Akhir-akhir ini kita melihat dan mendengar bahwa terjadi
perang kembali antara Israel dan Palestina (Hamas). Konflik memanas diawali dengan tewasnya tiga pemuda Israel setelah diculik oleh pihak Palestina, dan
kemudian berbuntut pembalasan tewasnya seorang pemuda Palestina. Ratusan rudal
kembali beterbangan di antara dua wilayah. Jumlah korban jelas tidak seimbang,
karena Israel menggunakan senjatanya untuk melindungi rakyat sipil, sedangkan
Hamas menggunakan rakyat sipil untuk melindungi senjatanya. Akibatnya dunia
kembali mengutuk Israel seperti biasa. Beberapa pengamat mengatakan bahwa
konflik Israel vs. Palestina selalu akan bergolak, menjadi sebuah perang abadi.
Secara akal sehat seharusnya orang akan lelah
dengan perang berkepanjangan tanpa jalan keluar seperti ini. Perdamaian sudah
diusahakan, gencatan senjata sudah dilakukan, tetapi selalu ada alasan baru
untuk mengobarkan perang kembali. Biasanya konflik selalu memiliki alasan-alasan yang jelas, tapi dalam kasus Hamas vs. Israel alasan yang jelas tidak lagi diperlukan. Bagi Hamas, membunuh sebanyak mungkin orang Israel sudah menjadi 'panggilan hidup', dimana setiap orang sejak anak-anak sudah dididik untuk memiliki prasangka kebencian yang mendalam terhadap Israel. Bagi warga Israel di wilayah perbatasan, mendengar raungan sirene tanda kedatangan rudal dan kemudian berlari secepatnya ke bunker perlindungan sudah menjadi rutinitas sehari-hari, menciptakan trauma berkepanjangan khususnya bagi anak-anak. Saya tidak bisa membayangkan betapa prasangka negatif juga bertumbuh subur dalam diri anak-anak ini terhadap warga Palestina.
Melihat perang yang terus berkecamuk sampai sekarang, kita bisa menyimpulkan bahwa mereka yang bertikai (khususnya Hamas) lebih memilih
kehilangan korban nyawa terus menerus daripada menghilangkan kebencian dan
prasangka satu sama lain. Dalam pandangan saya, terkadang orang lebih memilih
untuk terus berprasangka dan memelihara kebencian daripada memelihara kehidupan
mereka. Dan ironisnya, tidak diperlukan banyak orang untuk menumbuhkan
prasangka yang akan menjalar ke seluruh bangsa. Saya percaya bahwa dalam urusan
berprasangka, mayoritas selalu mengekor minoritas.
Prasangka, yang biasanya melahirkan kebencian,
adalah sebuah penyakit rohani yang menjangkiti begitu banyak orang. Mereka yang
hidup dalam prasangka akan kehilangan banyak hal, selalu “berperang”, selalu
memiliki musuh. Prasangka membuat dunia sekitar dan pikiran jadi begitu sempit,
merampok kehidupan dari kekayaan yang sebenarnya. Prasangka membuat mata selalu
berfokus pada kelemahan dan hal-hal yang negatif dari segala sesuatu, betapapun
kecilnya hal itu, dan kemudian mempercayainya sebagai sebuah gambaran
keseluruhan. Dan seperti halnya iman, prasangka akan memberikan apa yang
dipercayai. Jika kita berprasangka buruk tentang seseorang, kita akan selalu
menjumpai & bahkan mengalami keburukan dari orang tersebut. Sebagai
akibatnya prasangka akan menjadi kebencian, dan kita menambah satu lagi musuh
abadi. Siklus ini berlaku baik dalam tingkat pribadi maupun sampai ke tingkat
bangsa.
Saya menyamakan prasangka dengan tindakan
menghakimi orang lain. Alkitab dalam berbagai kesempatan melarang kita untuk
menghakimi orang lain. Bahkan Yesus dengan tegas mengatakan agar kita jangan
menghakimi (Mat 7:1-2), dan juga jangan mengatakan hal-hal negatif tentang orang
lain (Mat 5:22). Tidak ada seorang manusiapun yang mampu menghakimi dengan
adil, karena manusia tidak mungkin mengenal secara utuh kondisi hati manusia
lainnya. Hanya Allah yang memiliki pandangan yang menyeluruh tentang hati
seseorang, sehingga Ia dapat menjadi Hakim yang sangat adil. Makin tebal
prasangka kita tentang karakter seseorang, biasanya makin jauh keyakinan kita
tersebut dari kenyataan yang sebenarnya. Sebab itu kita perlu memohon belas
kasihan Allah agar virus prasangka tidak menguasai hidup kita.
Tuhan Yesus memberikan obat yang ampuh bagi
prasangka, yaitu prinsip “giving extra mile”. Nilai-nilai ini tercantum
dalam Injil Matius 5:38-48 dan telah menimbulkan banyak perdebatan tentang
kemungkinan pelaksanaannya dalam dunia nyata. Memberikan pipi kiri setelah
ditampar pipi kanan, berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat, dst
sebenarnya adalah sebuah obat yang sangat manjur bagi penyakit prasangka. Dibalik
setiap prasangka terdapat ketakutan dan sikap melindungi diri sendiri. Membalas
kejahatan dengan kebaikan akan melenyapkan ketakutan ini, dan menempatkan
segala sesuatu ke dalam kedaulatan Tuhan dimana terdapat perlindungan dan
keadilan sejati.
Saat kita mendengar tentang perang abadi
Israel vs. Palestina, biarlah kita juga melihat bahwa dalam diri kita sendiri
juga ada benih yang sama, yaitu penyakit berprasangka yang membuat kita tidak
mampu hidup dalam damai dengan semua orang. Jika saat ini kita memiliki musuh
atau orang yang kita benci, marilah kita berusaha untuk berdamai dengan ybs.
Maka janji Tuhan dalam Mat 5:9, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena
mereka akan disebut anak-anak Allah” akan terwujud dalam hidup kita semua.
Tuhan memberkati.