Friday, December 10, 2010

Bersiaplah Untuk Mati!

Hari ini genap lima hari sejak terjadinya sebuah kecelakaan yang merenggut nyawa anak dari seorang teman lama saya. Anak tersebut masih sangat belia, meninggal dunia karena tenggelam dalam usaha untuk menolong temannya yang tercebur di sebuah waduk. Bukannya tertolong, dua anak ini akhirnya tenggelam. Sebuah peristiwa kehilangan nyawa secara tragis yang terjadi terus menerus di mana saja, dalam berbagai bentuk dan kisah.

Kalau saya pikir-pikir, semua kita sebenarnya sudah divonis mati sejak kita dilahirkan di dunia. Semua orang yang hidup, semuanya sedang menuju satu titik akhir: kematian. Bedanya dengan vonis mati oleh pengadilan, vonis mati kita itu gak jelas pelaksanaannya kapan. Maut dapat menjemput kapan saja, dan tidak ada orang yang bisa protes atau mencegah jika sang maut sudah menjatuhkan eksekusi. Maut tidak memilih orang, tidak berbelaskasihan & tidak pandang bulu: orang baik, orang jahat, anak-anak, pria, wanita, kaya atau miskin, tidak ada pengaruhnya di hadapan sang maut. Siap atau tidak siap, semua orang, pada waktunya, akan ‘dijemput paksa’ oleh kuasa yang satu ini.

Anehnya, topik tentang kematian cenderung tabu untuk dibicarakan, bahkan tabu dipikirkan oleh manusia. Kita semua selalu berusaha menghindar untuk membicarakan atau memikirkan kematian, seolah-olah kematian itu sesuatu yang memang bisa kita hindari. Anak-anak muda khususnya, pastilah sangat jarang memikirkan tentang kematian, dengan anggapan umum (yang sebetulnya kosong) bahwa kematian masih jauh dari mereka. Dengan menghindari topik ini, hasilnya sudah jelas: orang tidak siap menghadapi kematian. Kematian adalah sebuah keniscayaan, namun tidak ada orang yang (ber)siap menghadapinya. Konyol juga…

“Mereka yang tidak pernah memikirkan kematian, tidak akan siap menghadapinya”, begitu kata seorang rohaniwan jaman dulu. Tapi kalau boleh saya tambahkan, “mereka yang tidak pernah memikirkan kematian, tidak akan siap menghadapi kehidupan.” Gampang saja, coba kita pikirkan, apakah kita akan hidup dengan cara seperti sekarang, jika kita mengetahui bahwa usia kita hanya tersisa satu bulan lagi? Lucu dan sekaligus tragis betapa prioritas hidup akan jauh lebih jelas pada saat kematian menjelang, pada saat kesempatan untuk melakukannya sudah berlalu. Kita menjalankan dan menghabiskan kehidupan, dengan mengejar hal-hal yang menurut kita penting, sampai pada saat kematian menjelang, kita baru sadar bahwa ada begitu banyak yang benar-benar penting yang sudah dilalaikan. Betapa banyak penyesalan di ranjang kematian, dan betapa lebih banyak lagi penyesalan tersebut di kekekalan.

Ada sebuah nasihat yang sangat bijaksana, “Selalu pikirkan bahwa kamu akan mati besok, maka kehidupanmu akan menjadi sangat efektif & produktif”. Saya teringat akan filosofi “Impacting All Generations” yang dijadikan nama IMAGE. Untuk memiliki hidup yang berdampak, setiap anak muda harusnya lebih sadar atas vonis mati yang telah dijatuhkan atas mereka, menghitung setiap hari dalam kehidupan sebagai kesempatan untuk melakukan apa yang benar-benar penting.

Faktor lain lagi mengapa orang menghindari topik kematian, yaitu karena mereka tidak tahu pasti apa yang akan terjadi setelah mereka mati. Kematian menjadi menakutkan, perjalanan ke alam baka adalah perjalanan oneway, alias tanpa tiket pulang. Sekali pergi, tidak akan kembali, sehingga tidak ada yang tahu pasti apa yang terjadi di sana. Tapi bagi orang Kristen, ketakutan ini sebenarnya tidak perlu ada, karena Kristus telah menunggu di sana untuk menyambut setiap orang yang berpulang kepadaNya. Jadi setiap orang Kristen seharusnya selalu memiliki pikiran tentang kematian dalam hidup mereka. Kalau ada di antara orang yang membaca tulisan ini, yang masih tidak memiliki kepastian apa yang terjadi setelah kematiannya, saya punya kabar baik buat anda: Kristus telah mengalahkan kematian, dan barang siapa yang percaya kepadaNya telah memiliki hidup kekal. Jika anda percaya kepada Yesus Kristus, kematian adalah sesuatu yang bisa disambut dengan sukacita.

“Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya… Orang berhikmat senang berada di rumah duka, tetapi orang bodoh senang berada di rumah tempat bersukaria.” Pengkotbah 7:2,4

Berpikir tentang kematian membuat seseorang lebih berhikmat dan lebih mencari Allah. Segala ambisi manusia tentang kehebatan kekayaan, ketenaran, kenikmatan hidup, dll, semua akan kelihatan bodoh dan kosong di hadapan kematian. Saya bahkan percaya bahwa kualitas kerohanian seseorang akan ditentukan oleh seberapa sering ybs berpikir tentang kematian.

Memang memikirkan tentang dekatnya kematian tidak otomatis membuat seseorang berhikmat secara benar. Saya percaya ada juga orang yang malah menjadi sangat pasif, atau malah frustasi menjelang kematiannya. Tapi pemikiran kematian mau tidak mau membuat orang harus memilih sikap: memanfaatkan hidup sebaik-baiknya, atau mengambil sikap apatis total terhadap kehidupan. Saya hanya berharap bahwa tidak ada orang yang mengaku Kristen yang kemudian mengambil pilihan untuk menjadi apatis pada saat ia harus menghadapi kematian, karena ia akan dihakimi dengan berat oleh Kristus.

Mengapa memikirkan tentang kematian seharusnya dapat menjadi pendorong yang bagus bagi orang Kristen? Karena kita memiliki janji adanya kebangkitan untuk hidup kekal. Rasul Paulus berkata bahwa, “…Jika orang mati tidak dibangkitkan, maka "marilah kita makan dan minum, sebab besok kita mati". (1Kor 15:32b) Apatisme dalam menghadapi kematian bersumber dari tiadanya pengharapan untuk kebangkitan yang lebih baik. Memang, jika tidak ada kebangkitan, apapun yang dilakukan dalam hidup ini akan menjadi sia-sia, orang Kristen yang berjuang dalam iman akan menjadi orang yang paling menyedihkan di dunia.

Manfaat lain dari memikirkan kematian adalah untuk membantu kita menemukan tujuan hidup kita. Coba bayangkan hari kematian kita, bagaimana kenangan yang ingin kita tinggalkan untuk orang-orang di sekitar kita? Apakah mereka akan menangis karena hidup mereka telah diubahkan oleh hidup kita? Apakah orang-orang akan berkomentar, “yach… memang sudah waktunya…”, atau “wah, sungguh sial semuda itu sudah mati…”. Komentar apa yang ingin kita dengar? Bagaimanakah kita ingin dikenang pada saat kita sudah tiada di dunia ini? Jika kita sudah memiliki bayangan, itulah tujuan yang harus kita kejar dalam hidup kita.

Itu sebabnya saya ingin mendorong setiap orang Kristen, khususnya anak muda, pikirkanlah kematianmu sesering mungkin. Lebih baik bersiap untuk hari kematian yang mungkin masih jauh, daripada samasekali tidak siap saat waktu kematianmu tiba secara tidak terduga. Jangan takut akan kematian, tapi jadikan vonis kematian kita sebagai pendorong untuk kehidupan yang efektif dan berdampak besar.