Thursday, December 29, 2005
Skandal Taman Eden
Pertanyaan yang paling mengusik saya adalah "Mengapa Allah melarang manusia untuk makan buah yang mendatangkan pengetahuan baik&jahat?" Bukankah moralitas yang kita miliki bersumber dari 'kesadaran' itu? Menurut saya 'baik dan jahat' itu sudah ada dari mulanya. Allahlah yang memisahkan terang dan gelap, darat dan air, baik dan jahat, iblis dan malaikat terang. Kalau yang 'jahat' tidak ada, maka yang 'baik' pun tidak akan dikenal. Sebab itu buah pohon terlarang itu bernama 'pengetahuan baik dan jahat'. Terang membuat gelap menjadi nyata, seperti contoh bahwa "Taurat (terang) membuatdosa (kegelapan) itu nyata/diperhitungkan" Tanpa Taurat orang tidak mengenal dosa atau dosa tidak diperhitungkan seperti seharusnya.
Saya berpikir memang Allah tidak menginginkan manusia memiliki pengetahuan itu. Allah tidak ingin manusia bisa membedakan mana yang baik, mana yang jahat. Allah memiliki pengetahuan itu, dan hanya Dialah yang bisa memiliki pengetahuan itu tanpa harus memilih untuk menjadi salah satu daripadanya.Bagi saya Allah adalah Allah yang mengatasi segala yang baik maupun yang jahat. Allah 'tidak baik dan juga tidak jahat'. Allah adalah Allah, penuh, sempurna, utuh, maksimal, supreme (plus istilah-istilah sejenis yang saya belum tahu). Dialah standar dan tolok ukur nya. Jika Dia menentukan ini gelap, gelaplah hal itu, jika Dia menentukan ini terang, teranglah hal itu. Bukan moralitas yang menjadi tolok ukur sempurna, tapi Allah.
Itu sebabnya Allah bisa memerintahkan pembunuhan bayi-bayi yang menyusu sekaligus memberikan perintah 'jangan membunuh'. Kita sering berusaha 'membela' Allah dengan segala argumentasi ketika orang-orang ateis menyerang Allah kita yang 'plin-plan' seperti itu. Tapi sekali lagi, Allah adalah Allah, moralitas manusiawi tidaklah berarti bagi Dia, Dialah tolok ukurnya. Kita bisa berkata bahwa 'Allah itu baik' jika kita menghidupi suatu kehidupan yang nyaman. Tapi dibutuhkan sesuatu yang abstrak yang disebut'iman' dalam takaran yang sangat besar untuk menyatakan bahwa 'Allah itu baik' jika sanak keluarga kita dibantai oleh laskar jihad, misalnya. Allah, dalam kesempurnaanNya, tidaklah baik atau jahat. Penilaian itu sebenarnya tidak berlaku bagiNya. Allah tidak membutuhkan pembelaan maupun pembenaran yang bersumber dari moralitas manusia.
Manusia, sebaliknya, tidaklah mampu untuk memiliki pengetahuan itu tanpa dikuasai oleh salah satu dari antaranya. Begitu pengetahuan itu datang, mereka langsung tahu bahwa 'aku telanjang dan telanjang itu tidak baik', mereka 'menjadi seperti Allah', bisa memisahkan yang baik dan jahat. Sebelumnya Allah menjadi segalanya bagi mereka, jika Allah tidak memberitahu, mereka tidak tahu. Kini mereka memiliki kemampuan itu, mereka tidak perlu Allah lagi dalam mendefinisikan moralitas mereka. Allah tidak lagi menjadi tolok ukur tunggal bagi mereka. Disinilah (menurut saya) dimulai ketegangan antara sains dan teologi, yang kudus dan yang cemar, kemanusiaan dan keilahian, 'fundamentalis' dan 'liberal' yang semuanya terjadi dalam jiwa manusia, tempat dimana pengetahuan baik&jahatitu berada. "Jika aku menginginkan yang baik, yang jahat itu ada padaku", begitu keluhan Rasul Paulus, sebuah keluhan yang keluar dari "pengetahuan warisan" ini. Disinilah saya melihat bahwa mortalitas sebetulnya adalah sebuah anugerah/jalan keluar dan bukan semata-mata hukuman. Betapa malangnya manusia yang hidup selamanya dalam tarikan baik dan jahat itu terus menerus. Orang yang mengenal Allah berkata, "Kita mengeluh untuk diangkat sebagai anak dan mengenakan tempat kediaman sorgawi" (Rom 8:23 & 2 Kor 5:2), apalagi orang yang tidak mengenalNya.
Namun dipihak lain, menurut saya justru pengetahuan itu 'menyempurnakan' citra Allah yang memang dimaksudkanNya untuk ada pada manusia. Lepas dari perdebatan apakah Allah merencanakan atau mengijinkan (dan pada saat yang sama, melarang) manusia untuk makan buah pohon itu, manusia memakannya. Dan ia lebih 'dekat' lagi pada citra Allah sekaligus lebih 'jauh' karena dosanya. Sebuah paradoks yang beranak cucu menjadi ratusan mungkin ribuan paradoks rohani yang kita kenal sekarang yang bersumber dari paradoks pertama, sebuah buah yang memberikan pengetahuan yang baik sekaligus jahat. Allah dalam kesempurnaan hikmatNya akhirnya bergerak dalam paradoks juga, mempertemukan "Yang Mahakudus" dengan "Dosa umat manusia" di kayu salib untuk menyelesaikan paradoks lain, yaitu "keadilan" dan "kasih". Disitulah kita menerima jalan keluar untuk kembali pada Dia yang menciptakan kita, untuk mengembalikan tolok ukur kita kembali kepadaNya, walaupun pengetahuan itu masih tetap tinggal di jiwa kita.
Well, coba-coba memahami Allah memang membuat otak jadi puyeng. Tapi saya merindukan saat-saat dimana saya berjumpa dengan Allah dan "...pada saat itu kamu tidak akan menanyakan apa-apa kepadaKu" (Yoh 16:23) dimana moralitas akan berakhir dan kedaulatan Allah mengambil alih. Ada orang ateis yang berkata bahwa surga, kalaupun ada, pasti akan menjadi tempat yang sangat membosankan. Apa artinya kebaikan kalau tidak ada kejahatan, apa artinya penghiburan kalau tidak ada dukacita, apa artinya keindahan kalau tidak ada keburukan, apa artinya warna-warni kalau tidak ada warna kelabu, apa artinya hikmat kalau tidak ada kebodohan, dst. Si ateis ini benar, tapi sorga tidak membutuhkan moralitas manusiawi itu. Allah kembali menjadi segalanya, dipuji selamanya. Pemahaman dikotomis hitam putih, baik jahat, cantik buruk, benar salah, dkk kembali pada tempatnya semula, menjadi sebuah pohon di tengah taman yang mungkin akan digunakan lagi dalam episode akbar Allah berikutnya, siapa tahu, he...he...he...
Haruskah Orang Kristen Sembuh?
Tidak hanya itu, kekristenan juga memiliki beberapa pandangan yang berbeda-beda tentang kesembuhan ilahi ini. Dari yang menolak sama sekali, sampai yang menyatakan bahwa setiap orang Kristen pasti akan disembuhkan Tuhan. Kalangan yang menolak, biasanya dari kalangan calvinis yang cessasionist, kemudian mencap orang-orang yang mempercayai kesembuhan Ilahi, biasanya dari kalangan karismatik, sebagai orang sesat, percaya kuasa perdukunan, dsb.
Paradoks antara iman yang menuntut kesembuhan dan realita yang ada bahwa tidak semua orang mengalami kesembuhan, walaupun sudah memenuhi semua syarat iman, dapat disamakan seperti paradoks antara paham predestinasi & freewill. Seseorang yang mendoakan dengan iman dan kesungguhan adalah sama dengan seorang penginjil Calvinis yang dengan berkobar-kobar memberitakan Injil.
Menurut paham predestinasi, tidak semua orang akan selamat, walaupun demikian kita dipanggil untuk memberitakan Injil ke seluruh dunia dengan kesungguhan, karena kita 'tidak tahu' mana yang selamat dan mana ditetapkan untuk tidak selamat. Demikian juga dengan doa kesembuhan. Lucunya, dalam hal mendoakan kesembuhan, orang karismatik cenderung lebih "Calvinis" dari pada rekannya yang lain. Orang karismatik berkata, "kita tidak tahu mana yang
akan disembuhkan", namun pada waktu mereka berdoa untuk kesembuhan, mereka melakukannya seolah-olah semua orang akan disembuhkan. Jadilah orang-orang karismatik ini dengan semangat mengimani apapun yang pernah dijanjikan Tuhan di Alkitab, sementara realita kadang-kadang berbicara sebaliknya.
Menurut saya sembuh atau tidak seseorang yang didoakan tidaklah perlu dipertanyakan lebih lanjut. Hal ini akan membawa kepada pertanyaan "mengapa?", sebuah pertanyaan yang boleh dibilang tidak akan ada jawabnya selama kita masih di dunia ini. Meskipun kesembuhan ilahi - bagaimanapun juga - tidaklah SELALU terjadi, namun ada beberapa yang bisa dipastikan dalam soal ini, sehingga patutlah bagi kita orang percaya untuk terus berdoa bagi orang sakit dan tetap percaya bahwa Tuhan pasti akan bekerja.
Hal-hal yang mengenainya kita bisa memiliki kepastian ialah:
- Tuhan menghargai iman kita lebih dari mujizat yang mungkin dihasilkan
oleh iman itu.
