Sebuah tulisan apik yang membuat saya meneteskan air mata perih...
AL
-------------------
Dari Dahulu Begitulah Cina, Deritanya Tiada henti
Kurnia Harta Winata
Ahok
begini, Ahok begitu…
Sudah Cina, Kristen pula…
Sudah Kristen, Cina pula…
Sebenarnya
isu paling ramai adalah kekristenan Ahok, tapi yang diangkat cukup sederhana.
Muslim, sebagai mayoritas dilarang memilih pemimpin di luar agamanya.
Jadi
untuk masyarakat kristiani yang hanya ingin hidup santai damai sebagai warga
Indonesia, isu ini tidak terlalu menohok (walau saya tidak menampik isu ini bisa
berkembang lebih besar dan mengancam ketentraman nantinya).
Nah,
untuk isu Cina ini yang lebih mengerikan.
“Dosa-dosa”
keturunan Cina di Indonesia diungkit-ungkit, dibedah, seolah-olah berkulit
kuning dan bermata sipit adalah tanda seorang penjahat. Dengan pengobaran
sentimen semacam ini, seolah bangsa Indonesia diingatkan bahwa keturunan Cina
bukanlah bagian dari mereka.
Kebencian
disulut kembali. Prasangka, kecemburuan semu, dan dendam olahan disebarkan
dalam masyarakat. Isu ini tidak hanya mengakibatkan Ahok saja yang ditatap
dalam tuduhan, tapi seluruh keturunan Cina di Indonesia. Atau tepatnya, semua
yang tampak dan mirip keturunan Cina. Itulah
sebabnya saya selalu tak suka bila ada keturunan Cina maju ke pentas politik.
Kampanye negatif yang (pasti) digencarkan musuh politiknya bukan hanya
mengincar ia sebagai pribadi, tapi juga semua keturunan Cina di Indonesia.
Apa
daya, kesipitan mata dan kekuningan kulit tidak selalu dapat disembunyikan oleh
logat medok saya.
Tapi
tentu saja Ahok berhak maju dalam pentas politik.
Ketika
saya berpandangan bahwa semua warga negara Indonesia adalah sama haknya di
depan hukum, maka saya akan mengkhianati diri saya sendiri jika melarang Ahok
maju sebagai calon wakil gubernur. Ahok, atau Basuki Purnama adalah pendamping
Joko Widodo (Jokowi) dalam perebutan kursi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI
Jakarta yang diajukan PDIP dan Gerindra.
Pasangan
ini menantang calon kuat yang telah menjadi Gubernur periode sebelumnya, Foke. Dalam
pemahaman masyarakat, Foke memiliki citra pemimpin yang arogan dan haus
kekuasaan. Ia dekat dan tampak memelihara dua ormas yang sering membuat
kekacauan, FPI (Front Pembela Islam) dan FBR (Forum Betawi Rempug). Jadi yang
terlihat adalah, Foke memelihara kekuasaannya bukan dengan prestasi yang ia toreh,
melainkan dengan memiliki pasukan non formal yang siap mengacak-acak pihak-pihak
yang berseberangan dengannya.
Bolehlah
ia disebut pihak status quo.
Sebaliknya,
Jokowi dan Ahok maju berdasar pencapaian yang telah mereka toreh selama
memimpin daerahnya masing-masing. Pasangan ini digambarkan sebagai harapan
rakyat kecil yang mendamba perubahan dan muak dengan kepemimpinan selama ini.
Lalu
apa sih sebenarnya dosa-dosa yang dituduhkan pada warga keturunan Cina? Apa sih
yang ditakutkan oleh para sinophobia, orang-orang yang ketakutan dengan segala
sesuatu yang berhubungan dengan Cina ?
Ekonomi!
Keturunan Cina menguasai perekonomian Indonesia! Mereka menghisap kekayaan
pribumi sampai habis, lalu melarikannya ke luar negeri.
Nasionalisme!
Mereka tidak peduli terhadap bangsa Indonesia, hanya loyal terhadap tanah
leluhur di daratan Cina sana. Sebagai bukti kita bisa lihat kewarganegaraan
mereka, banyak yang tidak berwarganegara Indonesia. Masih saja
mengagung-agungkan bangsa leluhur di daratan Cina sana.
Selama
penjajahan, mereka juga memihak pada Kompeni sehingga diberi kasta di atas
pribumi.
Eksklusif,
tidak mau berbaur. Mereka sendiri yang tidak merasa jadi bagian dari Indonesia.
Yang dipikiran mereka hanya uang. Coba
tengok, mana ada orang Cina di desa-desa. Memacul tanah dan bergelut dengan
tahi kerbau.
Mereka
hanya berkumpul di kota-kota besar dan bergaul dengan sesamanya saja.
Kalau
tidak, kenapa sampai ada pecinan segala?!
Indonesia
tidak butuh penduduk seperti mereka!
Selamatkan
pribumi dengan mengusir mereka!
Makmurkan
bangsa asli dengan membantai mereka!
Bagaimana
keturunan Cina bisa menjadi hantu yang begitu mengerikan bagi pribumi ?
Pernahkah
Anda menanyakan hal ini sebelumnya ?
Untuk
mengetahuinya mari kita mundur ke masa lalu. Bukan dengan mesin waktu Doraemon,
tapi dengan sedikit ingatan, beberapa buku, fasilitas pencarian google, dan
semangat untuk memahami ruwetnya sejarah.
Mari
kita tarik tuas mesin waktu kita menuju pembantaian etnis Cina terdekat!
Wuuut…!
***
Tanggal
13-14 Mei 1998, kota Jakarta membara saat presiden yang berkuasa, Soeharto,
sedang melawat ke Mesir. Toko-toko dijarah dan dibakar.
Esoknya
kerusuhan ini sudah menjalar ke Surakarta. Di kota itu dan kota-kota lain,
beberapa menempelkan tulisan “Pribumi Muslim” di pintu tokonya yang tertutup
rapat.
Kerusuhan
ini memang mengincar warga keturunan Tionghoa. Toko-toko dan rumah mereka
dijarah. Bukan hanya uang atau barang mewah saja yang diambil, beberapa
kesaksian menyatakan bahkan sendok dan pakaian pun ludes tak bersisa. Itu
termasuk beruntung, karena beberapa toko tidak hanya dijarah tapi juga dibakar.
Perempuan-perempuan
keturunan Cina, atau yang tampak seperti Cina ditarik ke jalanan lalu diperkosa
secara massal.
Saat
itu, tidak tampak gerakan dari aparat keamanan untuk menghentikan kerusuhan
yang terjadi. Saat itu memang terjadi huru-hara di mana-mana. Masyarakat resah.
Krisis moneter memukul mereka. Inflasi merajalela, harga-harga membumbung
tinggi.
Tuntutan
penggulingan presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama lebih dari 30 tahun
digerakkan oleh mahasiswa. Kelangsungan rezim terancam. Demo yang semula kecil
jadi membesar tak terkendali. Boneka dan foto Soeharto dibakar. Tokoh yang
selama ini begitu ditakuti, namanya diteriakkan di jalan-jalan. "Gantung
anjing Soeharto" jadi frasa yang dipekikkan penuh kebanggaan.
Etnis
Cina dituduh sebagai pihak yang mengakibatkan krisis moneter karena konon
merekalah yang menguasai perekonomian Indonesia. Memang saat itu beberapa
pengusaha keturunan Cina menjadi raksasa konglomerasi. Mereka mendapat banyak fasilitas
dan hak monopoli yang diberikan oleh rezim Soeharto. Sebagai gantinya, Soeharto
meminta balas budi mereka saat merasa membutuhkan. Terutama melalui jaringan
keluarganya, atau yang sering disebut keluarga Cendana.
Tanggal
21 Mei, Soeharto mengundurkan diri. Orde baru berganti menjadi orde reformasi.
Dua
tahun setelah itu, Gus Dur selaku presiden berlaku yang terpilih mengeluarkan
Keppres no: 6/2000. Kepres ini berisi pencabutan terhadap Inpres no:14/1967
yang berisi pelarangan tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat Cina.
Sejak itu berbagai aturan yang bersikap diskriminatif dicabut. Masyarakat
keturunan Cina diperbolehkan kembali untuk merayakan upacara dan adat istiadat
secara terbuka.
Tapi
darimana sumber segala pelarangan terhadap budaya Cina ini ? Karena Cina yang
jadi lintah bagi perekonomian bangsa, Cina yang eksklusif dan tidak mau
berbaur?
Mari
kita tarik tuas mesin waktu kita kembali. Karena kisah kita barusan adalah kisah
pembantaian etnis Cina sekaligus kisah pergantian rezim, maka Anda boleh pilih
pergi ke masa kerusuhan anti-Cina atau ke masa perebutan kekuasaan sebelumnya.
Wuuut…!
***
Apapun
pilihan Anda, ternyata kita kembali ke masa yang sama. Sekitar tahun 1973
-1974. Mirip kejadian tahun 1998, saat itu mahasiswa bergejolak. Muncul ketidakpuasan
terhadap kebijakan perekonomian pemerintah. Pelaksanaan pembangunan dinilai
terlalu memihak pemodal asing, terutama pemodal dari Jepang.
Pengusaha-pengusaha kecil lokal menjadi hancur. Negara terlalu menggantungkan
diri pada IMF dan bank Dunia. Ditambah lagi isu-isu KKN yang dilakukan
lingkaran Soeharto.
Tiba-tiba
tanggal 5 Agustus terjadi penjarahan dan perusakan terhadap toko dan rumah
etnis Cina di Bandung. Aparat keamanan saat itu juga terkesan melakukan
pembiaran, bahkan dikabarkan bahwa ada prajurit terlibat dalam aksi tersebut.
Oktober
1973, para mahasiswa mengeluarkan “Petisi 24 Oktober”. Petisi itu menuntut
pemerintah untuk meninjau kembali strategi pembangunan, juga memprotes adanya
perkosaan hukum, penyelewengan kekuasaan, korupsi, kenaikan harga, dan
sempitnya lapangan pekerjaan.
Beredar
juga desas-desus bahwa ada seorang jenderal yang akan menjatuhkan Presiden
Soeharto. Jenderal yang dimaksud adalah Jenderal Soemitro. Tanggal 14 Januari,
terjadi demonstrasi di kantor Ali Moertopo yang dianggap bersalah terhadap
kekacauan ekonomi yang sedang berlangsung. Aksi mahasiswa ini tidak menemui
rintangan dari Jenderal Soemitro yang mengkoordinasi aparat keamanan saat itu.
Tanggal
15 Januari, demonstrasi besar-besaran dilakukan terhadap Perdana Menteri Jepang
Tanaka yang melakukan kunjungan ke Indonesia. Mereka meneriakkan anti terhadap
barang Jepang yang saat itu membanjir tanpa henti ke Indonesia. Namun aksi ini
berubah menjadi aksi liar yang konon direkayasa oleh kelompok Opsus, bikinan
Ali Moertopo. Massa mulai menjarah dan membakar kendaraan buatan Jepang. Kerusuhan
ini mulai merambat ke daerah Glodok dan Senen. Mereka menjarah dan membakar
toko-toko milik warga keturunan Cina. Lagi-lagi terjadi pembiaran oleh aparat
keamanan.
Akibat
dianggap gagal menjaga keamanan dan ketertiban Jakarta, Sumitro dipecat dari
jabatannya. Ia diberi tawaran untuk menjadi duta besar di Amerika Serikat. Ia
menolak tawaran itu dan meminta pensiunnya dipercepat. Setelahnya terjadi
beberapa mutasi dalam tubuh militer dan pemerintah bertindak lebih represif.
Aksi-aksi menentang kebijakan pemerintah pun akhirnya padam.
Tapi
tunggu, kita masih belum tahu asal muasal pelarangan budaya Cina di Indonesia. Bukankah
tadi kita menarik tuas mesin waktu untuk mencari tahu hal tersebut.
Oke,
langsung saja kita pergi ke jaman saat peraturan tersebut dikeluarkan.
Wuuutt….!
***
Dan
di sinilah kita.
Masa-masa
pergantian dari orde lama ke orde baru yang ditandai dengan peristiwa G30S/PKI
tahun 1965. Dan coba tebak, di masa ini pun kita menemui aksi anti-Cina. Lebih
besar dan lebih mengerikan dari yang sudah kita bahas di atas.
Selepas
peristiwa G30S/PKI, ribuan orang Cina dibantai, dianiaya, dan diusir di berbagai
tempat di Indonesia. Toko-toko dan rumah-rumah dijarah, dirusak, dan dibakar.
Menurut majalah Life, korban tewas mencapai ratusan ribu. Tapi jumlah ini
simpang siur. Ada juga yang menyatakan “hanya” beratus-ratus, atau tidak sampai
melewati angka dua ribu.
Pada
Agustus 1966, diambil sebuah keputusan dalam Seminar Angkatan Darat II untuk
mengganti sebutan Tiong Hoa dan Tiong Kok menjadi Cina. “…untuk menghilangkan
perasaan inferior pada orang kita dan di lain pihak menghapus perasaan superior
pada golongan yang bersangkutan dalam negeri kita, maka adalah tepat untuk
melapor bahwa seminar memutuskan untuk menggunakan lagi sebutan untuk Republik
Rakyat Tiongkok dan warganya “Republik Rakyat Cina” dan “warga negara
Cina”."
Istilah
Cina memang berkonotasi penghinaan. Dahulunya sering digunakan oleh Jepang saat
menginvasi daratan Cina.
