Thursday, December 29, 2005

Melucuti Keagamaan (Sebuah Refleksi Otokritik) - bag 2

FORM FOLLOW FUNCTION

"Form follow function" adalah sebuah istilah dalam dunia arsitektur yang menyatakan berakhirnya era2 simbolis dalam dunia arsitektur. "Function" menentukan "form" bangunan yang dibuat. Itu sebabnya bangunan2 modern saat ini begitu telanjang, netral, miskin simbol dan makna. Desain arsitektur hotel, gedung perkantoran, pusat perbelanjaan saat ini tidaklah berbeda secara signifikan antara Indonesia, Afrika Selatan, Amerika, dll. Ada usaha dalam dunia pendidikan arsitektur untuk melawan arus fungsionalisasi ini, agar rancangan yang dihasilkan tidak hanya bersifat fungsional saja, namun ada unsur simbolisnya. Namun "simple is beautiful" dan "cheap". Jadi bangunan yang fungsional akan cenderung lebih murah daripada bangunan yang dibebani dengan unsur2 simbolis. Jadi bagaimanapun juga arus 'form follow function' ini adalah jawaban bagi dunia modern.

Begitu juga dengan kekristenan kontemporer. Lepas dari kemiskinan2 liturgis dan tradisi, kekristenan kontemporer menjadi jawaban bagi generasi yang lahir dalam era 'form follow function'. Kosongnya gereja2 tradisional di Eropa dan sering 'jajan'nya anggota jemaat gereja tradisional ke kharismatik merupakan suatu pertanda bahwa kekayaan selebrasi dan liturgi gereja tradisional mengalami nasib yang sama dengan kekayaan simbolisasi pada bangunan-bangunan tua. Nasib kedua peninggalan sejarah ini sama: dikagumi, dipelajari, berusaha dipertahankan, namun tidak lagi menjawab kebutuhan manusia modern (baca: generasi muda).

Kekristenan kontemporer menawarkan 'fungsionalitas' dari iman kekristenan tanpa dibebani oleh simbolisme2 yang rumit. Tawaran ini tentu saja mendapatkan sambutan yang luar biasa dari generasi 'form follow function' ini. "Alamilah hadirat Tuhan, masuklah langsung ke tempat KudusNya, rasakan jamahan Tuhan pada hatimu", merupakan undangan bagi setiap orang yang mau datang. Mengapa harus mempelajari dan melakukan liturgi dan selebrasi yang rumit2 kalau kita bisa langsung menghadap ke hadiratNya dan merasakan jamahanNya? Apakah jika kita akan menemui ayah kita yang kita kasihi dan mengasihi kita, harus dengan protokoler/ liturgi tertentu? Tentu tidak bukan. Begitu juga dengan Allah.

Kenyataan yang terjadi ialah, generasi ini sungguh2 menemukan Allah. Kesederhanaan liturgis dalam ibadah kontemporer justru menjadi faktor pendorong untuk memusatkan perhatian kepada Allah saja, to the point, fungsional. Mereka menjadi orang2 yang bersemangat dalam penginjilan, berkorban, melayani Tuhan dsb. Pertumbuhan gereja yang paling signifikan terjadi dalam kekristenan kontemporer. Gereja2 terbesar di dunia adalah gereja2 semacam ini. Gereja yang memberikan jawaban bagi para "sensitive seekers". Kekristenan kontemporer betul-betul menemukan tempat yang 'pas' di jaman yang menekankan fungsi.

