Saya adalah salah seorang yang mendapat berkat luar biasa dari kisah taman Eden. Kisah ini menimbulkan banyak pertanyaan bagi saya, bukan pada faktor ketepatan historis saintifik nya, namun pada apa dan mengapa hal ini dan itu terjadi.
Pertanyaan yang paling mengusik saya adalah "Mengapa Allah melarang manusia untuk makan buah yang mendatangkan pengetahuan baik&jahat?" Bukankah moralitas yang kita miliki bersumber dari 'kesadaran' itu? Menurut saya 'baik dan jahat' itu sudah ada dari mulanya. Allahlah yang memisahkan terang dan gelap, darat dan air, baik dan jahat, iblis dan malaikat terang. Kalau yang 'jahat' tidak ada, maka yang 'baik' pun tidak akan dikenal. Sebab itu buah pohon terlarang itu bernama 'pengetahuan baik dan jahat'. Terang membuat gelap menjadi nyata, seperti contoh bahwa "Taurat (terang) membuatdosa (kegelapan) itu nyata/diperhitungkan" Tanpa Taurat orang tidak mengenal dosa atau dosa tidak diperhitungkan seperti seharusnya.
Saya berpikir memang Allah tidak menginginkan manusia memiliki pengetahuan itu. Allah tidak ingin manusia bisa membedakan mana yang baik, mana yang jahat. Allah memiliki pengetahuan itu, dan hanya Dialah yang bisa memiliki pengetahuan itu tanpa harus memilih untuk menjadi salah satu daripadanya.Bagi saya Allah adalah Allah yang mengatasi segala yang baik maupun yang jahat. Allah 'tidak baik dan juga tidak jahat'. Allah adalah Allah, penuh, sempurna, utuh, maksimal, supreme (plus istilah-istilah sejenis yang saya belum tahu). Dialah standar dan tolok ukur nya. Jika Dia menentukan ini gelap, gelaplah hal itu, jika Dia menentukan ini terang, teranglah hal itu. Bukan moralitas yang menjadi tolok ukur sempurna, tapi Allah.
Itu sebabnya Allah bisa memerintahkan pembunuhan bayi-bayi yang menyusu sekaligus memberikan perintah 'jangan membunuh'. Kita sering berusaha 'membela' Allah dengan segala argumentasi ketika orang-orang ateis menyerang Allah kita yang 'plin-plan' seperti itu. Tapi sekali lagi, Allah adalah Allah, moralitas manusiawi tidaklah berarti bagi Dia, Dialah tolok ukurnya. Kita bisa berkata bahwa 'Allah itu baik' jika kita menghidupi suatu kehidupan yang nyaman. Tapi dibutuhkan sesuatu yang abstrak yang disebut'iman' dalam takaran yang sangat besar untuk menyatakan bahwa 'Allah itu baik' jika sanak keluarga kita dibantai oleh laskar jihad, misalnya. Allah, dalam kesempurnaanNya, tidaklah baik atau jahat. Penilaian itu sebenarnya tidak berlaku bagiNya. Allah tidak membutuhkan pembelaan maupun pembenaran yang bersumber dari moralitas manusia.
Manusia, sebaliknya, tidaklah mampu untuk memiliki pengetahuan itu tanpa dikuasai oleh salah satu dari antaranya. Begitu pengetahuan itu datang, mereka langsung tahu bahwa 'aku telanjang dan telanjang itu tidak baik', mereka 'menjadi seperti Allah', bisa memisahkan yang baik dan jahat. Sebelumnya Allah menjadi segalanya bagi mereka, jika Allah tidak memberitahu, mereka tidak tahu. Kini mereka memiliki kemampuan itu, mereka tidak perlu Allah lagi dalam mendefinisikan moralitas mereka. Allah tidak lagi menjadi tolok ukur tunggal bagi mereka. Disinilah (menurut saya) dimulai ketegangan antara sains dan teologi, yang kudus dan yang cemar, kemanusiaan dan keilahian, 'fundamentalis' dan 'liberal' yang semuanya terjadi dalam jiwa manusia, tempat dimana pengetahuan baik&jahatitu berada. "Jika aku menginginkan yang baik, yang jahat itu ada padaku", begitu keluhan Rasul Paulus, sebuah keluhan yang keluar dari "pengetahuan warisan" ini. Disinilah saya melihat bahwa mortalitas sebetulnya adalah sebuah anugerah/jalan keluar dan bukan semata-mata hukuman. Betapa malangnya manusia yang hidup selamanya dalam tarikan baik dan jahat itu terus menerus. Orang yang mengenal Allah berkata, "Kita mengeluh untuk diangkat sebagai anak dan mengenakan tempat kediaman sorgawi" (Rom 8:23 & 2 Kor 5:2), apalagi orang yang tidak mengenalNya.
Namun dipihak lain, menurut saya justru pengetahuan itu 'menyempurnakan' citra Allah yang memang dimaksudkanNya untuk ada pada manusia. Lepas dari perdebatan apakah Allah merencanakan atau mengijinkan (dan pada saat yang sama, melarang) manusia untuk makan buah pohon itu, manusia memakannya. Dan ia lebih 'dekat' lagi pada citra Allah sekaligus lebih 'jauh' karena dosanya. Sebuah paradoks yang beranak cucu menjadi ratusan mungkin ribuan paradoks rohani yang kita kenal sekarang yang bersumber dari paradoks pertama, sebuah buah yang memberikan pengetahuan yang baik sekaligus jahat. Allah dalam kesempurnaan hikmatNya akhirnya bergerak dalam paradoks juga, mempertemukan "Yang Mahakudus" dengan "Dosa umat manusia" di kayu salib untuk menyelesaikan paradoks lain, yaitu "keadilan" dan "kasih". Disitulah kita menerima jalan keluar untuk kembali pada Dia yang menciptakan kita, untuk mengembalikan tolok ukur kita kembali kepadaNya, walaupun pengetahuan itu masih tetap tinggal di jiwa kita.
Well, coba-coba memahami Allah memang membuat otak jadi puyeng. Tapi saya merindukan saat-saat dimana saya berjumpa dengan Allah dan "...pada saat itu kamu tidak akan menanyakan apa-apa kepadaKu" (Yoh 16:23) dimana moralitas akan berakhir dan kedaulatan Allah mengambil alih. Ada orang ateis yang berkata bahwa surga, kalaupun ada, pasti akan menjadi tempat yang sangat membosankan. Apa artinya kebaikan kalau tidak ada kejahatan, apa artinya penghiburan kalau tidak ada dukacita, apa artinya keindahan kalau tidak ada keburukan, apa artinya warna-warni kalau tidak ada warna kelabu, apa artinya hikmat kalau tidak ada kebodohan, dst. Si ateis ini benar, tapi sorga tidak membutuhkan moralitas manusiawi itu. Allah kembali menjadi segalanya, dipuji selamanya. Pemahaman dikotomis hitam putih, baik jahat, cantik buruk, benar salah, dkk kembali pada tempatnya semula, menjadi sebuah pohon di tengah taman yang mungkin akan digunakan lagi dalam episode akbar Allah berikutnya, siapa tahu, he...he...he...
No comments:
Post a Comment