Mereka membangkitkan cemburu-Ku dengan yang bukan Allah, mereka menimbulkan sakit hati-Ku dengan berhala mereka…Ul 32:21
Jika membaca Perjanjian Lama, kita akan melihat bagaimana bangsa Israel berulang kali menyakiti Allah dengan menyembah berhala. Sejak pembebasan dari perbudakan Mesir di bawah pimpinan Musa, generasi demi generasi bangsa Israel terus mengalami jatuh bangun antara setia kepada Allah dan penyembahan berhala. Penyembahan berhala berlaku seperti sebuah ‘penyakit turunan’, yang terus saja menimbulkan cemburu dan sakit hati Allah yang begitu hebat. Satu generasi berlalu, dan penyakit ini sepertinya punah, tapi pada generasi selanjutnya kambuh lagi, begitu terus berulang-ulang. Sampai pada satu titik Allah sepertinya berkata, “Cukup!” dan Ia bersabda “…Aku akan melemparkan kamu dari negeri ini ke negeri yang tidak dikenal oleh kamu ataupun oleh nenek moyangmu. Di sana kamu akan beribadah kepada allah lain siang malam, sebab Aku tidak akan menaruh kasihan lagi kepadamu.” (Yer 16:13) Dalam murka-Nya, Allah memutuskan untuk membuang umat pilihan-Nya sendiri kembali ke dalam perbudakan, dan sejak itu Israel terus menerus menjadi bangsa jajahan selama berabad-abad. Sejarah panjang bangsa Israel tersebut menunjuk pada satu hal, bahwa penyembahan berhala berakar pada hati manusia yang tercemar oleh dosa, bukan oleh pengaruh luar. Penyembahan berhala sebenarnya bukan soal ritual belaka, tapi bersumber dari hati manusia yang cenderung memberontak. Dan kalau memang sumbernya dari hati, pastilah terjadi sampai saat ini.
Saat ini orang kristen abad 21 sudah tidak mungkin lagi dibujuk untuk sujud menyembah patung berhala sebagaimana umat Allah 2500 tahun yang lalu. Tetapi saya mencermati bahwa penyembahan berhala masih sangat mungkin terjadi di dalam hati orang percaya dalam bentuknya yang paling halus: memberhalakan Yesus. Beberapa tahun silam saya malah sempat melihat beberapa orang mengenakan kaus bertuliskan “Jesus – My Idol”. Lepas dari pemikiran dangkal si perancang kaus, ungkapan “Yesus Berhalaku” saya kira dianut oleh jauh lebih banyak orang Kristen, lebih dari yang kita duga.
Esensi dari penyembahan berhala adalah sebuah hubungan yang bersifat transaksional. Mari kita lihat sebuah contoh berhala yang terkenal: Baal. Berhala yang berulang kali disembah oleh bangsa Israel ini dipercaya memberikan kesuburan bagi tanah para petani. Agar tanahnya subur, para petani memberikan sesaji dan melakukan ritual-ritual tertentu. Sebagai gantinya, Baal akan membalas semua bakti tersebut dengan memberikan apa yang paling diinginkan yaitu kesuburan tanah dan hasil bumi yang berlimpah. Hubungan umat & Baal hanya sesederhana itu: umat memberi persembahan plus ritual, Baal memberkati. Beres, singkat, sederhana. Untuk urusan di luar kesuburan, umat kemudian menyembah dewa lain, yang ‘spesialis’ menangani urusan yang diperlukan. Berhala tidak menuntut banyak, asal semua syarat dan ritual terpenuhi, umat boleh melanjutkan dan mengatur hidup mereka sendiri sesukanya. Dengan semua kemudahan ini, tidak heran penyembahan sejati terhadap Allah Yahwe terlihat begitu rumit dan menuntut terlalu banyak, sehingga membuat Israel terus menerus berpaling kepada berhala-berhala lain.
Berbeda dengan penyembahan berhala, hubungan Allah dan umat-Nya tidaklah transaksional. Relasi dengan Allah bersifat mengikat, bahkan dilambangkan secara langsung dengan relasi antar suami istri. Menyembah Allah menuntut penyerahan diri secara total, dimana tidak ada bagian sekecil apapun dari kehidupan kita yang boleh kita miliki di luar kehendak-Nya. Sementara sebuah berhala membolehkan umatnya untuk menyembah berhala lain selain dirinya, Allah berlaku seperti seorang suami yang pencemburu, sedikitpun tidak mengijinkan ‘istri’ Nya mengabdi kepada allah lain.
Dalam pemahaman ini, saya melihat bahwa ada banyak orang kristen yang memberhalakan Kristus, bukan menempatkan Dia sebagai Tuhan. Mereka menjaga jarak dengan Kristus, membatasi hubungan dalam tataran transaksional saja. Berusaha sedapatnya untuk tidak menyakiti hati Kristus, orang kristen memberi persembahan dan melakukan ritual tertentu untuk menyenangkan hati-Nya, sembari tetap mempertahankan beberapa bagian hidup yang boleh mereka atur sendiri. Karena kebaikan dan kesetiaan-Nya, Yesus tetap memberkati setiap orang Kristen, betapapun hati-Nya sebenarnya merindukan hubungan yang jauh lebih intim. Yesus tidak ingin dijadikan sebagai berhala, Ia telah memberikan seluruh hidup-Nya agar dapat memperoleh seluruh hidup kita.
Mari kita menyerahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan Yesus, sebagaimana seorang istri mengikat janji setia sehidup semati dengan seorang suami. Tidak ada bagian sekecil apapun dari waktu, fokus, perhatian, cinta kita yang boleh kita alihkan dari pengabdian kepada keTuhanan Kristus. Sebagaimana sukacita dalam pernikahan yang harmonis, terlebih besar sukacita pada saat kita benar-benar menempatkan Yesus sebagai Tuhan dalam hidup kita.
No comments:
Post a Comment