Mujizat adalah pekerjaan ringan bagi Tuhan, tapi Dia sangat menyukai iman kita. Apakah iman itu akan dihargai dengan mujizat atau dengan penghargaan lain, itu sepenuhnya adalah hakNya. Tapi jika kita berdoa tanpa iman, dengan pikiran "kalo Tuhan mau sembuh ya sembuh kalo tidak ya sudah", maka dia tidak berkenan atas doa kita. Iman di dalam setiap doa menjadi sebuah hal yang manis bagi Tuhan, berkenan di hatiNya. Alkitab bahkan mengatakan bahwa "segala sesuatu yang tidak berdasarkan iman adalah dosa" - Roma 14:23. Sebab itu kapanpun kita berdoa untuk orang sakit, berdoalah dengan segenap iman dan kesungguhan, dengan percaya bahwa Tuhan sanggup menyembuhkan orang tersebut, walaupun sebenarnya kita 'tidak tahu' mana yang betul-betul disembuhkan dan mana yang tidak. Jika kita ada dipihak yang sakit, iman yang
bertahan pada waktu tidak disembuhkan adalah jenis iman yang sangat menyukakan hati Tuhan, yaitu iman yang disertai dengan ketekunan. Jika kesembuhan terjadi, iman sepertinya 'menyelesaikan' tugasnya, dan tidak diperlukan lagi untuk area itu. - Sembuh atau tidak, pekerjaan & kemuliaan Allah harus dan akan dinyatakan dalam diri orang tsb.
Manakah yang lebih menjadi berkat, Joni Earikson Tada yang tidak pernah sembuh
dari penyakitnya atau, katakanlah, Daniel Ekekchuwu yang mengalami kebangkitan dari kematian? [utk sementara kita kesampingkan dulu pandangan yang mengulas kepalsuan dari mujizat ini] Dalam kedua orang tersebut, Allah bisa menyatakan pekerjaannya. Apakah waktu seseorang tidak disembuhkan secara mujizat berarti Allah tidak bekerja? Saya percaya jika seseorang telah didoakan dengan iman maka pekerjaan Allah PASTI akan dinyatakan. Jika ia sembuh, ia akan menguatkan banyak orang, jika ia tidak sembuh, ia bisa menguatkan LEBIH banyak orang. Mereka inilah yang akan menjadi saksi-saksi iman di dunia ini, menguatkan orang-orang yang senasib dengan mereka tentang kesetiaan Allah. Orang yang sembuh memiliki kesempatan lebih banyak untuk melayani Tuhan di dunia dengan kesehatan tubuh jasmani mereka, sedangkan orang yang tidak disembuhkan memiliki kesempatan lebih besar untuk melayani Tuhan dengan iman dan kesetiaan mereka. Kedua-duanya berharga bagi Tuhan. - Sembuh atau tidak, kesempurnaan dan kemuliaan tubuh sorgawi menanti
mereka.
Saya percaya, sembuh atau tidak sembuh tidaklah terlalu berarti bagi Allah. Orang percaya yang tidak disembuhkan dari penyakitnya akan memiliki pengharapan yang lebih tinggi terhadap tubuh sorgawi. Kerinduan untuk dilepaskan dari tubuh jasmani yang penuh cacat ini adalah kerinduan yang ilahi, kerinduan untuk bersekutu dengan Allah untuk selama-lamanya. Waktu tubuh ini melemah karena penyakit, apalagi yang membawa kepada kematian, orang disekitar kita akan berdukacita, namun surga justru bersiap-siap dengan sukacita untuk menyambut warganya pulang ke rumah. Pada waktu mujizat terjadi dan kesembuhan tercipta, surga juga bersuka cita karena pekerjaan Allah melalui orang tersebut masih belum selesai.
Jadi marilah kita tidak mengarahkan kita pada hal-hal yang bersifat sementara. Alkitab berkata bahwa yang kelihatan bersifat sementara, sedangkan yang tidak kelihatan bersifat kekal (2 Kor 4:18) Kesembuhan badani adalah hal yang terlihat, bersifat sementara dan tidak kekal, walaupun terjadi lewat mujizat. Sebaliknya ketidaksembuhan juga adalah hal yang terlihat, sementara dan tidak kekal juga. Jika kita mengukur kebenaran iman seseorang dari apa yang kelihatan, maka kita sedang melakukan hal yang sia-sia. Berdoa dengan iman untuk adanya mujizat adalah sesuatu yang benar dan tetap harus dilakukan, dengan tidak menaruh pengharapan kepada hal-hal yang kelihatan. Lagipula pada saat tidak ada jawaban yang terlihat dari doa yang penuh iman, justru perkara yang kekallah yang sedang ditawarkan oleh Allah sebagai jawaban atas doa itu.
Kesimpulannya: Berdoalah seperti orang karismatik yang Calvinis.
Melucuti Keagamaan (Sebuah Refleksi Otokritik) - bag 2
"Form follow function" adalah sebuah istilah dalam dunia arsitektur yang menyatakan berakhirnya era2 simbolis dalam dunia arsitektur. "Function" menentukan "form" bangunan yang dibuat. Itu sebabnya bangunan2 modern saat ini begitu telanjang, netral, miskin simbol dan makna. Desain arsitektur hotel, gedung perkantoran, pusat perbelanjaan saat ini tidaklah berbeda secara signifikan antara Indonesia, Afrika Selatan, Amerika, dll. Ada usaha dalam dunia pendidikan arsitektur untuk melawan arus fungsionalisasi ini, agar rancangan yang dihasilkan tidak hanya bersifat fungsional saja, namun ada unsur simbolisnya. Namun "simple is beautiful" dan "cheap". Jadi bangunan yang fungsional akan cenderung lebih murah daripada bangunan yang dibebani dengan unsur2 simbolis. Jadi bagaimanapun juga arus 'form follow function' ini adalah jawaban bagi dunia modern.