Loh,
lha terus dari tadi saya kok pakai kata Cina? Ya sudah, mulai saat ini saya
akan menggunakan kata Tiong Hoa.
Dari
mana kebencian ini berkobar, sampai-sampai perlu mengganti sebutan? Semenakutkan
apakah keturunan Tiong Hoa ini sampai-sampai mereka harus dihancurkan ?
Kita
perlu mundur beberapa langkah untuk melihat keadaan secara lebih luas. Pergantian
orde lama menjadi orde baru bukan sekedar pergantian kekuasaan dalam negeri.
Kita harus sadar bahwa Soekarno sebagai penguasa orde lama adalah penguasa yang
dekat dengan Tiongkok dan Uni Soviet, si raksasa sosialis komunis. Sedang
penguasa orde baru, Soeharto, adalah penguasa yang dekat dengan Amerika Serikat
dan Inggris, si raksasa kapitalis. Pada saat itu, antara dua kubu ini terjadi
perang dingin. Mereka berebut pengaruh di antara negara-negara lain. Termasuk
Indonesia.
Untuk
menumbangkan pengaruh sosialis komunis, agen-agen kapitalis ini selain melakukan
propaganda komunisphobia, juga melakukan propaganda sinophobia. Tiong Hoa
begini, Tiong Kok begitu, pokoknya yang jelek-jelek dan mengerikan.
Dan
saat kekuasaan Soekarno dibungkam, maka pengaruh Amerika Serikat dan Inggris
membanjir masuk ke Indonesia. Akhirnya seperti yang telah diketahui, terjadi
pemutusan hubungan diplomatik antara pemerintah Indonesia dan Republik Rakyat
Tiongkok yang diawali dengan penyerbuan massa terhadap Kedutaan besar RRT di
Jakarta.
Sentimen
anti Tiong Hoa ini juga disambut masyarakat dengan cara menuntut diberlakukannya
kembali PP no. 10 tahun 1959. Pengusaha pribumi ingin merebut perekonomian yang
selama ini dikembangkan oleh pengusaha keturunan Tiong Hoa.
Di
Makassar, walikota mengeluarkan larangan bagi orang Tiong Hoa WNA (Warga Negara
Asing) untuk berdagang sembako di kota tersebut.
Di
Jawa Timur, orang Tiong Hoa WNA dilarang melakukan perdagangan besar di kota
selain Surabaya. Mereka diharuskan membayar pajak per-jiwa, juga dilarang
menggunakan huruf dan bahasa Tiong Hoa di muka umum, di pembukuan, perdagangan,
surat menyurat, bahkan percakapan telepon. Di saat yang sama, mereka dilarang
berpindah domisili keluar dari Jawa Timur. Selain itu juga diperintahkan
penutupan semua kelenteng di Jawa Timur dan Madura.
Di
Jawa Tengah dan DIY, seluruh orang Tiong Hoa WNA diharuskan memasang papan
tanda kebangsaan agar aparat dapat dengan mudah melakukan pengawasan.
Walaupun
peraturan ini berlaku terhadap keturunan Tiong Hoa yang WNA, tapi harus
diketahui bahwa saat itu status kebanyakan warga keturunan Tiong Hoa masih
mengambang gara-gara UU no. 52 tahun 1958 yang mengurusi soal penyelesain
kewarganegaraan ganda antara Indonesia dan RRT.
Aduh
apa lagi PP-10 tahun 1959 dan UU no 52 tahun 1958 ini ?.
Mari
kita tarik lagi tuas mesin waktu kita. Wuuut…!
***
Ternyata
kita harus keluar sebentar ke negeri Tiongkok sana.
Untuk
menggalang kekuatan dari orang-orang Tiong Hoa yang hidup di perantauan, Mao
Zedong mengumumkan bahwa RRT menganut asas ius sanguinis, yaitu siapa saja di
mana saja yang lahir membawa marga Tiong Hoa maka ia otomatis menjadi warga
negara Tiongkok. Ini menjadi
permasalahan di Indonesia yang tidak mengenal kewarganegaraan ganda.
Bersamaan
dengan Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1955, ditandatangilah perjanjian
Dwi Kewarganegaraan antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah RRT. Isinya
adalah mengharuskan orang Tiong Hoa di Indonesia untuk memilih menjadi Warga
Negara Indonesia (WNI) atau menjadi warga negara RRT. Aturan ini menggantikan
aturan tahun 1946 yang menyatakan bahwa siapa saja yang lahir di Indonesia
adalah warga negara Indonesia.
Disadari
atau tidak, aturan ini akan menyebabkan banyak orang keturunan Tiong Hoa di
Indonesia akan menjadi WNA, kalau bukan malah tidak berkewarganegaraan. Bukan
karena keturunan Tiong Hoa di Indonesia memilih menjadi warga negara Tiongkok,
melainkan karena ketidakmampuan mereka untuk memenuhi syarat-syarat pengajuan kewarganegaraan
Indonesia.
Untuk
menjadi WNI, mereka harus menyatakan melepas kewarganegaraan RRT-nya dengan
pergi ke pengadilan negeri. Untuk mendaftar di sana dibutuhkan banyak dokumen,
misal akta kelahiran, akta kelahiran orang tua, surat kawin, dan KTP. Padahal
kantor catatan sipil bagi keturunan Tiong Hoa di Indonesia baru ada di Jawa
tahun 1919. Sedang yang di luar Jawa baru pada tahun 1926.
Dan
bagaimana mengerikannya status tidak berkewarganegaraan itu bisa kita tanyakan
pada kaum muslim Rohingnya yang sedang ramai dibicarakan belakangan.
Implikasi
dari aturan ini benar-benar terasa pada tahun 1959. Muncul Peraturan Pemerintah
no. 10 yang ditandatangani Soekarno pada 16 November 1959. Peraturan ini
memaksa semua pedagang eceran Tiong Hoa di wilayah pedalaman, yaitu di luar
ibukota daerah tingkat I dan tingkat II untuk menutup usaha mereka sebelum 1
Januari 1960. Ini sama saja mengusir keturunan Tiong Hoa dari desa-desa dan
kota kecil ke kota-kota besar. Bila tidak, bagaimana mereka mencari nafkah.
Mengingat sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai pedagang.
Nah,
sekarang kita sudah memahami kenapa keturunan Tiong Hoa seakan angkuh tidak mau
jadi WNI dan tetap memegang kewarganegaraan Tiongkok. Kita juga tahu kenapa
keturunan Tiong Hoa seakan angkuh, tidak mau tinggal di desa-desa. Selain itu
dengan empati, kita juga mengerti kenapa banyak dari mereka tidak banyak
berbaur dengan masyarakat luas.
Tentu
saja karena rasa takut.
Bagaimana
bisa dengan enteng kita berbaur dengan orang yang sekonyong-konyong bisa
menghina, menjarah, membunuh, dan memperkosa dirimu? Sejarah telah menggores
trauma pada mereka.
Tapi
tentu kita belum puas, masih banyak dosa keturunan Tiong Hoa yang belum kita
gali. Bukankah keturunan Tiong Hoa ini juga merupakan antek Belanda, bersama-sama
dengan mereka menindas bangsa Indonesia ? Kenapa seolah mereka hanya mau hidup
dari perdagangan saja ? Bagaimana cap rentenir dan lintah darat melekat pada
mereka? Bukankah eksklusifitas mereka
juga ditandai dengan adanya pecinan di berbagai kota besar di Indonesia?
Mari
kita kembali menggunakan mesin waktu.
Sekali
lagi Anda boleh memilih. Menarik tuas ke masa perebutan kekuasaan di nusantara
atau ke masa pembantaian etnis Tiong Hoa sebelum G30S/PKI. Saya rasa kedua
pilihan tersebut akan membawa kita ke masa yang sama.
Wuuuutttt….!
***
Apa
lagi kalau bukan proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Selepas proklamasi,
muncullah sebuah masa yang tampaknya tak pernah muncul dalam buku sejarah kita.
Namanya masa bersiap!
Masa
ini ditandai dengan seringnya seruan, “Bersiap!”
Sebuah
periode kacau balau yang diakibatkan oleh kekosongan kekuasaan. Jepang sudah
runtuh. Belanda belum datang. Sementara Republik Indonesia yang baru saja
diproklamasikan belum memiliki pemerintahan. Keadaan tidak terkontrol.
Korbannya
tidak lain adalah orang-orang yang dianggap musuh saat itu, dan tidak memiliki
kemampuan untuk melawan. Orang-orang sipil Belanda, Indo, dan etnis Tiong Hoa.
Massa pemuda menjarah, memperkosa, dan membunuh dengan seenaknya.
Pekikan,
“Siap !” menjadi tanda yang menakutkan bagi mereka.
Kejadian
ini tidak lepas dari sikap para tokoh perjuangan sendiri. Dalam pidato-pidatonya,
Bung Tomo bersikap rasis dan menggelorakan sikap anti Tiong Hoa. Bahkan Bung
Hatta memberi pernyataan, “Karena kenyataannya para pedagang Tiong Hoa menjadi
kepanjangan tangan dari kapitalis asing di masyarakat Indonesia, mereka telah
menimbulkan kesan tidak disenangi. Juga selama pendudukan Jepang, diamati bahwa
orang-orang Tiong Hoa berusaha agar mereka selamanya berada dalam posisi yang
menyenangkan... Memang benar orang-orang
Tiong Hoa tersebut sebagai instrumen membuat banyak kekacauan kepada pengusaha
Jepang, tetapi setidaknya mereka berusaha agar posisi ekonominya tetap berada
di atas.”
Sikap
anti Tiong Hoa pada masa awal kemerdekaan yang paling terkenal adalah pembantaian
Tangerang. Awal Juni 1946, ratusan orang Tiong Hoa dibantai, hartanya dijarah,
dan rumahnya dibakar. Alasan pembantaian ini adalah bahwa orang Tiong Hoa dituduh
dibalik pelaporan penyergapan laskar Republik oleh tentara NICA. Orang Tiong
Hoa dituduh sebagai mata-mata. Kerusuhan ini menyebar dengan cepat. Banyak
dilaporkan adanya orang Tiong Hoa yang dibakar hidup-hidup. Ada pula para
lelaki Tiong Hoa yang disunat secara paksa, sedang remaja putrinya diperkosa. Kerusuhan
ini baru berakhir pada tanggal 8 Juni.
Tidak
lama setelah itu, Belanda berhasil memperluas daerah kekuasaannya ke pinggiran
Jakarta. Memang sebelumnya Belanda sudah berniat menduduki Tangerang pada
tanggal pada tanggal 13 Juni. Dan pembantaian ini memberi alasan moral bagi
Belanda untuk melakukannya.
Sejak
itu, orang-orang Tiong Hoa mulai mengungsi ke daerah-daerah yang dikuasai oleh
Belanda. Mereka takut perbuatan yang dilakukan oleh laskar Republik ini
terulang pada mereka.
Melanggar
isi Perjanjian Linggarjati, pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda mulai menyerang
kedaulatan Indonesia. Peristiwa ini dikenal sebagai agresi militer Belanda. Tujuan
utama agresi ini adalah merebut daerah-daerah yang penting dan kaya.
Daerah-daerah pelabuhan, perkebunan, dan pertambangan. Menyadari bahwa sulit
melawan Belanda secara langsung, maka pemerintah Republik Indonesia (RI)
memilih mundur secara teratur sembari menjalankan perang gerilya dan taktik
bumi hangus.
Taktik
bumi hangus adalah taktik untuk membakar habis bangunan-bangunan penting yang
mungkin dapat digunakan oleh Belanda, terutama pabrik-pabrik. Namun dalam
keadaan kacau seperti itu, terjadi hal-hal yang tak diharapkan. Selain membumi
hanguskan bangunan-bangunan yang penting, ternyata aksi itu juga dilakukan
sembari menjarah harta benda, rumah-rumah, dan tempat usaha etnis Tiong Hoa.
Tak luput juga pembunuhan dan perkosaan.
Mendapat
serangan seperti itu, etnis Tiong Hoa merasa frustasi dan mengharap pertolongan
dari tentara NICA. Bahkan beberapa akhirnya memihak Belanda dengan menjadi
mata-mata mereka. Hal ini memperparah keadaan, karena dengan demikian terjadi
pembunuhan serampangan dengan tuduhan sebagai mata-mata.
Apakah
memang sedemikian jahatnya pasukan Republik ini?
Mungkin.
Tapi
perlu diingat bahwa pada masa itu, selain pasukan formal (terikat pada induk
kesatuan) dari pemerintah ada juga pasukan informal yang juga mengatasnamakan
Republik. Pasukan-pasukan ini dikenal sebagai laskar atau gerombolan liar.
Salah
satu contoh yang terkenal adalah saat tahanan dari penjara Kalisosok Surabaya
dilepaskan. Mereka dipersenjatai dan diminta membantu Republik untuk membantu
taktik bumi hangus yang didahului dengan cara mengosongkan kota. Kekacauan ini
terus berlangsung hingga akhir tahun 1949.
Belanda
sendiri juga tidak dapat dilepaskan dari dosa ini. Karena tiap kali mereka
hendak memasuki kota, mereka berhenti dan memberi kesempatan agar taktik bumi
hangus dapat dilaksanakan. Bahkan di Sukabumi tercatat, bahwa Belanda
menyebarkan pamflet terlebih dahulu. Artinya juga, memberi kesempatan terhadap
penjarahan dan pembantaian terhadap etnis Cina.
Selain
mendapat keuntungan dengan hancurnya reputasi Republik yang tampak masih
barbar, Belanda juga mendapat keuntungan dengan perpecahan antara pribumi dan
etnis Cina.
