Tuesday, April 26, 2011

Jangan 'bergantung' pada Yesus

Kata Yesus kepadanya: "Janganlah engkau memegang Aku, sebab Aku belum pergi kepada Bapa, tetapi pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka, bahwa sekarang Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu." – Yoh 20:17


Bagi para murid, hari-hari sejak kebangkitan Kristus adalah hari-hari yang membingungkan. Betapa tidak, beberapa dari mereka menyaksikan sendiri kubur Yesus telah kosong, kemudian beberapa dari mereka mengatakan bahwa mereka telah bertemu dengan Yesus yang bangkit. Sebagian besar murid malah tidak percaya bahwa Yesus telah bangkit. Kita bisa melihat kisah dua orang murid yang berjalan ke Emaus (Luk 24:13-24), dimana mereka berdiskusi begitu seru tentang semua hal yang terjadi, sampai tidak menyadari bahwa orang ketiga yang bergabung dalam percakapan mereka adalah Yesus sendiri.

Salah satu keanehan yang terjadi adalah, Yesus tidak lagi bersedia menyertai murid-murid-Nya seperti sediakala. Yesus memang menemui beberapa murid-Nya, tapi Ia tidak pernah tinggal lebih lama dengan mereka. Dia selalu menghilang setelah melakukan perjumpaan dan menyampaikan pesan. Dalam pertemuan-Nya dengan Maria Magdalena Yesus bahkan menolak untuk disentuh. Dalam bahasa Yunani kata jangan “memegang” yang dikatakan Yesus kepada Maria memiliki arti jangan “melekat/bergantung”. Bukan berarti bahwa Yesus tidak boleh dipegang, karena dalam banyak kesempatan lain Ia mengijinkan murid-murid-Nya untuk memegang Dia. Tapi sejak kebangkitan-Nya, Yesus sepertinya menghendaki sebuah relasi yang samasekali baru dengan para murid, sebuah relasi yang berbeda, karena Ia tahu bahwa Ia akan segera meninggalkan mereka dan kembali ke Sorga.

Jika kita cermati, setiap kali Yesus berjumpa dengan murid-murid-Nya, Ia tidak lagi menempatkan diri sebagai Pribadi yang senantiasa mencukupi dan menjawab kebutuhan para pengikut-Nya. Di setiap perjumpaan, selalu terdengar perintah “pergilah… dan katakan…”, atau “gembalakanlah…” Yesus yang bangkit bukan lagi datang untuk melayani, tapi setiap kali Ia datang, Ia memberikan perintah. Yesus yang bangkit adalah Yesus dalam keadaan-Nya yang semula, Tuhan segala Tuhan dan Raja segala Raja. Yesus menolak saat Maria ingin menyentuh-Nya dengan sikap bergantung seperti sebelumnya, sebaliknya Ia memerintahkan: “pergilah kepada saudara-saudara-Ku dan katakanlah kepada mereka…”. Yesus sepertinya ingin menyatakan, “Jangan lagi bergantung padaKu seperti dahulu, Aku akan segera meninggalkan kamu, tapi kerjakanlah bagianmu seperti Aku melakukan bagian-Ku”

Dalam perintah di atas ada satu keunikan, Yesus menyebut para murid-Nya sebagai “saudara”, dan kemudian Ia menyebut Allah Bapa sebagai “Bapa-Ku dan Bapamu”. Kali ini Yesus berbicara sebagai sang Anak Sulung, yang bangkit dari antara orang mati, berbicara bukan kepada para pengikut yang bergantung, tapi kepada saudara-saudara-Nya. Sebagaimana Yesus telah melakukan seluruh kehendak Bapa, ini waktunya bagi “saudara-saudara-Nya” untuk melakukan hal yang sama. Setelah kebangkitan Kristus, para murid tidak lagi dipandang sebagai orang-orang tak berdaya, tapi menjadi saudara se-Bapa, dipanggil, dilengkapi dengan kuasa dan diperintahkan untuk melakukan hal yang sama dengan yang Yesus lakukan. Yesus telah menyelesaikan tugas-Nya dengan sempurna dan sebentar lagi Dia harus meninggalkan semua murid-Nya. Para murid harus sadar, bahwa mereka tidak bisa lagi bergantung pada Yesus seperti sebelumnya. Mereka akan diantar menuju satu jenis relasi kebergantungan yang baru, dimana bukan Yesus lagi yang bersama dengan mereka secara badani, tapi Roh Kudus yang akan tinggal dan bekerja di dalam mereka. Sebelum kematian-Nya Yesus pernah berkata: “Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jikalau Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu.” (Yoh 16:7). Ada waktunya bahwa lebih baik murid-murid dipisahkan dari Yesus, supaya mereka belajar bergantung dan sekaligus bekerja sama dengan Roh Kudus yang akan memberi mereka kuasa untuk melakukan kehendak Allah.