Begitu juga dengan kekristenan kontemporer. Lepas dari kemiskinan2 liturgis dan tradisi, kekristenan kontemporer menjadi jawaban bagi generasi yang lahir dalam era 'form follow function'. Kosongnya gereja2 tradisional di Eropa dan sering 'jajan'nya anggota jemaat gereja tradisional ke kharismatik merupakan suatu pertanda bahwa kekayaan selebrasi dan liturgi gereja tradisional mengalami nasib yang sama dengan kekayaan simbolisasi pada bangunan-bangunan tua. Nasib kedua peninggalan sejarah ini sama: dikagumi, dipelajari, berusaha dipertahankan, namun tidak lagi menjawab kebutuhan manusia modern (baca: generasi muda).
Kekristenan kontemporer menawarkan 'fungsionalitas' dari iman kekristenan tanpa dibebani oleh simbolisme2 yang rumit. Tawaran ini tentu saja mendapatkan sambutan yang luar biasa dari generasi 'form follow function' ini. "Alamilah hadirat Tuhan, masuklah langsung ke tempat KudusNya, rasakan jamahan Tuhan pada hatimu", merupakan undangan bagi setiap orang yang mau datang. Mengapa harus mempelajari dan melakukan liturgi dan selebrasi yang rumit2 kalau kita bisa langsung menghadap ke hadiratNya dan merasakan jamahanNya? Apakah jika kita akan menemui ayah kita yang kita kasihi dan mengasihi kita, harus dengan protokoler/ liturgi tertentu? Tentu tidak bukan. Begitu juga dengan Allah.
Kenyataan yang terjadi ialah, generasi ini sungguh2 menemukan Allah. Kesederhanaan liturgis dalam ibadah kontemporer justru menjadi faktor pendorong untuk memusatkan perhatian kepada Allah saja, to the point, fungsional. Mereka menjadi orang2 yang bersemangat dalam penginjilan, berkorban, melayani Tuhan dsb. Pertumbuhan gereja yang paling signifikan terjadi dalam kekristenan kontemporer. Gereja2 terbesar di dunia adalah gereja2 semacam ini. Gereja yang memberikan jawaban bagi para "sensitive seekers". Kekristenan kontemporer betul-betul menemukan tempat yang 'pas' di jaman yang menekankan fungsi.
Keuntungan lainnya ialah, kekristenan terlepas dari 'beban budaya' yang selama ini dipikulnya. Beban budaya yang saya maksud adalah bahwa sejarah kekristenan tidak bisa dilepaskan dari budaya bangsa tertentu. Simbolisme2 liturgis yang acap digunakan dalam kekristenan tidaklah netral secara budaya. Orang Islam Indonesia sering mencap kekristenan sebagai 'agama barat'. Liturgika kristen merujuk pada peninggalan2 budaya Romawi dan Yahudi. Pada waktu liturgi ini disingkirkan, beban budayapun ikut tersingkir. Ibadah kontemporer menjadi netral, ringan, bisa diikuti oleh siapapun dari latar belakang non kristen sekalipun. Saya bisa menghadiri ibadah gereja kontemporer dari negara dan denominasi manapun tanpa penyesuaian yang berarti. Ibadah kontemporer bisa menjadi ibadah lintas budaya, fungsional. Namun tentu saja bagi orang-orang yang terbiasa dengan ibadah yang liturgis, ibadah kontemporer semacam ini akan menimbulkan'liturgical shock', efek yang sama terjadi pada orang tua generasi 60 an yang masuk ke tempat hiburan jaman sekarang.
Akhirnya nampak bahwa aspek yang merupakan kelebihan/keuntungan dari kekristenan kontemporer dalam sisi yang berbeda juga menjadi kekurangannya. Kemudahan dan ringannya liturgi kontemporer di sisi lain menciptakan kecenderungan dangkalnya pemahaman teologis pada jemaat. Kekristenan kontemporer harus mulai menyadari hal ini, sebelum dimasa depan akan lahir sebuah generasi yang 'bertuhan', tapi sama sekali tidak 'beragama' dengan cara yang kita kenal sekarang ini. Kekristenan tradisional telah melampaui masa-masa jayanya, kekristenan kontemporerpun mungkin akan mengalami nasib yang sama di kemudian hari, tapi dengan wujud yang lebih buruk karena tidak memiliki warisan kekayaan budaya. Sama dengan nasib bangunan tua. Bangunan tua yang masih memiliki kekayaan sejarah dalam rupa ukiran dan simbol-simbol masih akan cenderung dipertahankan dan dirawat sebagai peninggalan sejarah, meskipun tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Kalau bangunan2 modern? Jika bangunan tersebut sudah tidak dapat berfungsi lagi, pasti akan diruntuhkan dan diganti dengan yang baru.