Hasil
adu domba ini tampak jelas dengan terbentuknya Pao An Tui.
Ketika
pemerintah Republik Indonesia secara resmi mengambil sikap bahwa penjarahan dan
pembakaran yang ditanggung oleh etnis Cina adalah harga yang harus ditanggung
demi revolusi, maka etnis Cina berpaling kepada Belanda. Belanda yang merasa
tak mampu melindungi mereka, akhirnya memberi ijin pembentukan Pao An Tui,
badan yang bertugas menjaga keamanan etnis Cina.
Dalam
prakteknya, Pao An Tui ternyata ada juga yang dapat diajak bekerja sama dan
dipersenjatai oleh Belanda. Keberadaan Pao An Tui masih jadi kontroversi selama
ini. Apakah ia musuh Republik, ataukah sekedar badan guna melindungi etnis mereka
sendiri.
Karena
nyatanya Pao An Tui pusat di Jakarta masih bersikap anti-Belanda dan banyak
juga kalangan dari etnis Tiong Hoa yang bersikap menentang keberadaan Pao An
Tui. Yang jelas Pao An Tui menghasilkan kesalahapahaman di masyarakat, seolah-olah
mereka adalah barisan pemuda keturunan Tiong Hoa yang melawan pemuda Indonesia.
Dan
perlawanan ini tampak nyata karena Pao An Tui memang dibentuk untuk menghalau
penjarahan yang dilakukan oleh laskar liar yang berisi pemuda pribumi.
Ketika
kita melihat sikap antipati masyarakat terhadap etnis Tiong Hoa yang dimanfaatkan
Belanda bisa sedemikian besar, tentunya kita curiga. Kebencian pribumi terhadap
etnis Tiong Hoa tentunya sudah berakar dari sebelum proklamasi kemerdekaan.
Mari
kita tarik tuas mesin waktu kita kembali.
Ke
masa perebutan kekuasaan sebelum proklamasi.
Wuuut….
***
Pearl
Harbour diserbu Jepang pada 8 Desember 1941. Setelah itu, gantian Hindia
Belanda yang jadi sasaran. Jepang sangat membutuhkan kilang-kilang minyak untuk
mendukung perangnya. Pertempuran berlangsung sangat cepat, 8 Maret 1942
angkatan perang Belanda sudah menyerah pada Jepang di pulau Jawa. Seluruh
Hindia Belanda telah jatuh ke tangan Jepang.
Para
pemimpin pergerakan Indonesia terpecah menjadi dua, sebagian menentang sebagian
lagi pro-Jepang. Masyarakat Tiong Hoa di Hindia Belanda kembali berada dalam
posisi sulit. Karena pada saat yang sama, berkibar perang antara Jepang dan
daratan Tiongkok.
Seluruh
pemimpin dan tokoh Tiong Hoa ditangkap. Partai politik, ormas, dan penerbitan
diberangus. Mereka yang ditahan, dijadikan satu dengan tahanan Belanda dalam
kamp interniran. Orang-orang Tiong Hoa yang tidak tertawan mengorganisasi
gerakan-gerakan bawah tanah menentang Jepang.
Selain
penjarahan dan perampokan terhadap toko dan rumah Tiong Hoa saat pendaratan
pasukan Jepang, eksekusi dan penyiksaan terhadap tokoh-tokoh Tiong Hoa yang
menentang Jepang, tidak ada pembantaian massal terhadap etnis Tiong Hoa di bumi
nusantara.
Tapi
masih perlu kita catat juga bahwa ada pembantaian massal terhadap etnis Cina
pada masa ini di Singapura. Singapura merupakan markas besar tentara ketujuh
Angkatan Darat Jepang, yang juga membawahi wilayah Sumatra.
Jadi
di masa ini, tidak ada cukup keterangan yang dapat kita ambil.
Bagaimana
kalau kita ke masa perebutan kekuasaan yang lebih lalu lagi, adakah pembantaian
etnis Tiong Hoa di sana?
Wuuuttt…
***
Sekarang
kita berada pada masa perang Jawa, 1825-1830, atau yang sering disebut juga
perang Diponegoro.
Pangeran
Diponegoro adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwono III. Namun ternyata ia
tidak diangkat menjadi putra mahkota. Penguasa Hindia Belanda lebih tertarik
memberikan takhta pada adiknya. Dengan ditandai pematokan di atas tanah
Pangeran Diponegoro, maka pecahlah perang.
Pematokan
ini dilakukan oleh kraton atas permintaan Residen Yogyakarta (semacam kepala
daerah dalam pemerintahan Hindia Belanda), tentu saja tanpa seijin Pangeran
Diponegoro.
Banyak
bangsawan yang turut memihak Pangeran Diponegoro. Dukungan ini terutama
disebabkan oleh keputusan menghentikan hak sewa lahan perdesaan oleh Gubernur
Hindia Belanda yang dinilai mematikan sumber penghasilan para bangsawan. Tidak
hanya para bangsawan yang membantu perjuangan Diponegoro, tetapi banyak juga
orang Tiong Hoa yang urut serta.
Selain
bantuan secara pasif dalam bentuk uang, senjata, dan candu, bantuan ini juga
bersikap aktif. Turut serta mengangkat senjata melawan Belanda. Namun bantuan
ini tidak berjalan langgeng, di pertengahan perang orang-orang Tiong Hoa
menarik dukungan terhadap Diponegoro.
Berkhianatkah
mereka ?
Pada
masa awal perang, Raden Ayu Yudakusuma puteri dari Sultan Hamengbuwono I
bersama pasukannya menyerbu Ngawi. Saat itu Ngawi merupakan pos perdagangan
yang penting. Di sana, terjadi pembantaian etnis Tiong Hoa oleh pasukan
tersebut.
Ternyata
pembantaian ini tidak hanya terjadi di Ngawi. Di berbagai tempat di Jawa Tengah
dan sepanjang Bengawan Solo, pembantaian ini terjadi terus menerus. Kabar
mengenai pembantaian ini akhirnya diketahui oleh para Tiong Hoa yang membantu
Diponegoro.
Rasa
kecewa dan prasangka muncul. Namun sikap ini bersifat timbal balik. Orang-orang
Jawa juga curiga dan berhati-hati pada Tiong Hoa. Pangeran Diponegoro sendiri
memerintahkan para komandannya menjaga hubungan agar tidak terlalu akrab dengan
orang Tiong Hoa.
Bahkan
dalam Babad Dipanagara, Diponegoro menyalahkan kekalahannya di Gowok akibat ia
terjebak kecantikan seorang gadis Tiong Hoa yang ia tangkap dan ia jadikan
tukang pijatnya.
Kekalahan
Sasradilego, ipar Diponegoro, dalam pertempuran di pesisir utara pun
dilimpahkan kepada pundak orang Tiong Hoa. Yaitu Sasradilego melanggar perintah
Diponegoro untuk tidak menggauli seorang perempuan Tiong Hoa di Lasem. Padahal
kemenangan yang sedemikian cepat diraih Sasradilego dalam awal pertempuran bisa
dibilang didapat dari bantuan para Tiong Hoa yang mampu menyelundupkan senjata
api. Sedang kekalahannya disebabkan oleh pihak Belanda yang sudah berhasil mendatangkan
bala bantuan.
Sebenarnya
saat itu memang sudah muncul gesekan antara orang Jawa dan orang Tiong Hoa. Penyerbuan
Raden Ayu Yudakusuma yang sebelumnya mempunyai hubungan baik dengan orang Tiong
Hoa pun bukan tanpa alasan.
Orang-orang
Tiong Hoa saat itu banyak yang berprofesi sebagai rentenir maupun pemungut
pajak dan sewa. Oleh karena semakin lama pajak dan uang sewa ini semakin
mencekik, maka wajar jika muncul kebencian terhadap orang-orang Tiong Hoa yang
datang menagih. Tapi kebencian ini sebenarnya tidak terjadi pada kaum
bangsawan.
Setelah
Daendels dan Raffles selaku Gubernur Hindia Belanda waktu itu mengurangi
wilayah kekuasaan para raja, maka semakin sedikit pula sumber penghasilan para
raja. Untuk itu mereka harus mendapatkan keuntungan lebih dari wilayah yang
mereka miliki.
Keuntungan
ini mereka dapatkan dari menyewakan sawah dan pekerja kepada para wiraswasta. Sedangkan
para wiraswastawan pada waktu itu adalah orang-orang yang sudah memiliki
kemampuan berhitung, orang-orang yang terbiasa berdagang. Tentu saja kalau
bukan orang Eropa, ya orang Tiong Hoa.
Dan
karena kepemilikan mereka akan uang, banyak dari mereka yang juga memberikan
pinjaman, alias jadi rentenir. Termasuk Raden Ayu Yudakusuma, yang juga sering
meminjam uang pada orang-orang Tiong Hoa ini.
Pemerintah
Hindia Belanda yang melihat keefektifan kerja orang Tiong Hoa dalam menarik
sewa, akhirnya melakukan hal yang sama. Mereka mempekerjakan orang-orang Tiong
Hoa untuk melakukan penarikan pajak di wilayah mereka.
Dalam
prakteknya, pasti kegiatan-kegiatan penarikan pajak dan rentenir ini akan menjerumus
pada tindakan-tindakan pemerasan. Tapi para bangsawan dan pemerintah Hindia
Belanda tidak peduli, karena mereka mendapatkan uang dengan lancar.
Kebencian
rakyat terhadap mahalnya pajak pun tidak terarah pada mereka. Melainkan pada
golongan Tiong Hoa yang langsung turun ke lapangan. Lalu apakah sebenarnya
orang Tiong Hoa ini memang anak emas pemerintah Hindia Belanda ? Mengingat
kegiatan orang Tiong Hoa dalam menarik pajak dilindungi oleh mereka ?.
Dari
segi pajak, orang Tiong Hoa menghadapi pajak yang jauh lebih tinggi. Dalam perdagangan,
pajak orang Tiong Hoa bisa sampai tiga kali lipat lebih besar dari orang Jawa. Orang
Tiong Hoa juga dikenai pajak konde atau pajak per-kepala. Selain itu ada berbagai
peraturan dari pemerintah Hindia Belanda yang mengekang orang-orang Tiong Hoa.
Peraturan-peraturan
itu antara lain:
Wijkenstelsel,
orang-orang Tiong Hoa dikumpulkan pada satu tempat. Mereka diharuskan bermukim
hanya pada tempat-tempat yang ditentukan. Tempat-tempat ini lah yang kemudian
berkembang dan disebut dengan pecinan. Aturan ini dibuat agar orang-orang Cina
mudah diawasi.
Passenstelsel,
aturan yang menyebutkan tiap orang Tiong Hoa harus memiliki pas (surat ijin)
jika bepergian. Tiap kali mereka perlu keluar dari wilayah yang ditentukan oleh
wijkenstelsel, mereka harus mendapat ijin dari penguasa Belanda. Selain sebagai
pengawasan, aturan ini juga menjadi lahan basah para opsir Belanda untuk
memeras orang Tiong Hoa.
Undang-undang
Agraria 1870, secara resmi UU ini bertujuan melindungi hak petani pribumi dari pemodal
asing. Caranya dengan melarang orang asing untuk memiliki tanah di Hindia
Belanda.
Akibat
langsungnya adalah, orang-orang Tiong Hoa kehilangan lahan pertaniannya yang
mungkin saja sudah mereka garap sendiri secara turun-temurun. Ketiga peraturan
ini secara tidak langsung memperlihatkan usaha pemerintah Hindia Belanda untuk
memisahkan pribumi dengan orang-orang Tiong Hoa. Juga ketakutan mereka atas
orang-orang Tiong Hoa sehingga mereka harus selalu diawasi dengan seksama.
Apa yang
menyebabkan ketakutan ini?
Seperti
yang sudah-sudah, kita coba menjawab pertanyaan kita dengan mesin waktu yang
kita miliki.
Kemana
kali ini kita akan pergi? Bagaimana kalau ke pembantaian etnis Tiong Hoa
terdekat sebelum perang Jawa dimulai.
Tarik
tuasnya !
Wuuuttt…!
***
Sekarang
kita berada di Batavia, pada masa-masa mulainya kehancuran VOC.
Tahun
1732, terjadi wabah penyakit di Batavia. Penegakan hukum yang dilakukan oleh
VOC pun membuat banyak orang bangkrut karena kehilangan mata pencaharian. Praktek-praktek
kotor dan curang memang sudah jadi praktek sehari-hari di masa itu.
Pengangguran
merajalela. Namun orang-orang Tiong Hoa yang sebelumnya didatangkan oleh VOC
untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang tidak mau dilakukan oleh pribumi dan
Eropa terus saja berdatangan. Penumpukan pendatang ini menciptakan problem
baru, terutama kebanyakan dari mereka menjadi pengangguran akibat lapangan
kerja yang semakin menciut. Kriminalitas mulai terjadi di daerah-daerah
pinggiran.
Keadaan
ini berlanjut terus sampai tahun 1740. Untuk itu VOC mengeluarkan peraturan
yang berguna membatasi orang Tiong Hoa di Batavia.
Setelah
gagal membendung imigran, VOC membuat aturan yang lebih keras. Tiap orang Tiong
Hoa yang menganggur akan dideportasi.ke Ceylon dan Afrika Selatan. Ketika
aturan ini mulai diberlakukan, terdengar kabar bahwa ini hanyalah akal-akalan
pemerintah. Orang-orang Tiong Hoa yang tertangkap dan dinaikkan kapal tidak
pernah sampai di Ceylon atau Afrika Selatan, melainkan dibuang ke laut!
Orang-orang
Tiong Hoa mulai takut akan adanya kabar burung ini. Mereka mulai nekat. Beberapa
pemberontakan muncul di luar tembok kota. Sebenarnya tidak ada bukti bahwa
orang-orang Tiong Hoa yang ada di dalam tembok kota ikut terlibat, tapi rasa
was was penduduk sudah sedemikian hebat.
VOC
memberlakukan jam malam bagi warga Tiong Hoa, bahkan tidak diperkenankan
membuat api sekalipun. Pemerintah VOC takut apabila itu digunakan sebagai tanda
aba-aba bagi orang-orang Tiong Hoa di luar benteng untuk menyerang kota. Karena
memang ada desas desus penyerbuan itu akan ditandai dengan api di dalam kota.
Penduduk
non Tiong Hoa berkumpul di jalan-jalan sambil membicarakan rumor tentang
penyerangan. Mereka bertambah curiga dengan tiadanya orang-orang Tiong Hoa di
antara mereka, yang sebenarnya memang dilarang keluar oleh pemerintah. Para
majikan Belanda yang merasa terancam mempersenjatai bawahannya yang terdiri
dari berbagai ras dan suku bangsa.
Tidak
lama terjadi kebakaran di beberapa warung Tiong Hoa. Kemungkinan kebakaran ini
terjadi karena penggeledahan senjata oleh aparat. Tapi bagi orang-orang
Belanda, kebakaran ini diartikan sebagai dimulainya pemberontakan oleh orang
Tiong Hoa.
Kerusuhan
tidak terelakkan. Penjarahan dan pembakaran rumah-rumah Tiong Hoa terjadi
dengan kejam. Semua orang Tiong Hoa, laki perempuan, besar kecil, tua muda,
semua dibantai.
Banjir
darah terjadi. Sungai menjadi merah dalam arti sebenarnya. Dari sinilah nama
Angke yang berarti kali merah berasal.
Meriam-meriam
ditembakkan ke rumah-rumah orang Tiong Hoa. Sekejap begitu banyak korban
terpanggang hidup-hidup. Banyak di antara mereka yang memilih bunuh diri dari
pada jatuh ke dalam tangan orang-orang Belanda, pribumi, dan orang-orang kulit
hitam yang memburu mereka.
Sebuah
kesaksian menyatakan, pada saat pembakaran berhenti tidak tampak seorang Tiong
Hoa pun di kota. Semua jalan dan lorong penuh mayat, kali-kali ditimbuni mayat
sehingga orang dapat menyebrang di atas mayat-mayat tanpa kakinya menjadi
basah.
Kabar
mengenai kejadian ini segera menyebar ke luar Batavia. Orang-orang Tiong Hoa
yang marah mulai melancarkan pemberontakan terhadap VOC. VOC meminta penguasa
Jawa saat itu yaitu Sunan Paku Buwono II untuk membantunya, tetapi Sunan
bersikap hati-hati. Tidak pernah sebelumnya orang Jawa menangkapi orang Tiong
Hoa. Lagipula ia tidak mau membuat kesalahan dengan menangkap orang yang tidak bersalah.
Sunan
berusaha bersikap netral. Namun lama kelamaan, pemberontakan ini mulai didukung
oleh orang Jawa. Selain benci dengan VOC, orang-orang jawa juga merasa
bersimpati terhadap orang Tiong Hoa yang sudah hidup harmonis dengan mereka
selama beberapa generasi.
Sedang
Sunan yang terus ditekan kekuasaan VOC berada di kebimbangan, para bangsawan
kraton terpecah menjadi dua, antara yang ingin membantu VOC dan yang ingin
turut serta membantu orang Tiong Hoa.
Pemberontakan
terus meluas. Pasukan Tiong Hoa mulai merebut kemenangan di mana-mana.
Sunan
sendiri akhirnya memilih membantu orang Tiong Hoa secara rahasia. Secara resmi
ia masih mengulur waktu, tapi di bawah tangan ia memerintahkan penguasa-penguasa
bawahannya untuk menyerang VOC.
VOC
menyadari tidak mungkin bertahan dengan kemampuan yang ada. Ia berusaha
mendapatkan bantuan. Akhirnya VOC
mendapat bantuan pasukan Cakraningrat IV dari Madura yang memang mengulurkan
tangan.
Cakraningrat
IV meminta janji dari VOC bahwa ia akan mendapat kemerdekaan dari penguasaan
Kartasura.
Bala
bantuan ini menjungkirbalikkan perimbangan. Pasukan pemberontak ditumpas.
Di
Madura, Jawa Timur, dan Jawa Tengah, terjadi pembantaian terhadap orang Tiong
Hoa oleh pasukan Madura.
Mengetahui
Cakraningrat IV yang merupakan musuh politiknya membantu VOC, Sunan akhirnya
memihak pemberontak secara terbuka.
Namun
ketika ternyata pasukan Belanda dan Madura lebih kuat, terutama saat kegagalan
merebut Semarang, Sunan menyatakan untuk menghentikan permusuhan lebih lanjut. VOC
menyambut gembira pernyataan ini.
Pemberontak
Tiong Hoa dan sebagian besar anak buah Sunan marah mengetahuinya. Mereka ganti
menyerang kraton Kartasura. Namun tidak lama kemudian, pemberontakan ini pun
berhasil ditumpas. Sunan Paku Buwono II dipulihkan kedudukannya sebagai
penguasa Mataram.
Sejak
saat itu pemerintah kolonial VOC selalu memberi pengawasan ekstra terhadap
orang Tiong Hoa.
Kebijakan
ini diteruskan oleh pemerintah Hindia Belanda, dan dilanjutkan lagi oleh pemerintah
Indonesia.
Ternyata
pembantaian orang Tiong Hoa di Batavia ini adalah pembantaian etnis Tiong Hoa
pertama di Nusantara. Bahkan yang pertama pula di luar daratan Tiongkok.
Sebelum
ini hubungan antara pribumi dan Tiong Hoa tampak harmonis. Hubungan ini bisa
dilihat dari banyaknya orang Tiong Hoa yang diberi jabatan oleh penguasa.
Juga
catatan-catatan yang memperlihatkan baiknya hubungan bilateral antara kerajaan
nusantara dan kerajaan Tiongkok. Misalnya
pengangkatan Cik Go Ing, atau Tumenggung Mertaguna menjadi bupati Lasem oleh
Sultan Agung atas jasanya dalam perang Mataram (1620-1625).
Satu-satunya
konflik antara Tiong Hoa dan pribumi yang tercatat di nusantara sebelum ini
hanyalah ekspedisi Kubilai Khan pada tahun 1292. Namun perlu kita catat, selain
sebenarnya Kubilai Khan adalah penguasa Mongol yang menjajah Tiongkok,
ekspedisi itu bersifat konflik antar kerajaan. Tidak membawa-bawa etnis
tertentu.
Dan
kita catat lagi, ekspedisi ini membawa dampak besar pada nusantara. Prajurit-prajurit
Kubilai Khan yang akhirnya menetap di nusantara tersebut melakukan transfer
teknologi. Terutama teknologi perkapalan dan senjata api. Dengan teknologi baru
ini dengan sangat singkat akhirnya Gajah Mada berhasil mempersatukan nusantara
di bawah panji-panji Majapahit.
***
Nah,
sekarang pertanyaan-pertanyaan mengenai dosa keturunan Tiong Hoa dapat kita
ganti menjadi:
Kecuali
pembantaian yang pertama, mengapa pembantaian dan penjarahan terhadap etnis
Tiong Hoa besar-besaran selalu berbarengan dengan perebutan kekuasaan yang
besar-besaran pula?
Kita
lihat tidak ada perlunya lagi kita menggunakan mesin waktu untuk mencari jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan kita.
Pembantaian
pertama dilakukan penguasa atas ketakutannya akan etnis Tiong Hoa.
Lalu
mereka melihat besarnya kekuatan yang tercipta dari bersatunya etnis Tiong Hoa
dan pribumi.
Ini
lebih berbahaya lagi bagi mereka.
Untuk
itu penguasa berusaha memisahkan keduanya dengan cara menciptakan jarak dalam
kehidupan mereka.
Lebih
lanjut dari itu, penguasa juga menjadikan etnis Tiong Hoa sebagai alat pemeras
rakyat jelata.
Keberhasilan
dari adu domba ini meledak pertama kali saat perang Jawa. Sentimen anti Tiong
Hoa yang sudah tercipta terus menerus digunakan penguasa-penguasa sesudahnya.
Untuk
apa menciptakan sasaran baru, kalau sasaran yang ada sudah tersedia.
Kita
bisa mengamati bahwa wijkenstelselyang dilakukan oleh kolonial dihidupkan kembali
dalam masa kemerdekaan dalam bentuk PP-10 dan UU no. 52 tahun 1958. Pemerasan
dalam bentuk penarikan pajak yang dilakukan kolonial dengan menggunakan etnis
Tiong Hoa diulangi kembali dalam bentuk pemberian hak-hak monopoli terhadap
etnis Tiong Hoa yang dijadikan sapi perahan penguasa Indonesia.
Imbasnya
etnis Tiong Hoa yang ketakutan dan memiliki cukup banyak harta, memilih
menyimpan hartanya di luar negeri mengingat harta mereka di dalam negeri bisa
dijarah sewaktu-waktu. Selalu ada pemikiran, bahwa ada kemungkinan mereka harus
kabur ke luar negeri.
Yang
tidak memiliki cukup banyak harta…yah, di mana-mana orang miskin memang tak
punya pilihan.
Dalam
tiap perebutan kekuasaan selalu ada penguasa yang dipertanyakan.
Dalam
tiap perebutan kekuasaan selalu ada rakyat yang mendendam.
Tiap
penguasa ini butuh pihak untuk disalahkan, dan rakyat butuh pihak tempat untuk
melampiaskan amarah. Dan yang terjepit ditengah selalu yang jadi korban. Di
nusantara, kebetulan pelanduk di antara gajah ini adalah etnis Tiong Hoa.
Mau
bagaimana lagi sekarang? Semua sudah telanjur terjadi. Apalagi sudah dimulai
beratus tahun silam.
Masa
reformasi memang sudah mengembalikan hal-hak keturunan Tiong Hoa yang
diberangus penguasa-penguasa sebelumnya. Namun kita tak boleh lengah, kerusuhan-kerusuhan
dapat saja terjadi sekonyong-konyong seperti waktu-waktu lalu.
Bahkan
penguasa masih saja menyisakan peraturan-peraturan diskriminatif itu.
Coba
lihat Surat Keputusan Walikota Pontianak no 127/2008 yang melarang atraksi naga
dan barongsai di jalan umum.
Atau
di Yogyakarta, yang selama ini disebut sebagai model terbaik dari pluralisme
Indonesia. Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
K.898/I/A/1975 yang melarang WNI non Pribumi untuk memiliki sertifikat hak
milik atas tanah masih berlaku hingga saat ini.
Tapi
yah…
Dari
dulu begitulah Cina, deritanya tiada henti.
Namun
derita ini bukan milik keturunan Tiong Hoa saja! Derita ini adalah derita
segenap bangsa Indonesia!
Bagaimana
tidak, tiap kali kerusuhan anti Tiong Hoa terjadi pastilah ekonomi kita tersendat.
Pelarangan
bagi WNI keturunan Tiong Hoa untuk berdagang berkali-kali nyatanya tidak
membuat kekosongan ini dapat diisi oleh pribumi begitu saja. Kita terganjal
dari gerak maju.
Mengaca
pada sejarah, coba bayangkan seberapa kuatnya bangsa ini jika kebencian-kebencian
ini tidak memisahkan keturunan Tiong Hoa dari pribumi. Kita bahu membahu
menjadi bangsa yang kuat. Bersatu padu membangun sebuah budaya yang disegani
kawan dan lawan.
Berapa
besar potensi yang hilang karena kita saling curiga dan penuh prasangka?
Betapa
menyedihkan dari jaman VOC sampai sekarang kita dikadali dengan kadal yang
sama.
Tapi
yah…
Dari
dulu begitulah kita, deritanya tiada henti.
Namun
derita ini bukan untuk diratapi. Derita ini juga bukan alasan agar kita
dikasihani. Apalagi diungkit-ungkit demi ganti rugi.
Derita
ini untuk kita pelajari, kita mengerti, dan kita sadari.
Hingga
kita akhirnya paham, bahwa tiap kali kita dilanda kebencian dan prasangka
karena sentimen anti Tiong Hoa atau sentimen apapun, dan berada di pihak
manapun, kita harus ingat untuk bertanya;
“Siapakah
sebenarnya yang diuntungkan oleh kebencian kita ini?
Siapakah sebenarnya yang dirugikan?
Apa saja keuntungan yang didapat?
Apa saja kerugian yang harus ditanggung?”
Karena
jangan-jangan yang rugi sebenarnya hanya kita-kita saja, dan yang untung hanya
penguasa-penguasa juga.
Karena
jangan-jangan yang menanggung kita-kita juga, dan penguasa tinggal
ongkang-ongkang saja.
Karena
bangsa yang hanya mampu meluapkan amarah memang tak pantas maju.
Karena
penguasa yang hanya mampu melempar salah memang tak perlu diaku.
Yogyakarta, 26-29 Agustus 2012
nb: sebenarnya saya tak suka istilah pribumi karena banyak keturunan Tiong Hoa yang
sudah ratusan tahun hidup di nusantara, tapi saya tetap memakainya untuk memudahkan
penyebutan