Sebagai pengikut Kristus yang bangkit, kita perlu menyadari bahwa sekarang bukan waktunya untuk memandang diri sebagai pengikut tanpa daya dari seorang ‘manusia super’. Bukan lagi waktunya untuk ‘bergantung’ kepada Yesus sebagaimana para murid dulu bergantung pada-Nya. Lewat kematian dan kebangkitan Kristus, kita diangkat menjadi “saudara”, dengan kuasa dan otoritas yang serupa dengan sang Kakak Sulung. Saat ini kitalah yang harus menjadi terang dunia, melayani, menjadi berkat, mendoakan orang sakit, memulihkan hati yang terluka, hidup dalam kekudusan, dst. Hidup kita harus mencerminkan kemenangan Kristus atas maut. Kristus memang tidak lagi bersama kita secara badani, tapi Roh Kudus yang sama, yang memberi kuasa pada Yesus untuk menyelesaikan segenap rencana Allah, saat ini berdiam juga dalam hidup kita. Ini bukan lagi waktunya untuk ‘bergantung’, tapi waktunya untuk bekerja, seperti kata rasul Paulus, “Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah…” (Fil 1:22). Tetap kerjakan keselamatan kita dengan takut dan gentar, maka Kristus akan hadir lagi di dunia, bukan lagi dalam bentuk manusia, tapi melalui tubuh-Nya yang am yaitu Gereja. Amin.

Thursday, April 07, 2011

Mengerjakan Keselamatan

Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.  Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," Flp 2:5-11

Jika kita mencoba mencermati keTuhanan Kristus, kita bisa melihat ada dua sisi yang berjalan bersamaan. Pertama, Yesus sendiri adalah Tuhan sejak mulanya, Dia memiliki rupa Allah dan setara dengan Allah. Tanpa perlu turun ke bumi dalam rupa manusia, Yesus tetap adalah Tuhan. Sisi yang kedua, seperti kutipan kitab Filipi di atas, Yesus “dijadikan” Tuhan melalui peninggian dari Allah sebagai upah atas ketaatan-Nya untuk merendahkan diri sampai mati di atas salib. Sehingga boleh kita simpulkan bahwa gelar keTuhanan Kristus adalah sebuah status yang telah dimiliki-Nya sejak kekal, tapi juga sebuah status yang diperoleh-Nya melalui perjuangan sampai titik darah penghabisan.
Kita juga perlu melihat bahwa sebelumnya rasul Paulus sempat meminta pembaca untuk “…menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah…”(ay 5), dan setelah menjelaskan bagaimana Yesus dalam rupa Allah telah merendahkan diri, ia melanjutkan dalam ayat 12, “…karena itu tetaplah kerjakan keselamatanmu dengan takut dan gentar,…”. Dengan membaca seluruh bagian ini, nampak bahwa sebagaimana keTuhanan Kristus memiliki dua sisi, begitupun keselamatan kita.
Dalam minggu mendatang kita akan memperingati lagi karya Kristus di kayu salib. Oleh persembahan Tubuh dan Darah Kristus, hari ini kita beroleh kepastian keselamatan. Memandang salib Kristus, kembali kita disadarkan bahwa, “Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah,…” (Ef 2:8). Itulah sisi pertama dari keselamatan kita, bahwa kita saat ini telah memiliki status sebagai anak Allah, pewaris sorga. Status ini langsung kita miliki pada saat kita percaya kepada Yesus sebagai Tuhan. Tidak hanya itu, status keselamatan kita begitu kuat karena dimeteraikan dengan darah Perjanjian Baru, yaitu darah Kristus sendiri. Namun keselamatan kita juga memiliki sisi yang kedua, yaitu keselamatan yang perlu dikerjakan dan diperjuangkan dengan “takut dan gentar”. Sebagaimana Yesus melakukan bagian-Nya sehingga Allah kemudian sangat meninggikan Dia, demikian pula setiap kita harus melakukan bagian kita, mengerjakan keselamatan kita dengan segenap hati dan tenaga.
Dengan melihat apa yang dilakukan oleh Yesus, kita bisa mendapat gambaran tentang bagaimana mengerjakan keselamatan itu. Diawali dengan kemuliaan yang ditanggalkan, Yesus kemudian mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba. Sebagai hamba, Kristus bekerja dan berkorban begitu rupa, sampai Ia layak menerima kemuliaan-Nya kembali sebagai upah, bukan sebagai sesuatu yang telah dimiliki-Nya sejak semula. Mengerjakan keselamatan juga diawali dengan cara yang sama, kita sepertinya perlu menanggalkan status kita sebagai pewaris sorga, dan mulai merendahkan diri dan bekerja keras seolah-olah keselamatan kita ditentukan oleh perbuatan dan diberikan sebagai upah. Hidup kita harus benar-benar dijaga dan diarahkan agar kita layak untuk masuk sorga kelak. Sebagaimana Yesus pernah bersabda, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.”(Mat 5:20), begitulah tanggung jawab dari seorang Kristen yang sedang mengerjakan keselamatannya.
Langkah selanjutnya adalah ketaatan mutlak dalam kerendahan hati. Sebagaimana Yesus merendahkan diri dan taat sampai mati dan kemudian ditinggikan, demikian pula kita perlu rendah hati dan taat, sampai pada waktunya kita ditinggikan dan layak masuk sorga. Mungkin ada beberapa orang yang ditentukan untuk taat sampai mengorbankan nyawa. Tapi saya rasa untuk sebagian besar kita, kematian yang dituntut adalah kematian terhadap kepentingan diri sendiri, dan hidup sepenuhnya bagi Kristus. “Lakukanlah segala sesuatu dengan tidak bersungut-sungut dan berbantah-bantahan, supaya kamu tiada beraib dan tiada bernoda,…” (Fil 2:14), lanjut Paulus dalam suratnya, mendorong ketaatan setiap umat Allah untuk mengerjakan keselamatan mereka masing-masing dalam ketaatan dan kerendahan hati.
Pada hari penghakiman terakhir, dilukiskan bahwa orang akan dihakimi menurut perbuatan mereka (Wah 20:12), bukan menurut pengakuan mulut mereka saja. Mari kita mengerjakan keselamatan kita dengan takut dan gentar, tapi sekaligus dengan sukacita, karena Allah adalah hakim yang sangat adil, yang akan meninggikan orang-orang yang rendah hati dan taat. Segala jerih lelah kita untuk Kristus tidak akan pernah sia-sia, upah yang sangat besar menanti orang-orang yang dengan tekun mengerjakan keselamatan mereka sampai akhir. Tuhan memberkati! 

Wednesday, April 06, 2011

Memberhalakan Kristus

Mereka membangkitkan cemburu-Ku dengan yang bukan Allah, mereka menimbulkan sakit hati-Ku dengan berhala mereka…Ul 32:21


Jika membaca Perjanjian Lama, kita akan melihat bagaimana bangsa Israel berulang kali menyakiti Allah dengan menyembah berhala. Sejak pembebasan dari perbudakan Mesir di bawah pimpinan Musa, generasi demi generasi bangsa Israel terus mengalami jatuh bangun antara setia kepada Allah dan penyembahan berhala. Penyembahan berhala berlaku seperti sebuah ‘penyakit turunan’, yang terus saja menimbulkan cemburu dan sakit hati Allah yang begitu hebat. Satu generasi berlalu, dan penyakit ini sepertinya punah, tapi pada generasi selanjutnya kambuh lagi, begitu terus berulang-ulang. Sampai pada satu titik Allah sepertinya berkata, “Cukup!” dan Ia bersabda “…Aku akan melemparkan kamu dari negeri ini ke negeri yang tidak dikenal oleh kamu ataupun oleh nenek moyangmu. Di sana kamu akan beribadah kepada allah lain siang malam, sebab Aku tidak akan menaruh kasihan lagi kepadamu.” (Yer 16:13)  Dalam murka-Nya, Allah memutuskan untuk membuang umat pilihan-Nya sendiri kembali ke dalam perbudakan, dan sejak itu Israel terus menerus menjadi bangsa jajahan selama berabad-abad. Sejarah panjang bangsa Israel tersebut menunjuk pada satu hal, bahwa penyembahan berhala berakar pada hati manusia yang tercemar oleh dosa, bukan oleh pengaruh luar. Penyembahan berhala sebenarnya bukan soal ritual belaka, tapi bersumber dari hati manusia yang cenderung memberontak. Dan kalau memang sumbernya dari hati, pastilah terjadi sampai saat ini.

Saat ini orang kristen abad 21 sudah tidak mungkin lagi dibujuk untuk sujud menyembah patung berhala sebagaimana umat Allah 2500 tahun yang lalu. Tetapi saya mencermati bahwa penyembahan berhala masih sangat mungkin terjadi di dalam hati orang percaya dalam bentuknya yang paling halus: memberhalakan Yesus. Beberapa tahun silam saya malah sempat melihat beberapa orang mengenakan kaus bertuliskan “Jesus – My Idol”. Lepas dari pemikiran dangkal si perancang kaus, ungkapan “Yesus Berhalaku” saya kira dianut oleh jauh lebih banyak orang Kristen, lebih dari yang kita duga.

Esensi dari penyembahan berhala adalah sebuah hubungan yang bersifat transaksional. Mari kita lihat sebuah contoh berhala yang terkenal: Baal. Berhala yang berulang kali disembah oleh bangsa Israel ini dipercaya memberikan kesuburan bagi tanah para petani. Agar tanahnya subur, para petani memberikan sesaji dan melakukan ritual-ritual tertentu. Sebagai gantinya, Baal akan membalas semua bakti tersebut dengan memberikan apa yang paling diinginkan yaitu kesuburan tanah dan hasil bumi yang berlimpah. Hubungan umat & Baal hanya sesederhana itu: umat memberi persembahan plus ritual, Baal memberkati. Beres, singkat, sederhana. Untuk urusan di luar kesuburan, umat kemudian menyembah dewa lain, yang ‘spesialis’ menangani urusan yang diperlukan. Berhala tidak menuntut banyak, asal semua syarat dan ritual terpenuhi, umat boleh melanjutkan dan mengatur hidup mereka sendiri sesukanya. Dengan semua kemudahan ini, tidak heran penyembahan sejati terhadap Allah Yahwe terlihat begitu rumit dan menuntut terlalu banyak, sehingga membuat Israel terus menerus berpaling kepada berhala-berhala lain.

Berbeda dengan penyembahan berhala, hubungan Allah dan umat-Nya tidaklah transaksional. Relasi dengan Allah bersifat mengikat, bahkan dilambangkan secara langsung dengan relasi antar suami istri. Menyembah Allah menuntut penyerahan diri secara total, dimana tidak ada bagian sekecil apapun dari kehidupan kita yang boleh kita miliki di luar kehendak-Nya. Sementara sebuah berhala membolehkan umatnya untuk menyembah berhala lain selain dirinya, Allah berlaku seperti seorang suami yang pencemburu, sedikitpun tidak mengijinkan ‘istri’ Nya mengabdi kepada allah lain.

Dalam pemahaman ini, saya melihat bahwa ada banyak orang kristen yang memberhalakan Kristus, bukan menempatkan Dia sebagai Tuhan. Mereka menjaga jarak dengan Kristus, membatasi hubungan dalam tataran transaksional saja. Berusaha sedapatnya untuk tidak menyakiti hati Kristus, orang kristen memberi persembahan dan melakukan ritual tertentu untuk menyenangkan hati-Nya, sembari tetap mempertahankan beberapa bagian hidup yang boleh mereka atur sendiri. Karena kebaikan dan kesetiaan-Nya, Yesus tetap memberkati setiap orang Kristen, betapapun hati-Nya sebenarnya merindukan hubungan yang jauh lebih intim. Yesus tidak ingin dijadikan sebagai berhala, Ia telah memberikan seluruh hidup-Nya agar dapat memperoleh seluruh hidup kita.

Mari kita menyerahkan seluruh hidup kita kepada Tuhan Yesus, sebagaimana seorang istri mengikat janji setia sehidup semati dengan seorang suami. Tidak ada bagian sekecil apapun dari waktu, fokus, perhatian, cinta kita yang boleh kita alihkan dari pengabdian kepada keTuhanan Kristus. Sebagaimana sukacita dalam pernikahan yang harmonis, terlebih besar sukacita pada saat kita benar-benar menempatkan Yesus sebagai Tuhan dalam hidup kita.