MANUSIA (TIDAK) MEMBUTUHKAN AGAMA?
Pada dasarnya sikap menolak keagamawian hanya akan cenderung menciptakan sebuah keagamaan yang baru. Bagaimanapun bebasnya, kekristenan kontemporer saat ini makin jelas nampak sebagai sebuah 'agama' baru. Liturginya makin hari makin bisa diterka, kecuali pada kasus-kasus khusus dimana Roh Kudus bekerja dengan luar biasa. Agama ternyata tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Manusia membutuhkan keagamaan (religiousity) untuk berhubungan dengan Tuhan. Mengapa manusia harus berdoa? Karena manusiamemerlukan doa. Mengapa manusia harus beribadah? Karena manusia memerlukanibadah. Mengapa manusia harus beragama? Karena manusia memerlukan agama.
Sebuah kehidupan rohani tidak bisa bertumbuh wajar tanpa ritual agamawi. Saat teduh dalam doa pribadi dan pembacaan Alkitab, mezbah keluarga, bersekutu di Gereja, dll, semua ritual itu harus dilakukan dengan disiplin tinggi. Tanpa disiplin agamawi semacam ini, kaum karismatik hanya akan menggunakan/mengandalkan 'jamahan Roh Kudus' sebagai candu yang membuat perasaan bergairah pada satu waktu dan kemudian pudar beberapa hari kemudian. Efek 'hadirat/kemuliaan Allah' secara emosional akan memudar dengan berjalannya waktu. Jika orang Kristen hanya mengandalkan "pengalaman di bukit" (Mat 17:1-4) dan melompat kian kemari, pergi ke KKR demi KKR atau konser-konser musik hanya supaya bisa mengalami perasaan bergairah yang sangat dibutuhkannya itu, maka orang semacam ini tidak lebih dari seorang pecandu narkoba spiritual.Pecandu-pencandu semacam ini biasanya juga sangat mempercayai nubuatan-nubuatan yang menjanjikan kekayaan, kemuliaan, kekuasaan tanpa diimbangi dengan berita tentang salib dan penyangkalan diri. Secara usia kekristenan mereka mestinya menjadi pengajar, tapi justru mereka minta susu terus setiap hari, sebuah keterbelakangan rohani (spiritual retardation) yang menyedihkan!
Namun keagamaan juga memiliki kecenderungan untuk menjadi batu sandungan. Batu sandungan yang dimaksud adalah pada waktu orang puas dengan keagamaannya, dia akan berhenti menjadi garam dan terang. Keagamaan cenderung membawa orang pada rasa benar diri, rasa lebih dekat pada Tuhan. Kedekatan denganTuhan kemudian diselewengkan oleh kemanusiaan kita yang telah jatuh ini menjadi sebuah bentuk kesombongan spiritual. Kesombongan spiritual akhirnya membawa kita kepada kemunafikan, dosa yang sangat dibenci oleh Yesus. "Orangkristen itu munafik", betapa seringnya ucapan ini saya dengar saat saya mencoba untuk memberitakan Injil kepada orang non Kristen. Saya berpikir mungkin mereka benar.
Oleh karena itu keagamaan haruslah ditempatkan dalam posisi yang sebenarnya, yaitu sebagai media/jembatan yang kita gunakan secara pribadi untukberhubungan dengan Allah. Manusia membutuhkan agama untuk berhubungan denganAllah yang adalah Roh, sekaligus untuk memelihara kehidupan rohani, tapi manusia tidak membutuhkan agama untuk berhubungan dengan orang lain. Keagamaan menempati posisi yang paling pribadi dalam kerohanian kita, sementara kasih yang diwujudkan dalam tindakan adalah "agama permukaan" kita pada saat kita berinteraksi dengan manusia lainnya. Penerimaan, penghiburan, dukungan, kesetiaan, kasih tanpa syarat, hal-hal semacam inilah yang harus nampak dari luar, bukannya keagamawian.
Dalam surat Galatia, Rasul Paulus secara mengejutkan menyamakan tindakan "hidup dalam Roh" dan "menabur dalam Roh" dengan tindakan memimpin orang lain dengan lemah lembut, dengan menanggung beban satu sama lain, dengan memberkati pemberita Firman, dengan berbuat baik kepada semua orang, sebuah tindakan kasih yang praktikal (Gal 6:1-10), sambil pada saat yang sama menyamakan tindakan agamawi yang kelihatan dari luar sebagai keduniawian.
Orang kristen karismatik harus menyadari bahwa hidup dalam Roh tidak pernah berarti hidup dalam perasaan melayang-layang, atau hidup 'sakti', kaya dan berkuasa karena urapan Roh Kudus. Hidup dipimpin oleh Roh adalah hidup praktis yang mencerminkan kasih Allah kepada manusia. Hidup berkemenangan dan berkelimpahan oleh Roh Kudus tidaklah ditandai oleh seberapa banyak yang kita miliki, tapi seberapa banyak orang yang menerima berkat dari kehidupan kita. Dengan sudut pandang seperti ini, justru orang-orang Kristen yang menang dalam penderitaanlah yang sebetulnya berkemenangan dan berkelimpahan, karena kisah-kisah mereka selalu menguatkan hati semua orang percaya. Tidak banyak penghiburan sejati yang bisa didapatkan melalui orang Kristen yang kaya raya dan berkuasa bagai raja di dunia ini.