Keuntungan lainnya ialah, kekristenan terlepas dari 'beban budaya' yang selama ini dipikulnya. Beban budaya yang saya maksud adalah bahwa sejarah kekristenan tidak bisa dilepaskan dari budaya bangsa tertentu. Simbolisme2 liturgis yang acap digunakan dalam kekristenan tidaklah netral secara budaya. Orang Islam Indonesia sering mencap kekristenan sebagai 'agama barat'. Liturgika kristen merujuk pada peninggalan2 budaya Romawi dan Yahudi. Pada waktu liturgi ini disingkirkan, beban budayapun ikut tersingkir. Ibadah kontemporer menjadi netral, ringan, bisa diikuti oleh siapapun dari latar belakang non kristen sekalipun. Saya bisa menghadiri ibadah gereja kontemporer dari negara dan denominasi manapun tanpa penyesuaian yang berarti. Ibadah kontemporer bisa menjadi ibadah lintas budaya, fungsional. Namun tentu saja bagi orang-orang yang terbiasa dengan ibadah yang liturgis, ibadah kontemporer semacam ini akan menimbulkan'liturgical shock', efek yang sama terjadi pada orang tua generasi 60 an yang masuk ke tempat hiburan jaman sekarang.

Akhirnya nampak bahwa aspek yang merupakan kelebihan/keuntungan dari kekristenan kontemporer dalam sisi yang berbeda juga menjadi kekurangannya. Kemudahan dan ringannya liturgi kontemporer di sisi lain menciptakan kecenderungan dangkalnya pemahaman teologis pada jemaat. Kekristenan kontemporer harus mulai menyadari hal ini, sebelum dimasa depan akan lahir sebuah generasi yang 'bertuhan', tapi sama sekali tidak 'beragama' dengan cara yang kita kenal sekarang ini. Kekristenan tradisional telah melampaui masa-masa jayanya, kekristenan kontemporerpun mungkin akan mengalami nasib yang sama di kemudian hari, tapi dengan wujud yang lebih buruk karena tidak memiliki warisan kekayaan budaya. Sama dengan nasib bangunan tua. Bangunan tua yang masih memiliki kekayaan sejarah dalam rupa ukiran dan simbol-simbol masih akan cenderung dipertahankan dan dirawat sebagai peninggalan sejarah, meskipun tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Kalau bangunan2 modern? Jika bangunan tersebut sudah tidak dapat berfungsi lagi, pasti akan diruntuhkan dan diganti dengan yang baru.

MANUSIA (TIDAK) MEMBUTUHKAN AGAMA?

Pada dasarnya sikap menolak keagamawian hanya akan cenderung menciptakan sebuah keagamaan yang baru. Bagaimanapun bebasnya, kekristenan kontemporer saat ini makin jelas nampak sebagai sebuah 'agama' baru. Liturginya makin hari makin bisa diterka, kecuali pada kasus-kasus khusus dimana Roh Kudus bekerja dengan luar biasa. Agama ternyata tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Manusia membutuhkan keagamaan (religiousity) untuk berhubungan dengan Tuhan. Mengapa manusia harus berdoa? Karena manusiamemerlukan doa. Mengapa manusia harus beribadah? Karena manusia memerlukanibadah. Mengapa manusia harus beragama? Karena manusia memerlukan agama.

Sebuah kehidupan rohani tidak bisa bertumbuh wajar tanpa ritual agamawi. Saat teduh dalam doa pribadi dan pembacaan Alkitab, mezbah keluarga, bersekutu di Gereja, dll, semua ritual itu harus dilakukan dengan disiplin tinggi. Tanpa disiplin agamawi semacam ini, kaum karismatik hanya akan menggunakan/mengandalkan 'jamahan Roh Kudus' sebagai candu yang membuat perasaan bergairah pada satu waktu dan kemudian pudar beberapa hari kemudian. Efek 'hadirat/kemuliaan Allah' secara emosional akan memudar dengan berjalannya waktu. Jika orang Kristen hanya mengandalkan "pengalaman di bukit" (Mat 17:1-4) dan melompat kian kemari, pergi ke KKR demi KKR atau konser-konser musik hanya supaya bisa mengalami perasaan bergairah yang sangat dibutuhkannya itu, maka orang semacam ini tidak lebih dari seorang pecandu narkoba spiritual.Pecandu-pencandu semacam ini biasanya juga sangat mempercayai nubuatan-nubuatan yang menjanjikan kekayaan, kemuliaan, kekuasaan tanpa diimbangi dengan berita tentang salib dan penyangkalan diri. Secara usia kekristenan mereka mestinya menjadi pengajar, tapi justru mereka minta susu terus setiap hari, sebuah keterbelakangan rohani (spiritual retardation) yang menyedihkan!

Namun keagamaan juga memiliki kecenderungan untuk menjadi batu sandungan. Batu sandungan yang dimaksud adalah pada waktu orang puas dengan keagamaannya, dia akan berhenti menjadi garam dan terang. Keagamaan cenderung membawa orang pada rasa benar diri, rasa lebih dekat pada Tuhan. Kedekatan denganTuhan kemudian diselewengkan oleh kemanusiaan kita yang telah jatuh ini menjadi sebuah bentuk kesombongan spiritual. Kesombongan spiritual akhirnya membawa kita kepada kemunafikan, dosa yang sangat dibenci oleh Yesus. "Orangkristen itu munafik", betapa seringnya ucapan ini saya dengar saat saya mencoba untuk memberitakan Injil kepada orang non Kristen. Saya berpikir mungkin mereka benar.

Oleh karena itu keagamaan haruslah ditempatkan dalam posisi yang sebenarnya, yaitu sebagai media/jembatan yang kita gunakan secara pribadi untukberhubungan dengan Allah. Manusia membutuhkan agama untuk berhubungan denganAllah yang adalah Roh, sekaligus untuk memelihara kehidupan rohani, tapi manusia tidak membutuhkan agama untuk berhubungan dengan orang lain. Keagamaan menempati posisi yang paling pribadi dalam kerohanian kita, sementara kasih yang diwujudkan dalam tindakan adalah "agama permukaan" kita pada saat kita berinteraksi dengan manusia lainnya. Penerimaan, penghiburan, dukungan, kesetiaan, kasih tanpa syarat, hal-hal semacam inilah yang harus nampak dari luar, bukannya keagamawian.

Dalam surat Galatia, Rasul Paulus secara mengejutkan menyamakan tindakan "hidup dalam Roh" dan "menabur dalam Roh" dengan tindakan memimpin orang lain dengan lemah lembut, dengan menanggung beban satu sama lain, dengan memberkati pemberita Firman, dengan berbuat baik kepada semua orang, sebuah tindakan kasih yang praktikal (Gal 6:1-10), sambil pada saat yang sama menyamakan tindakan agamawi yang kelihatan dari luar sebagai keduniawian.

Orang kristen karismatik harus menyadari bahwa hidup dalam Roh tidak pernah berarti hidup dalam perasaan melayang-layang, atau hidup 'sakti', kaya dan berkuasa karena urapan Roh Kudus. Hidup dipimpin oleh Roh adalah hidup praktis yang mencerminkan kasih Allah kepada manusia. Hidup berkemenangan dan berkelimpahan oleh Roh Kudus tidaklah ditandai oleh seberapa banyak yang kita miliki, tapi seberapa banyak orang yang menerima berkat dari kehidupan kita. Dengan sudut pandang seperti ini, justru orang-orang Kristen yang menang dalam penderitaanlah yang sebetulnya berkemenangan dan berkelimpahan, karena kisah-kisah mereka selalu menguatkan hati semua orang percaya. Tidak banyak penghiburan sejati yang bisa didapatkan melalui orang Kristen yang kaya raya dan berkuasa bagai raja di dunia ini.

Melucuti keagamaan melalui kontemporerisasi bukanlah jalan keluar, melainkan hanya membuat sebuah agama baru yang justru tidak memiliki masa depan. Karismatik atau bukan, orang disekitar kita tidak peduli seberapa banyak pengalaman agamawi dan pengetahuan kita, sampai mereka tahu dan mengalami seberapa banyak kita peduli. Mari kita semua berjuang agar keagamaan kita menjadi sebuah benih, tertanam di dalam, tidak terlihat, tapi menghasilkan pohon yang buahnya manis dan memberkati semua orang.

No comments: