Wednesday, January 23, 2013

Meninggalkan untuk Memperoleh

Selama pelayanan-Nya di bumi, Tuhan Yesus beberapa kali mengatakan/melakukan hal-hal yang sulit diterima akal sehat, apalagi jika dilihat dari sudut pandang saat ini. Salah satunya adalah pada saat Ia berjumpa dengan seorang yang rindu untuk memperoleh hidup kekal. Kisah ini ditulis di tiga kitab Injil: Matius 19:16-22, Markus 10:17-22 dan Lukas 18:18-23. Dalam peristiwa ini, Yesus benar-benar berjumpa dengan seseorang yang telah berhasil ‘mencapai segalanya’, seorang yang sangat berhasil dalam segala area kehidupan. Alkitab menggambarkan betapa luarbiasanya orang yang berjumpa dengan Yesus ini. Ia masih relatif muda, namun ia telah mencapai kesuksesan materi. Masa depan cerah terbuka lebar bagi orang ini. Tidak hanya itu saja, dia adalah seorang yang terkemuka, namun ia begitu rendah hati sehingga ia bahkan menjumpai Yesus dengan tersungkur. Kekayaan yang dimiliki rupanya tidak membuat ia hidup dalam hawa nafsu, karena ia telah melakukan Firman Allah dengan segenap hatinya sejak kecil. Kesalehan, kekayaan, keberhasilan, juga tidak membuat ia berpuas diri. Orang ini merindukan sebuah kehidupan yang sesungguhnya, yaitu kehidupan kekal bersama dengan Allah. Kerinduan inilah yang membuat dia datang kepada Yesus untuk memperoleh jawaban.

Bukannya memberikan jawaban yang diharapkan pemuda ini, Yesus justru memintanya untuk meninggalkan semua keberhasilan yang dicapai, menjual semua harta dan kemudian datang untuk mengikuti Dia. Sebuah jawaban yang mematahkan semangat pemuda yang luar biasa ini, sebuah jawaban yang akan sulit diterima akal sehat. Pemuda ini jauh lebih berguna dalam keadaannya yang sekarang, dia bisa menjadi seorang pemimpin yang berpengaruh luas dengan kualitas-kualitas istimewa yang dimilikinya. Bagi sebagian besar kita, jika kita ada di posisi pemuda ini, kitapun akan kecewa dengan jawaban yang ditawarkan oleh Yesus.
Apa sebenarnya yang ditawarkan Yesus kepada pemuda ini? Yesus sebenarnya sedang menawarkan sebuah perjalanan bersama dengan Dia. Sang pemimpin muda telah mencapai sebuah batas, dimana ia telah mendapatkan semua yang terbaik dari dunia. Seperti penulis kitab Pengkhotbah yang telah menggapai segala yang mungkin diberikan dunia fana, ia menyadari batasnya dan merindukan sesuatu yang lebih baik. Sementara sang Pengkhotbah memenuhi kitabnya dengan kata “sia-sia”, pemuda ini tahu bahwa ia bisa berharap kepada Yesus untuk jawaban. Dan Yesus memberikan jawaban yang sebenarnya, sebuah undangan untuk beranjak dari batasan duniawi, dan mulai masuk dalam sebuah perjalanan bersama dengan Dia.

Hal ini tidak berarti bahwa setiap kita harus menjual semua harta kita hanya untuk mengikut Yesus. Poin utama dari jawaban Yesus adalah untuk berani “meninggalkan” apa yang sudah dicapai, untuk memperoleh sebuah pengalaman baru berjalan bersama Allah. Beberapa tokoh iman dalam Alkitab juga diperintahkan, bahkan dipaksa oleh keadaan untuk meninggalkan semua pencapaian mereka dan masuk dalam babak baru kehidupan. Abraham diminta meninggalkan tanah airnya, Yakub harus lari dari keluarganya, Musa harus meninggalkan istana Firaun, Yusuf dipaksa meninggalkan keluarga besarnya, dst. Dalam pengembaraan itulah tokoh-tokoh ini belajar mengenal dan berjalan bersama Allah.

Undangan yang sama juga diberikan kepada setiap kita, yaitu untuk berani meninggalkan zona nyaman dan masuk dalam sebuah perjalanan baru. Ada titik-titik tertentu dalam kehidupan dimana kita semua mencapai batasan kita masing-masing. Kehidupan menjadi nyaman, tapi juga stagnan, dan tidak ada sesuatu yang baru. Setiap keberhasilan yang kita capai dalam kehidupan sebenarnya bisa menjadi semacam ‘beban’ yang pada batas tertentu justru akan membuat kita berhenti bertumbuh. Seperti lemari pakaian yang makin lama makin penuh, ada waktu dimana kita harus membuang beberapa pakaian lama (yang mungkin kita sukai) untuk menambahkan pakaian yang baru dalam lemari tersebut, atau membeli lemari baru. Tapi tidak seperti lemari yang bisa diperbanyak kapan saja, kita adalah manusia terbatas yang hanya memiliki satu takaran kehidupan untuk diisi. Begitu kita mengisinya sampai penuh, kita tidak dapat lagi memperoleh lebih. Perjalanan kita berhenti, dan kita tenggelam dalam kenyamanan stagnan, complacency, yang akhirnya berujung pada kesia-siaan.

Saya percaya ada waktu-waktu dimana Tuhan mengijinkan guncangan dalam hidup kita, memaksa kita untuk kehilangan beberapa atau bahkan semua prestasi yang sudah kita capai, hanya untuk menunjukkan bahwa masih ada sebuah perjalanan baru yang segar bersama dengan Dia. Dalam keterbatasan kita sebagai manusia, berkat-berkat yang baru tidak dapat kita terima kalau kita tidak membuka genggaman kita dan melepaskan pencapaian-pencapaian lama. Rasul Paulus rupanya menyadari rahasia ini sehingga ia menyatakan “…aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku” (Filipi 3:13). Mari kita memeriksa apakah ada hal-hal yang perlu kita tinggalkan di masa lalu, melepaskan genggaman pada kebanggaan-kebanggaan lama, dan mulai mengerahkan diri pada janji Tuhan yang ada di hadapan kita. Keep pressing forward!