Melucuti keagamaan melalui kontemporerisasi bukanlah jalan keluar, melainkan hanya membuat sebuah agama baru yang justru tidak memiliki masa depan. Karismatik atau bukan, orang disekitar kita tidak peduli seberapa banyak pengalaman agamawi dan pengetahuan kita, sampai mereka tahu dan mengalami seberapa banyak kita peduli. Mari kita semua berjuang agar keagamaan kita menjadi sebuah benih, tertanam di dalam, tidak terlihat, tapi menghasilkan pohon yang buahnya manis dan memberkati semua orang.
Melucuti Keagamaan (Sebuah Refleksi Otokritik) - bag 1
Saya menulis ini sebagai orang yang berada di "garis depan" dalam pelayanan kristen kharismatik 'kontemporer'. Saya bergerak di bidang kepemudaan, pernah terlibat sebagai pemusik yang beberapa kali mengiringi artis2 Kristen Kontemporer di Indonesia. Saya mengenal secara pribadi beberapa dari 'selebritis rohani' ini. Namun selalu ada sebuah keprihatinan yang muncul dalam diri saya berkenaan dengan kekristenan kontemporer. Sebuah keprihatinan yang muncul karena makin jelasnya gejala2 'melucuti keagamaan', dan saya membuat tulisan ini sebagai semacam peringatan bagi diri sendiri. Tulisan ini saya buat November 2002.
BANGKITNYA KEKRISTENAN KONTEMPORER
Waktu saya bertobat dulu, saya diajarkan bahwa 'spirit of religiousity' adalah racun bagi kekristenan. Kami diajarkan bahwa kekristenan sebenarnya bukanlah agama, tapi sebuah gaya hidup atau kehidupan itu sendiri. Kekristenan haruslah merasuk di setiap sendi kehidupan, mewarnai setiap keputusan, tuturkata, tingkah laku, pendeknya segala hal dalam kehidupan. "Agama" Kristen sendiri, adalah sebuah "pengganti" bagi kekristenan yang sesungguhnya. "Kehidupan kristen" diganti dengan aksi-aksi agamawi seminggu sekali di gereja. Mereka yang begitu agamawi (religious) di gereja menjadi orang2 yang duniawi waktu diluar gereja, termasuk para pendetanya. Sebab itu saya diajar untuk tidak memandang kekristenan sebagai 'agama'. Saya sampai sekarang tidak pernah menggunakan frasa 'agama Kristen' dalam tulisan maupun percakapan, melainkan 'kekristenan'. Roh Keagamawian (spirit of religiousity) harus dilawan dan digantikan dengan 'real life' yaitu kekristenan yang menyeluruh.
Sebagai akibat pengajaran ini muncullah gelombang pertobatan anak-anak muda yang dulunya alergi terhadap gereja (tradisional) dan agama. Mereka mau menyerahkan hidup mereka pada Kristus setelah mereka tahu bahwa kekristenan menawarkan lebih dari sekadar agama. Saya kemudian melihat bahwa hal ini terjadi khususnya pertama-tama di kalangan kharismatik. Sementara gelombang baru ini muncul, gereja2 "tua" masih tetap dalam keadaan mereka. Sebagai contoh, penggunaan alat musik di gereja masih sangat dibatasi. Sementara lengkingan efek distortion pada gitar elektrik sudah masuk di gereja kharismatik, gereja2 yang lain masih menggunakan piano atau organ saja. Sementara kebaktian kharismatik menjadi begitu 'hidup', bebas dan unpredictable, gereja2 tradisional masih bertahan pada liturgi baku yang rumit dan predictable.
Kontemporerisasi ini terjadi tanpa bisa dibendung, bukan saja pertobatan dari pemuda2 non kristen, gereja2 arus utama pun kehilangan banyak anak muda karena anak2 ini ditarik oleh gerakan kontemporer ini. (Saya dulu kuliah diUK Petra dan justru hambatan utama dalam kegiatan publikasi kegiatan kami adalah dari Bidang Kerohanian UK Petra sendiri. Selidik punya selidik ternyata mereka sakit hati karena sebagian besar dari mahasiswa binaan mereka ternyata 'pindah' ke gerakan kami, yang tentu saja menurut mereka 'sesat').
Makin lama kekristenan ditampilkan secara modern, tidak ada lagi perbedaan sikap antara berada di gedung gereja dan di luar gedung gereja. Kebaktian berjalan dengan meriah, penuh dengan sorak sorai, suitan, tepuk tangan, tarian, tawa dan tangis. Alunan musik dengan irama jazz, bosanova, funk, rock, disko, dll mengalir dengan bebas melalui sound system berkekuatan puluhan ribu watt. Pendeta yang berkotbah boleh memakai jas, boleh melepas jas, boleh berada di belakang mimbar selama kotbah atau berjalan-jalan disekitar jemaat waktu berkotbah (menggunakan wireless mic). Konser-konser musik kristen diadakan, dengan jenis musik, tata lampu dan sound system yang tidak berbeda dengan konser-konser musik sekuler.
