Wednesday, September 17, 2014

Perang Selfie

Tulisan menjelang pemilu kemaren...

-------------------------------------------

Ada dua fenomena menarik yang saya amati menjelang Pemilu 2014 ini. Yang pertama adalah tentang sebuah perang yang sedang berlangsung, sebuah jenis perang paling modern yang mungkin hanya terjadi di Indonesia, yaitu perang selfie. Para caleg berlomba memajang ratusan bahkan ribuan selfie mereka beserta satu atau dua kalimat pilihan, berharap agar dengan bermodal wajah dan beberapa kalimat tersebut, masyarakat dapat memberikan kepercayaan pada orang-orang ini untuk mewakili mereka di pemerintahan. Beberapa orang berusaha sekreatif mungkin berunjuk wajah, dan sejujurnya ada yang benar-benar berhasil memancing tawa saya, khususnya yang ini:


 
Meski menurut saya tidak bakal efektif mendulang suara, selfie tersebut paling tidak adalah yang ‘paling jujur’ menggambarkan kondisi moral mayoritas aparat pemerintah kita. Melihat perang selfie yang begitu riuh, sejujurnya saya merasa bahwa masyarakat kita sedang dibodohi. Memilih wakil rakyat murni berdasarkan wajah adalah jauh lebih bodoh daripada membeli kucing dalam karung. Begitu banyak wajah, begitu sedikit unjuk kerja.

Fenomena kedua, adalah munculnya beberapa aparat pemerintah yang benar-benar berprestasi, jujur dan bersih, yang hari-hari ini berhasil memenangkan hati rakyat dengan hasil kerja keras mereka. Pribadi-pribadi ini bersinar begitu terang, sangat kontras dengan gambaran muram yang sudah melekat selama berpuluh tahun di wajah pemerintah. Untuk orang-orang seperti ini, mereka tidak perlu lagi ikut berlomba memasang selfie di jalan-jalan. Reputasi dan kapasitas mereka berbicara lebih lantang dan menjangkau lebih jauh dari wajah mereka. Melihat tokoh-tokoh ini, hati saya bersyukur sekaligus miris. Saya bersyukur karena akhirnya muncul juga pribadi-pribadi pejabat yang bisa diharapkan untuk masa depan Indonesia, miris karena begitu sedikitnya orang-orang yang seperti ini.

Uniknya, sebenarnya pribadi-pribadi ini tidaklah istimewa. Mereka hanya sekedar melakukan apa yang seharusnya dilakukan seorang pejabat negara dengan kejujuran dan etika yang juga seharusnya mereka miliki sesuai sumpah jabatan. Saya teringat dengan sebuah wawancara dimana salah satu tokoh ini berkata bahwa ia sama sekali tidak merasa kesulitan memimpin daerahnya, karena semua solusi sudah tersedia oleh pemikiran para ahli. Dia hanya sekedar melakukan bagian dan tanggungjawabnya sesuai sumpah jabatan tanpa kompromi, dan berjuang sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Sebuah hal yang sebenarnya normatif, tapi terasa begitu mencerahkan karena dilakukan di tengah kegelapan moral pejabat pemerintah yang lain.

Melihat betapa meluasnya kecintaan masyarakat terhadap tokoh-tokoh ini, saya berpikir bahwa mestinya kesempatan untuk benar-benar dicintai dan dipercaya oleh masyarakat masih sangat luas. Memang kapasitas intelektual disertai kerja keras mutlak diperlukan disertai keberanian untuk bertindak jujur tanpa kompromi. Jika mereka tekun dalam hal itu maka akan tiba waktunya dimana ‘terang’ mereka akan ditemukan. Di tengah apatisme dan rasa muak menahun, masyarakat kita sebenarnya sangat merindukan munculnya pemimpin yang benar-benar bisa diandalkan dan dibanggakan. Kerinduan ini begitu kuat, seperti kehausan seorang musafir di padang gurun. Melihat betapa gelapnya situasi, saya percaya bahwa terang sekecil apapun pastilah satu saat akan terlihat. Dan jika ditemukan oleh kekuatan media sosial, terang ini akan berlipat ganda dengan kecepatan yang luar biasa.


Saat ini, saya sedang berdoa agar saya bisa menemukan setitik terang, yang kepadanya saya akan memberikan suara. Saya tidak akan mencari di tengah belantara perang selfie yang sedang berkecamuk, tapi saya membuka mata dan telinga untuk menelusuri berbagai kabar dan berita yang beredar, berharap menemukan butiran emas di tengah lumpur. Mari kita terus berharap untuk Indonesia yang lebih baik, saya percaya Tuhan akan membangkitkan lebih banyak lagi pribadi-pribadi pemimpin bangsa yang benar-benar pantas menerima amanat dari rakyatnya. 

No comments: