati kita semua.

Memilih 'Satria Piningit'

Saat saya menulis artikel ini, Indonesia telah memiliki dua pasangan calon tetap untuk menduduki jabatan presiden dan wakil presiden. Dalam pengamatan saya, baru kali ini pertarungan untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia berlangsung begitu seru. Mungkin karena hanya ada dua pasangan calon dimana pemilu nantinya hanya akan berlangsung satu putaran, dan juga masing-masing calon ternyata punya basis pendukung yang sangat kuat. Dua pihak masing-masing adalah ‘kuda hitam’, dengan kekuatan dan kelebihan masing-masing. Dengan gencarnya pemberitaan di media, harapan masyarakat untuk Indonesia yang lebih baik membumbung tinggi, ditumpukan pada kedua pasangan calon ini.




Tapi sejujurnya saya berpikir, siapapun yang terpilih menjadi presiden, masa depan negara ini tetap ada di tangan rakyatnya. Adalah sangat tidak realistis jika kita berpikir bahwa satu orang presiden, siapapun dia, dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dengan kemampuannya sendiri. Setiap warga negara memiliki peran sangat penting untuk mendorong atau menghambat kemajuan negara. Saya melihat kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya peran mereka dalam memajukan negara ini dalam tingkah laku keseharian mereka. Rakyat Indonesia lebih cenderung menumpukan harapan mereka sepenuhnya kepada seorang pemimpin ‘super’, satria piningit, ratu adil, atau apapun sebutannya. Pemimpin yang diharapkan kemudian dikultuskan begitu rupa – sampai muncul berbagai spanduk ‘siap mati’ untuk membela – tapi kemudian dihujat dan dikutuk jika dianggap gagal.

Sebuah contoh tentang abainya masyarakat terhadap peran mereka baru saja terjadi di Surabaya. Demi berebut es krim gratis, puluhan ribu orang menginjak-injak taman kebanggaan kota, menghancurkan taman yang telah dibangun bertahun-tahun, yang sempat dinobatkan menjadi taman terbaik se Asia. Peristiwa ini menunjukkan rendahnya kesadaran masyarakat tentang peran mereka dalam menjaga kota mereka sendiri. Mungkin mereka berpikir bahwa menjaga taman kota adalah urusan walikota atau dinas pertamanan, sehingga mereka merasa tidak perlu bertanggung jawab untuk menjaganya. Hancurnya taman Bungkul Surabaya adalah contoh kecil apa yang bisa terjadi jika masyarakat tidak menyadari kekuatan peran mereka masing-masing. Dalam skala nasional, kehancuran yang terjadi bisa lebih mengerikan saat semua rakyat hanya memikirkan diri sendiri dan menempatkan para pemimpin sebagai penanggungjawab tunggal kemajuan bangsa.

Rakyat Indonesia sebenarnya tidak membutuhkan seorang satria piningit atau ratu adil untuk menuju masa depan cerah. Pemimpin yang baik memang penting, tapi di masa sekarang kejayaan sebuah bangsa lebih ditentukan oleh keterlibatan dan kecintaan rakyat terhadap bangsanya. Kita semua boleh memilih calon presiden sesuai dengan hati nurani kita masing-masing, tapi lebih penting untuk menemukan peran praktis apa yang bisa kita lakukan untuk kejayaan Indonesia. Kita bisa mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi: menjaga kebersihan lingkungan, taat berlalulintas, berhati-hati dalam menggunakan fasilitas umum dan berbagai keterlibatan lainnya.

Indonesia akan maju pesat dengan kepemimpinan yang baik dan dengan rakyat yang menyadari peran mereka masing-masing. Indonesia milik kita bersama, Indonesia adalah kita. Kitalah yang akan menentukan nasib bangsa ini di masa depan bersama pemimpin yang akan kita pilih bersama. Tuhan memberkati.

Uang Gampang Uang Melayang


Suatu kali Polan menghampiri temannya, Agus. Polan melihat air mata mengalir di wajah Agus, dan ia pun bertanya:

Polan: Gus, kamu kenapa kok nangis gitu?
Agus: Aku baru saja baca buku, sedih banget...
Polan: Wah, buku apa? Pasti bagus bener ceritanya.
Agus: Buku tabungan...

Saya tidak tahu berapa banyak dari kita yang bisa menemukan diri kita dalam guyonan di atas. Kebutuhan hidup dan harga barang yang terus meningkat, selalu menggerus saldo tabungan tidak peduli seberapa keras usaha kita untuk menjaganya. Mendapatkan dan mengatur penghasilan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari bukanlah pekerjaan yang mudah bagi sebagian orang.

Dalam kondisi seperti ini setiap peluang untuk mendapatkan uang ekstra selalu menjadi titik terang yang memberikan harapan baru, apalagi jika diembel-embeli bahwa tambahan penghasilan itu bisa didapat tanpa kerja keras, istilah populernya 'passive income'. Lalu dari semua bentuk passive income, muncullah sebuah bentuk yang paling menggiurkan: money game, sebuah skema investasi yang menjanjikan pelipat gandaan keuntungan yang sangat menggiurkan. Cukup menanam sejumlah tertentu, uang anda akan terus berlipatganda dengan keuntungan luarbiasa. Saya melihat betapa banyak orang Kristen berbondong-bondong mengambil kesempatan ini, mulai dari jemaat biasa sampai pendeta senior.

Lepas dari semua janji, slogan atau visi yang dikemas, ada satu hal yang pasti dari setiap money game: ia akan berakhir dalam kehancuran, meninggalkan korban jauh lebih banyak daripada orang-orang yang diuntungkan. Mereka yang diuntungkan adalah para pendahulu dan orang yang masuk di awal permainan. Akhir-akhir ini kita mungkin mendengar ambruknya sebuah skema money game yang sedang sangat populer di Indonesia, yang dari penuturan para anggotanya diikuti oleh jutaan orang. Slogan 'saling membantu' yang digembar-gemborkan akhirnya berakhir dengan sekian banyak orang yang kehilangan uang mereka.

Mengamati akhir setiap money game, saya menilai permainan ini sebagai sesuatu yang jahat dan berbahaya. Jika berakhir dalam kondisi untung, setiap sen keuntungan tersebut sebenarnya dihasilkan dari kerugian orang lain. Selain itu uang gampang yang dihasilkan oleh permainan semacam ini akan merusak karakter seseorang dan menutupi akal sehatnya. Saya pribadi mengalami betapa sulitnya berbicara dengan orang yang telah menuai keuntungan dari permainan ini. Sedangkan bagi yang dirugikan, seringkali mereka kehilangan uang yang jumlahnya sangat signifikan. Tergiur oleh janji pengembalian investasi yang berlipat ganda, tidak jarang mereka membungkam akal sehat dan mempertaruhkan seluruh uang yang mereka miliki, ditambah dengan pinjaman dari kerabat dan kenalan. Oleh karena itu pada dasarnya hanya ada dua orang yang memutuskan bergabung dalam sebuah money game: orang yang tertutup akal sehatnya karena tergiur keuntungan, dan orang yang tertutup hati nuraninya mengambil keuntungan sebesar-besarnya di atas kerugian orang lain.

Alkitab menjunjung tinggi nilai kerja keras dan kerajinan dalam mendapatkan penghasilan. "Harta yang cepat diperoleh akan berkurang, tetapi siapa mengumpulkan sedikit demi sedikit, menjadi kaya." (Ams 13:11); "Tangan yang lamban membuat miskin, tetapi tangan orang rajin menjadikan kaya. (Ams 10:4); "...jika seorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan." (2Tes 3:10). Mendapatkan uang gampang lewat money game berlawanan dengan nilai-nilai Alkitabiah, membawa seseorang dalam cinta uang yang entah membutakan akal sehatnya atau hati nuraninya.

Money game akan selalu ada dan tiada, selama masih banyak orang yang berharap untuk mendapatkan uang gampang tanpa perlu kerja keras tanpa berpikir masak-masak dari mana semua keuntungan itu diperoleh, dan bersedia menanggung resiko uang melayang begitu saja. Uang gampang atau uang melayang, itu saja pilihan yang tersedia. Tuhan memberkati.