Gedung-gedung gereja pun menjadi modern, minim simbol-simbol keagamaan. Lambang salibpun paling cuman satu, yaitu (biasanya) menempel di mimbar. Dari luar dan dalam bangunan ini sama sekali tidak menyerupai gereja, ada yang seperti stadion (seperti gedung Bethany Nginden) atau seperti restoran (seperti gereja saya, he..he..). Jadi kalau banner2 atau simbol2 yang menempel di dinding dan mimbarnya disingkirkan, gereja semacam ini sudah bisa dipakai sebagai convention center oleh MUI misalnya... :-)
Gerakan ini begitu pragmatis, tidak memiliki tabu sebanyak rekan mereka yang lebih tua. Gedung bioskop, bahkan diskotik sekalipun, bisa dijadikan tempat ibadah. Waktu gereja saya belum memiliki gedung sendiri, kami berbakti di sebuah gedung bioskop di Surabaya, lalu pindah ke restoran, dll. Liturgi2 yang rumit disederhanakan, tidak ada liturgi pengakuan iman, doa syafaat, dll seperti yang ada di gereja2 protestan. Tradisi2 yang masih dipertahankan hanyalah yang tertulis di Alkitab, seperti perjamuan Kudus, Baptisan air, penyerahan anak, dll. Sedangkan tradisi liturgis yang berasal dari sejarah gereja (yang biasanya kaya dengan simbol-simbol) hampir tidak dikenal.
Dengan dihilangkannya simbol-simbol keagamaan, maka dari pengamatan luar, kekristenan seperti ini mirip dengan dunia luar. Mulai dari potongan rambut, merek baju, dll, orang Kristen jenis ini bebas memilih sebebas orang dunia. Namun hati dan hidup mereka sepenuhnya mengasihi Tuhan, kebebasan mereka hanya dibatasi oleh kasih mereka kepada Tuhan. Jadi mereka tidak akan melakukan hal-hal yang menyakitkan hati Tuhan. Orang-orang seperti ini melepaskan segala belenggu, baik belenggu adiktif (mis. rokok), maupun belenggu keagamaan, seperti larangan ini dan itu. Kasih kepada Allah menjadi tolok ukurnya. Apapun yang baik dan benar mereka mau menjalankannya karena mereka mengasihi Allah bukan karena adanya peraturan.
EKSTRIMITAS KEKRISTENAN KONTEMPORER
Kekristenan kontemporer akhirnya menemukan jebakan-jebakannya. Beralih dari menggeluti simbol-simbol keagamaan yang mereka coba hindari, mereka terjebak menggeluti kecanggihan penampilan mereka. Berapa album yang sudah dikeluarkan, apa merek keyboard yang digunakan, speaker tipe apa yang paling enak suaranya, dst..dst. Tidak heran salah satu konsumen perlengkapan soundsystem yang paling prospektif adalah gereja. Dana yang dihabiskan untuk sound system dan peralatan musik bisa mencapai ratusan juta, bahkan milyaran rupiah. Cobalah anda masuk ke sebuah toko peralatan musik dan sound system dan coba bilang Anda dari "gereja", besar kemungkinan mereka akan langsung melayani Anda dengan semangat. Publikasi dibuat dengan dana besar, masuk koran, radio, tidak lupa dengan iming2 doorprize dan penampilan artis2 bintang tamu yang 'top abis'.
Selain itu beberapa hamba2 Tuhan yang merangkap artis2 kristen menampilkan diri mereka dengan anting2, ada yang mentato tubuhnya. Mereka memanjangkan dan mewarna rambut mereka, tidur dini hari, bangun siang hari, hobinya bermain PStation, dll.
KKR2 yang disertai dengan konser musik diwarnai dengan hingar bingar teriakan penonton kepada artis pujaan mereka. Sehabis konser pastilah artis2 tsb dikerumuni orang-orang yang berdesakan untuk meminta tanda tangan mereka. (Jelek-jelek begini saya pernah dimintai tanda tangan lho....) Kadang-kadang waktu saya di atas panggung hati ini rasanya perih, mencoba menilai apakah mereka sedang bersorak memuji Tuhan atau bersorak karena mengagumi kami. Live concert demi live concert diadakan, direkam dan dikemas begitu rupa, menghasilkan keuntungan penjualan yang luar biasa. Di Amerika"bisnis Kristen" semacam ini menghasilkan keuntungan jutaan dolar pertahun. Artis2 Kristen berebut tempat dengan Britney Spears dan F4 dihati para penggemar yang dengan setia mengkoleksi album2 mereka.
Para artis ini menjadi pengkotbah2 yang sangat dinantikan oleh ribuan anak muda. Beberapa dari mereka tidaklah mengenyam pendidikan teologi formal samasekali. Pengetahuan teologi mereka dapatkan dari buku2, dari kotbah2 yang mereka dengar pada waktu mereka menjadi bintang tamu dan dari pengalaman mereka. Namun mereka juga tidak berkotbah secara teologis karena yang ditekankan adalah mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa, sebuah kotbah yang sangat mudah dicerna anak muda. Sering kasih kepada Tuhan digambarkan/disamakan dengan cinta muda-mudi agar mudah dicerna. Jadinya anak muda yang mendapatkan pengajaran ini benar-benar cinta kepada Tuhan seperti pada pacarnya. Pokoknya cinta Tuhan, lakukan apapun yang Tuhan mau, titik.
Sementara itu bentuk-bentuk keagamaan historis betul-betul tidak mendapat tempat dalam kekristenan kontemporer ini. Jangankan melakukan kredo iman, kata 'kredo' saja mungkin mereka tidak pernah mendengarnya. Predestinasi, Armenianisme, Calvinisme, Institutio, Katekismus Heidelberg, dll adalahbarang asing bagi generasi kontemporer ini. Simbol-simbol agamawi sama sekali tidak mendapat tempat dalam ibadah, apalagi dalam kehidupan sehari-hari. Generasi kontemporer ini betul-betul menjauhkan segala bentuk keagamawian dalam kehidupan mereka, bagi mereka simbol tidaklah penting, yang penting adalah hal2 rohani atau kebenaran ilahi yang diwakili oleh simbol2 itu.
Hal-hal keagamaan atau 'keagamawian' dari kekristenan betul-betul dilucuti, sehingga "tinggal Allah saja yang ada". "Oleh pengorbanan Yesus kita telah memperoleh jalan masuk langsung ke hadirat Allah", adalah ungkapan yang sudah tertanam dalam hati, sehingga tidak lagi diperlukan simbol-simbol ataupun liturgi-liturgi yang kaku dan 'kuno' itu. Hati mereka bersukacita dalam kebebasan untuk menikmati hadirat Tuhan tanpa harus menjalani peraturan2 tertentu dalam beribadah. Jadi bukan hal yang asing kalau pemimpin pujian berteriak dari atas panggung: "Yesus kita memang oke bangeet maaan....yessss!". Lagu-lagu seperti: "Hormat bagi Allah Bapa, Hormat bagi AnakNya..." sudah hilang dan diganti dengan: "Kekasihku, ku datang tanpa rasa ragu..." Lagu-lagu dari Kidung Jemaat? Eh, Kidung Jemaat itu apa sih?, itulah yang akan mereka tanyakan. Lagu-lagu live concert dari Hillsong, Hosanna Music atau GMB menjadi kiblat dari gerakan Kristen Kontemporer ini. Eh, sekadar info ya, kalau anda pernah mendengar lagu kristen kontemporer yang sangat terkenal "Sekarang tlah tiba, keslamatan dan kuasa, dan pemrintahan Allah kita....ref. Oleh darah Anak Domba, Oleh kesaksian kita...", nah lagu itu diciptakan waktu sedang beol di WC, boleh percaya boleh tidak.
Anak-anak muda betul-betul mendapatkan sebuah 'agama alternatif' yang betul-betul cocok dengan jiwa mereka. Malah sekarang sudah mulai berkembang gerakan 'home churches'/gereja rumah. Pada dasarnya gerakan ini berkata begini: "Kalau aspirasi kalian (anak muda) tidak bisa ditampung dengan baik di gerejamu, kalian buatlah gereja sendiri, gereja rumah. Jumlah jemaat tidak perlu banyak. Dengan demikian setiap kalian akan bisa melatih diri dan berkembang menjadi pemimpin2 rohani." Beberapa waktu lalu di Surabaya diadakan semacam 'sekolah Teologi kilat' selama lima hari penuh. Materi yang diajarkan? Menggali dan mengembangkan karunia lima jawatan pelayanan. Tujuannya? Memperlengkapi anak muda agar bisa berfungsi dalam lima karunia itu, sehingga mereka masing-masing bisa bertumbuh di gereja rumah masing-masing. Ada sebuah gereja rumah di Surabaya yang gembalanya saya kenal. Jemaatnya hanya sekitar 15 orang, setiap Minggu mereka berkumpul di rumah salah seorang dari mereka, "memecahkan roti" alias makan sama-sama, saling sharing Firman lalu kemudian pergi jalan2, berusaha semirip mungkin dengan jemaat PB yang memang beribadah di rumah2.
- bersambung -
Wednesday, December 28, 2005
There's always a first time for everything
Kurasa sekaranglah waktunya, didorong oleh waktu luang yang begitu banyak di akhir 2005, aku akhirnya melangkah untuk membuat my personal blog, he..he... Mungkin dengan begini aku punya jalan untuk menuangkan apapun yang ada dipikiranku. Tapi dengan satu keraguan...apakah ini tempat yang tepat?
Yah, there's always a first time for everything. Mungkin ini sebuah langkah pertama menuju masa depan yang masih tidak kuketahui. Entahlah. Bagi Anda yang menerima undanganku untuk berkunjung ke sini atau yang menemukannya secara kebetulan, selamat datang. Semoga apa yang tertuang di sini dapat membuka wawasan dan memberkati kehidupan Anda.