Wednesday, September 17, 2014

Memilih 'Satria Piningit'

Saat saya menulis artikel ini, Indonesia telah memiliki dua pasangan calon tetap untuk menduduki jabatan presiden dan wakil presiden. Dalam pengamatan saya, baru kali ini pertarungan untuk menjadi orang nomor satu di Indonesia berlangsung begitu seru. Mungkin karena hanya ada dua pasangan calon dimana pemilu nantinya hanya akan berlangsung satu putaran, dan juga masing-masing calon ternyata punya basis pendukung yang sangat kuat. Dua pihak masing-masing adalah ‘kuda hitam’, dengan kekuatan dan kelebihan masing-masing. Dengan gencarnya pemberitaan di media, harapan masyarakat untuk Indonesia yang lebih baik membumbung tinggi, ditumpukan pada kedua pasangan calon ini.




Tapi sejujurnya saya berpikir, siapapun yang terpilih menjadi presiden, masa depan negara ini tetap ada di tangan rakyatnya. Adalah sangat tidak realistis jika kita berpikir bahwa satu orang presiden, siapapun dia, dapat membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dengan kemampuannya sendiri. Setiap warga negara memiliki peran sangat penting untuk mendorong atau menghambat kemajuan negara. Saya melihat kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya peran mereka dalam memajukan negara ini dalam tingkah laku keseharian mereka. Rakyat Indonesia lebih cenderung menumpukan harapan mereka sepenuhnya kepada seorang pemimpin ‘super’, satria piningit, ratu adil, atau apapun sebutannya. Pemimpin yang diharapkan kemudian dikultuskan begitu rupa – sampai muncul berbagai spanduk ‘siap mati’ untuk membela – tapi kemudian dihujat dan dikutuk jika dianggap gagal.

Sebuah contoh tentang abainya masyarakat terhadap peran mereka baru saja terjadi di Surabaya. Demi berebut es krim gratis, puluhan ribu orang menginjak-injak taman kebanggaan kota, menghancurkan taman yang telah dibangun bertahun-tahun, yang sempat dinobatkan menjadi taman terbaik se Asia. Peristiwa ini menunjukkan rendahnya kesadaran masyarakat tentang peran mereka dalam menjaga kota mereka sendiri. Mungkin mereka berpikir bahwa menjaga taman kota adalah urusan walikota atau dinas pertamanan, sehingga mereka merasa tidak perlu bertanggung jawab untuk menjaganya. Hancurnya taman Bungkul Surabaya adalah contoh kecil apa yang bisa terjadi jika masyarakat tidak menyadari kekuatan peran mereka masing-masing. Dalam skala nasional, kehancuran yang terjadi bisa lebih mengerikan saat semua rakyat hanya memikirkan diri sendiri dan menempatkan para pemimpin sebagai penanggungjawab tunggal kemajuan bangsa.

Rakyat Indonesia sebenarnya tidak membutuhkan seorang satria piningit atau ratu adil untuk menuju masa depan cerah. Pemimpin yang baik memang penting, tapi di masa sekarang kejayaan sebuah bangsa lebih ditentukan oleh keterlibatan dan kecintaan rakyat terhadap bangsanya. Kita semua boleh memilih calon presiden sesuai dengan hati nurani kita masing-masing, tapi lebih penting untuk menemukan peran praktis apa yang bisa kita lakukan untuk kejayaan Indonesia. Kita bisa mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi: menjaga kebersihan lingkungan, taat berlalulintas, berhati-hati dalam menggunakan fasilitas umum dan berbagai keterlibatan lainnya.

Indonesia akan maju pesat dengan kepemimpinan yang baik dan dengan rakyat yang menyadari peran mereka masing-masing. Indonesia milik kita bersama, Indonesia adalah kita. Kitalah yang akan menentukan nasib bangsa ini di masa depan bersama pemimpin yang akan kita pilih bersama. Tuhan memberkati.

No comments: